Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila berdiri
untuk sholat fardhu atau sholat sunnah, beliau menghadap Ka’bah. Beliau
memerintahkan berbuat demikian sebagaimana sabdanya kepada orang yang sholatnya
salah:“Bila engkau berdiri untuk sholat, sempurnakanlah wudhu’mu, kemudian
menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah.” (HR. Bukhari, Muslim dan Siraj).
Tentang hal ini telah turun pula firman Allah dalam
Surah Al Baqarah : 115: “Kemana saja kamu menghadapkan muka, disana ada wajah
Allah.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah sholat
menghadap Baitul Maqdis, hal ini terjadi sebelum turunnya firman Allah: “Kami
telah melihat kamu menengadahkan kepalamu ke langit. Kami palingkan kamu ke
kiblat yang kamu inginkan. Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu ke sebagian
arah Masjidil Haram.” (QS. Al Baqarah : 144).
Setelah ayat ini turun beliau sholat menghadap Ka’bah.
Pada waktu sholat subuh kaum muslim yang tinggal di
Quba’ kedatangan seorang utusan Rasulullah untuk menyampaikan berita, ujarnya,
“Sesungguhnya semalam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mendapat
wahyu, beliau disuruh menghadap Ka’bah. Oleh karena itu, (hendaklah) kalian
menghadap ke sana.” Pada saat itu mereka tengah menghadap ke Syam (Baitul
Maqdis). Mereka lalu berputar (imam mereka memutar haluan sehingga ia mengimami
mereka menghadap kiblat). (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Siraj, Thabrani, dan
Ibnu Sa’ad. Baca Kitab Al Irwa’, hadits No. 290).
Berdiri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengerjakan sholat fardhu atau sunnah berdiri karena memenuhi perintah Allah
dalam QS. Al Baqarah : 238. Apabila bepergian, beliau melakukan sholat sunnah
di atas kendaraannya. Beliau mengajarkan kepada umatnya agar melakukan sholat
khauf dengan berjalan kaki atau berkendaraan.
“Peliharalah semua sholat dan sholat
wustha dan berdirilah dengan tenang karena Allah. Jika kamu dalam ketakutan,
sholatlah dengan berjalan kaki atau berkendaraan. Jika kamu dalam keadaa aman,
ingatlah kepada Allah dengan cara yang telah diajarkan kepada kamu yang mana
sebelumnya kamu tidak mengetahui (cara tersebut).” (QS. Al Baqarah : 238).
Menghadap Sutrah (Pembatas)
Sutrah (pembatas yang berada di depan
orang sholat) dalam sholat menjadi keharusan imam dan orang yang sholat
sendirian, sekalipun di masjid besar, demikian pendapat Ibnu Hani’ dalam Kitab
Masa’il, dari Imam Ahmad.
Beliau mengatakan, “Pada suatu hari saya
sholat tanpa memasang sutrah di depan saya, padahal saya melakukan sholat di
dalam masjid kami, Imam Ahmad melihat kejadian ini, lalu berkata kepada saya,
‘Pasanglah sesuatu sebagai sutrahmu!’ Kemudian aku memasang orang untuk menjadi
sutrah.”
Syaikh Al Albani mengatakan, “Kejadian
ini merupakan isyarat dari Imam Ahmad bahwa orang yang sholat di masjid besar
atau masjid kecil tetap berkewajiban memasang sutrah di depannya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Janganlah kamu sholat tanpa menghadap
sutrah dan janganlah engkau membiarkan seseorang lewat di hadapan kamu (tanpa
engkau cegah). Jika dia terus memaksa lewat di depanmu, bunuhlah dia karena dia
ditemani oleh setan.” (HR. Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang jayyid (baik)).
Beliau juga bersabda:
“Bila seseorang di antara kamu sholat
menghadap sutrah, hendaklah dia mendekati sutrahnya sehingga setan tidak dapat
memutus sholatnya.” (HR. Abu Dawud, Al Bazzar dan Hakim. Disahkan oleh Hakim,
disetujui olah Dzahabi dan Nawawi).
Dan hendaklah sutrah itu diletakkan
tidak terlalu jauh dari tempat kita berdiri sholat sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
berdiri shalat dekat sutrah (pembatas) yang jarak antara beliau dengan pembatas
di depannya 3 hasta.” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Adapun yang dapat dijadikan sutrah
antara lain: tiang masjid, tombak yang ditancapkan ke tanah, hewan tunggangan,
pelana, tiang setinggi pelana, pohon, tempat tidur, dinding dan lain-lain yang
semisalnya, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
NIat
Niat berarti menyengaja untuk sholat,
menghambakan diri kepada Allah Ta’ala semata, serta
menguatkannya dalam hati.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapat (balasan) sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain. Baca Al Irwa’, hadits no. 22).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapat (balasan) sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain. Baca Al Irwa’, hadits no. 22).
Niat tidak dilafadzkan
Dan tidaklah disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan.
Dan tidaklah disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan.
Abu Dawud bertanya kepada Imam Ahmad. Dia berkata,
“Apakah orang sholat mengatakan sesuatu sebelum dia takbir?” Imam Ahmad
menjawab, “Tidak.” (Masaail al Imam Ahmad hal 31 dan Majmuu’ al Fataawaa XXII/28).
AsSuyuthi berkata, “Yang termasuk
perbuatan bid’ah adalah was-was (selalu ragu) sewaktu berniat sholat. Hal itu
tidak pernah diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun para
shahabat beliau. Mereka dulu tidak pernah melafadzkan niat sholat sedikitpun
selain hanya lafadz takbir.”
Asy Syafi’i berkata, “Was-was dalam niat
sholat dan dalam thaharah termasuk kebodohan terhadap syariat atau
membingungkan akal.” (Lihat al Amr bi al Itbaa’ wa al Nahy ‘an al Ibtidaa’).
Takbiratul Ihram
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu
memulai sholatnya (dilakukan hanya sekali ketika hendak memulai suatu sholat)
dengan takbiratul ihrom yakni mengucapkan Allahu Akbar di awal sholat dan beliau pun pernah memerintahkan seperti itu kepada
orang yang sholatnya salah. Beliau bersabda kepada orang itu:
“Sesungguhnya sholat seseorang tidak
sempurna sebelum dia berwudhu’ dan melakukan wudhu’ sesuai ketentuannya,
kemudian ia mengucapkan Allahu Akbar.” (Hadits diriwayatkan oleh Al Imam
Thabrani dengan sanad shahih).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila engkau hendak mengerjakan
sholat, maka sempurnakanlah wudhu’mu terlebih dahulu kemudian menghadaplah ke
arah kiblat, lalu ucapkanlah takbiratul ihrom.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Takbirotul ihrom diucapkan dengan lisan
Takbirotul ihrom tersebut harus
diucapkan dengan lisan (bukan diucapkan di dalam hati).
Muhammad Ibnu Rusyd berkata, “Adapun
seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakkan lidahnya, maka hal itu
tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan
melafadzkannya di mulut.”
An Nawawi berkata, “…adapun
selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika
membaca lafadz takbir, baik apakah dia sedang menjadi makmum atau ketika sholat
sendiri. Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan,
seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa
didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara
umum baik ketika membaca ayat-ayat al Quran, takbir, membaca tasbih ketika ruku’, tasyahud, salam dan doa-doa dalam sholat baik yang hukumnya wajib maupun
sunnah…” beliau melanjutkan, “Demikianlah nash yang dikemukakan Syafi’i dan
disepakati oleh para pengikutnya. Asy Syafi’i berkata dalam al Umm, ‘Hendaklah
suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada disampingnya. Tidak patut
dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.’.” (al Majmuu’ III/295).
Mengangkat Kedua Tangan
Disunnahkan mengangkat kedua tangannya
setentang bahu ketika bertakbir dengan merapatkan jari-jemari tangannya,
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radiyallahu anhuma,
ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengangkat kedua
tangannya setentang bahu jika hendak memulai sholat, setiap kali bertakbir
untuk ruku’ dan setiap kali bangkit dari ruku’nya.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Atau mengangkat kedua tangannya
setentang telinga, berdasarkan hadits riwayat Malik bin Al-Huwairits
radhiyyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa
mengangkat kedua tangannya setentang telinga setiap kali bertakbir (didalam
sholat).” (HR. Muslim).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Tamam dan Hakim disebutkan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya dengan membuka
jari-jarinya lurus ke atas (tidak merenggangkannya dan tidak pula
menggengamnya). (Shifat Sholat Nabi).
Tangan Bersedekap
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan
tangan kanan di atas tangan kirinya (bersedekap). Beliau bersabda:
“Kami, para
nabi diperintahkan untuk segera berbuka dan mengakhirkan sahur serta meletakkan
tangan kanan pada tangan kiri (bersedekap) ketika melakukan sholat.” (Hadits
diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dan Adh Dhiya’ dengan sanad shahih).Dalam
sebuah riwayat pernah beliau melewati seorang yang sedang sholat, tetapi orang
ini meletakkan tangan kirinya pada tangan kanannya, lalu beliau melepaskannya,
kemudian orang itu meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya. (Hadits
riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang shahih).
Meletakkan
atau menggenggam
Beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan lengan kanan pada punggung telapak
kirinya, pergelangan dan lengan kirinya berdasar hadits dari Wail bin Hujur:
“Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir kemudian meletakkan tangan
kanannya di atas telapak tangan kiri, pergelangan tangan kiri atau lengan
kirinya.” (Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Khuzaimah,
dengan sanad yang shahih dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban, hadits no.
485).
Beliau
terkadang juga menggenggam pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanannya,
berdasarkan hadits Nasa’i dan Daraquthni:
“Tetapi
beliau terkadang menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya.”
(sanad shahih).
Memandang Tempat Sujud
Pada saat mengerjakan sholat, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat
sujud. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
mengalihkan pandangannya dari tempat sujud (di dalam sholat).” (HR. Baihaqi dan
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Larangan
menengadah ke langit
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melarang keras menengadah ke langit (ketika
sholat). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Hendaklah sekelompok orang benar-benar menghentikan
pandangan matanya yang terangkat ke langit ketika berdoa dalam sholat atau hendaklah
mereka benar-benar menjaga pandangan mata mereka.” (HR. Muslim, Nasa’i dan
Ahmad).
Rasulullah
juga melarang seseorang menoleh ke kanan atau ke kiri ketika sholat, beliau
bersabda: “Jika kalian sholat, janganlah menoleh ke kanan atau ke kiri karena Allah
akan senantiasa menghadapkan wajah-Nya kepada hamba yang sedang sholat selama
ia tidak menoleh ke kanan atau ke kiri.” (HR. Tirmidzi dan Hakim).
Dalam Zaadul Ma’aad (I/248) disebutkan bahwa makruh hukumnya orang yang sedang sholat menolehkan kepalanya tanpa ada keperluan. Ibnu Abdil Bar berkata, “Jumhur ulama mengatakan bawa menoleh yang ringan tidak menyebabkan shalat menjadi rusak.”
Juga
dimakruhkan shalat dihadapan sesuatu yang bisa merusak konsentrasi atau di
tempat yang ada gambar-gambarnya, diatas sajadah yang ada lukisan atau ukiran,
dihadapan dinding yang bergambar dan sebagainya.
Membaca Do’a Istiftah
Doa istiftah yang dibaca oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bermacam-macam. Dalam doa istiftah tersebut beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan pujian, sanjungan dan kalimat
keagungan untuk Allah.
Beliau pernah memerintahkan hal ini
kepada orang yang salah melakukan sholatnya dengan sabdanya:”Tidak sempurna
sholat seseorang sebelum ia bertakbir, mengucapkan pujian, mengucapkan kalimat keagungan
(doa istiftah), dan membaca ayat-ayat al Quran yang dihafalnya…” (HR. Abu Dawud
dan Hakim, disahkan oleh Hakim, disetujui oleh Dzahabi).
Adapun bacaan doa istiftah yang
diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diantaranya adalah:
اَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ
خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اَللَّهُمَّ
نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ، كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ،
اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ وَالْبَرَدِ.
“Ya Allah, jauhkan antara aku dan
kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya
Allah, bersihkanlah aku dan kesalahan- kesalahanku, sebagaimana baju putih
dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku
dengan salju, air dan air es”. [HR. Al-Bukhari 1/181 dan Muslim 1/419.]
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ،
وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلاَ إِلَـهَ غَيْرُكَ.
Maha Suci Engkau ya Allah, aku memujiMu,
Maha Berkah akan nama-Mu, Maha Tinggi kekayaan dan kebesaranMu, tiada Ilah yang
berhak disembah selain Engkau. [HR. Empat penyusun kitab Sunan, dan lihat
Shahih At-Tirmidzi 1/77 dan Shahih Ibnu Majah 1/135.]
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ، إِنَّ
صَلاَتِيْ، وَنُسُكِيْ، وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِيْ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ،
لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ
أَنْتَ الْمَلِكَ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ. أَنْتَ رَبِّيْ وَأَنَا عَبْدُكَ،
ظَلَمْتُ نَفْسِيْ وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ ذُنُوْبِيْ جَمِيْعًا
إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ. وَاهْدِنِيْ لأَحْسَنِ
اْلأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِيْ لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّيْ
سَيِّئَهَا، لاَ يَصْرِفُ عَنِّيْ سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ، لَبَّيْكَ
وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ كُلُّهُ بِيَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا
بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.
“Aku menghadap kepada Tuhan Pencipta
langit dan bumi, dengan memegang agama yang lurus dan aku tidak tergolong
orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya shalat, ibadah dan hidup serta matiku
adalah untuk Allah. Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagiNya, dan karena
itu, aku diperintah dan aku termasuk orang-orang muslim.
Ya Allah, Engkau adalah Raja, tiada
Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Engkau, engkau Tuhanku dan aku adalah
hambaMu. Aku menganiaya diriku, aku mengakui dosaku (yang telah kulakukan).
Oleh karena itu ampunilah seluruh dosaku, sesungguhnya tidak akan ada yang
mengampuni dosa-dosa, kecuali Engkau. Tunjukkan aku pada akhlak yang terbaik,
tidak akan menunjukkan kepadanya kecuali Engkau. Hindarkan aku dari akhlak yang
jahat, tidak akan ada yang bisa menjauhkan aku daripadanya, kecuali Engkau. Aku
penuhi panggilanMu dengan kegembiraan, seluruh kebaikan di kedua tanganMu,
kejelekan tidak dinisbahkan kepadaMu. Aku hidup dengan pertolongan dan
rahmatMu, dan kepadaMu (aku kembali). Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi. Aku
minta ampun dan bertaubat kepadaMu”. [HR. Muslim 1/534]
اَللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيْلَ،
وَمِيْكَائِيْلَ، وَإِسْرَافِيْلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، عَالِمَ
الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيْمَا كَانُوْا
فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ. اِهْدِنِيْ لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ
بِإِذْنِكَ تَهْدِيْ مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ.
.“Ya Allah, Tuhan Jibrail, Mikail dan
Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Tuhan yang mengetahui yang ghaib
dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka
(orang-orang kristen dan yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran
apa yang dipertentangkan dengan seizin dariMu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan
pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki”. [HR. Muslim 1/534.]
اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، اَللهُ
أَكْبَرُ كَبِيْرًا، اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا،
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ
بُكْرَةً وَأَصِيْلاً)) ثلاثا ((أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ،
مِنْ نَفْخِهِ وَنَفْثِهِ وَهَمْزِهِ
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar,
Allah Maha Besar. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji
bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang
banyak. Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore”. (Diucapkan tiga kali). “Aku
berlindung kepada Allah dari tiupan, bisikan dan godaan setan”. [HR. Abu Dawud
1/203, Ibnu Majah 1/265 dan Ahmad 4/85. Muslim juga meriwayatkan hadits senada
dari Ibnu Umar, dan di dalamnya terdapat kisah 1/420
اَللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، [وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ][وَلَكَ الْحَمْدُ لَكَ مُلْكُ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ][وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ][ وَلَكَ الْحَمْدُ][أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ
الْحَقُّ، وَقَوْلُكَ الْحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ الْحَقُّ، وَالْجَنَّهُ حَقُّ، وَالنَّارُ
حَقُّ، وَالنَّبِيُّوْنَ حَقُّ، وَمُحَمَّدٌ حَقُّ، وَالسَّاعَةُ
حَقُّ][اَللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ،
وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ. فَاغْفِرْ لِيْ مَا
قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ][أَنْتَ
الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ][أَنْتَ إِلَـهِيْ
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ].
“Apabila Nabi Shallallahu’alaihi
wasallam shalat Tahajud di waktu malam, beliau membaca: “Ya, Allah! BagiMu segala
puji, Engkau cahaya langit dan bumi serta seisinya. BagiMu segala puji, Engkau
yang mengurusi langit dan bumi serta seisinya. BagiMu segala puji, Engkau Tuhan
yang menguasai langit dan bumi serta seisinya. BagiMu segala puji dan bagi-Mu
kerajaan langit dan bumi serta seisi-nya. BagiMu segala puji, Engkau benar,
janjiMu benar, firmanMu benar, bertemu denganMu benar, Surga adalah benar
(ada), Neraka adalah benar (ada), (terutusnya) para nabi adalah benar,
(terutusnya) Muhammad adalah benar (dariMu), kejadian hari Kiamat adalah benar.
Ya Allah, kepadaMu aku menyerah, kepadaMu aku bertawakal, kepadaMu aku beriman,
kepadaMu aku kembali (bertaubat), dengan pertolonganMu aku berdebat (kepada
orang-orang kafir), kepadaMu (dan dengan ajaran-Mu) aku menjatuhkan hukum. Oleh
karena itu, ampunilah dosaku yang telah lewat dan yang akan datang. Engkaulah
yang mendahulukan dan mengakhirkan, tiada Tuhan yang hak disembah kecuali
Engkau, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang hak disembah kecuali
Engkau”. [HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari 3/3, 11/116, 13/371, 423, 465 dan
Muslim meriwayatkannya dengan ringkas 1/532]
Membaca Ta’awudz
Membaca doa ta’awwudz adalah disunnahkan
dalam setiap raka’at, sebagaimana firman Allah ta’ala: “Apabila kamu membaca Al
Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang
terkutuk.” (An Nahl : 98).
Dan pendapat ini adalah yang paling
shahih dalam madzhab Syafi’i dan diperkuat oleh Ibnu Hazm (Lihat al Majmuu’
III/323 dan Tamaam al Minnah 172-177).
Nabi biasa membaca ta’awwudz yang
berbunyi:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيْمِ،
“Aku berlindung kepada Allah dari setan
yang terkutuk”
Atau mengucapkan:
“A’UUDZUBILLAHI MINASY SYAITHAANIR
RAJIIM MIN HAMAZIHI WA NAFKHIHI WANAFTSIHI”
artinya:”Aku berlindung kepada Allah
dari setan yang terkutuk, dari semburannya (yang menyebabkan gila), dari
kesombongannya, dan dari hembusannya (yang menyebabkan kerusakan akhlaq).”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni, Hakim dan
dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
Atau mengucapkan
“A’UUZUBILLAHIS SAMII’IL ALIIM MINASY
SYAITHAANIR RAJIIM…”
artinya:
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk…” (Hadits diriwayatkan
oleh Al Imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan sanad hasan).
Membaca Al-Fatihah
Hukum Membaca Al Fatihah
Membaca Al Fatihah merupakan salah satu
dari sekian banyak rukun sholat, jadi kalau dalam sholat tidak membaca
Al-Fatihah maka tidak sah sholatnya berdasarkan perkataan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Tidak dianggap sholat (tidak sah sholatnya) bagi yang tidak
membaca Al Fatihah” (Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al- Jama’ah: yakni Al Imam
Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah).
“Barangsiapa yang sholat tanpa membaca
Al Fatihah maka sholatnya buntung, sholatnya buntung, sholatnya buntung…tidak
sempurna” (Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu ‘Awwanah).
Kapan Kita Wajib Membaca Surat
Al-Fatihah
Jelas bagi kita kalau sedang sholat sendirian
(munfarid) maka wajib untuk membaca Al Fatihah, begitu pun pada sholat jama’ah
ketika imam membacanya secara sirr (tidak diperdengarkan) yakni pada sholat
Dhuhur, ‘Ashr, satu roka’at terakhir sholat Mahgrib dan dua roka’at terakhir
sholat ‘Isyak, maka para makmum wajib membaca surat Al-Fatihah tersebut secara
sendiri-sendiri secara sirr (tidak dikeraskan).
Lantas bagaimana kalau imam membaca
secara keras…? spt sholat maghrib, isya, subuh.
Tentang ini Syaikh Al-Albani mengatakan
bahwa pernah Rasulullah melarang makmum membaca surat dibelakang imam kecuali
surat Al Fatihah, “Betulkah kalian tadi membaca (surat) dibelakang imam
kalian?” Kami menjawab: “Ya, tapi dengan cepat wahai Rasulallah.” Berkata
Rasul: “Kalian tidak boleh melakukannya lagi kecuali membaca Al-Fatihah, karena
tidak ada sholat bagi yang tidak membacanya.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam
Al Bukhori, Abu Dawud, dan Ahmad, dihasankan oleh At Tirmidzi dan Ad
Daraquthni)
Selanjutnya beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang makmum membaca surat apapun ketika imam membacanya dengan
jahr (diperdengarkan) baik itu Al Fatihah maupun surat lainnya. Hal ini selaras
dengan keterangan dari Al Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal tentang wajibnya
makmum diam bila imam membaca dengan jahr/keras. Berdasar arahan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah berkata
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :”Dijadikan imam itu hanya untuk
diikuti. Oleh karena itu apabila imam takbir, maka bertakbirlah kalian, dan
apabila imam membaca, maka hendaklah kalian diam (sambil memperhatikan bacaan
imam itu)…” (Hadits Shahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud no. 603 &
604. Ibnu Majah no. 846, An Nasai. Imam Muslim berkata: Hadits ini menurut
pandanganku Shahih).
“Barangsiapa sholat mengikuti imam
(bermakmum), maka bacaan imam telah menjadi bacaannya juga.” (Hadits
dikeluarkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah, Ad Daraquthni, Ibnu Majah, Thahawi dan
Ahmad lihat kitab Irwaul Ghalil oleh Syaikh Al- Albani).
Membaca Aamin
Hukum Bagi Imam:
Membaca amin disunnahkan bagi imam
sholat.
Dari Abu hurairah, dia berkata: “Dulu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika selesai membaca surat Ummul
Kitab (Al Fatihah) mengeraskan suaranya dan membaca aamin.” (Hadits dikeluarkan
oleh Imam Ibnu Hibban, Al Hakim, Al Baihaqi, Ad Daraquthni dan Ibnu Majah, oleh
Al Albani dalam Al Silsilah Al Shahihah dikatakan sebagai hadits yang
berkualitas shahih)
“Bila Nabi selesai membaca Al-Fatihah
(dalam sholat), beliau mengucapkan aamiin dengan suara keras dan panjang.”
(Hadits shahih dikeluarkan oleh Al Imam Al- Bukhari dan Abu Dawud)
Hadits tersebut mensyari’atkan para imam
untuk mengeraskan bacaan amin, demikian yang menjadi pendapat Al Imam Al
Bukhari, As Syafi’i, Ahmad, Ishaq dan para imam fikih lainnya. Dalam shahihnya
Al Bukhari membuat suatu bab dengan judul ‘baab jahr al imaan bi al ta miin’
(artinya: bab tentang imam mengeraskan suara ketika membaca amin). Di dalamnya
dinukil perkataan (atsar) bahwa Ibnu Al- Zubair membaca amin bersama para
makmum sampai seakan-akan ada gaung dalam masjidnya.
Juga perkataan Nafi’ (maula Ibnu Umar):
Dulu Ibnu Umar selalu membaca aamiin dengan suara yang keras. Bahkan dia
menganjurkan hal itu kepada semua orang. Aku pernah mendengar sebuah kabar
tentang anjuran dia akan hal itu.”
Hukum Bagi Makmum:
Dalam hal ini ada beberapa petunjuk dari
Nabi (Hadits), atsar para shahabat dan perkataan para ulama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: “Jika imam membaca amiin maka hendaklah kalian juga membaca amiin.”
Hal ini mengisyaratkan bahwa membaca
amiin itu hukumnya wajib bagi makmum. Pendapat ini dipertegas oleh Asy
Syaukani. Namun hukum wajib itu tidak mutlak harus dilakukan oleh makmum.
Mereka baru diwajibkan membaca aamiin ketika imam juga membacanya.
Adapun bagi imam dan orang yang sholat
sendiri, maka hukumnya hanya sunnah. (lihat Nailul Authaar, II/262).
“Bila imam selesai membaca ghoiril
maghdhuubi ‘alaihim waladhdhooolliin, ucapkanlah amiin [karena malaikat juga
mengucapkan amiin dan imam pun mengucapkan amiin]. Dalam riwayat lain:
“(apabila imam mengucapkan amiin, hendaklah kalian mengucapkan amiin)
barangsiapa ucapan aminnya bersamaan dengan malaikat, (dalam riwayat lain
disebutkan: “bila seseorang diantara kamu mengucapkan amin dalam sholat
bersamaan dengan malaikat dilangit mengucapkannya), dosa-dosanya masa lalu
diampuni.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari, Muslim, An Nasai dan Ad
Darimi)
Syaikh Al Albani mengomentari masalah
ini sebagai berikut:
“Aku berkata: Masalah ini harus diperhatikan dengan serius dan tidak boleh
diremehkan dengan cara meninggalkannya. Termasuk kesempurnaan dalam mengerjakan
masalah ini adalah dengan membarengi bacaan amin sang imam, dan tidak
mendahuluinya. (Tamaamul Minnah hal. 178)
Membaca Surat Setelah Al-Fatihah
Membaca surat Al Qur an setelah membaca
Al Fatihah dalan sholat hukumnya sunnah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam membolehkan tidak membacanya. Membaca surat Al Quran ini dilakukan
pada dua roka’at pertama. Banyak hadits yang menceritakan perbuatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam tentang itu.
Panjang Pendeknya Surat Yang Dibaca
Pada sholat munfarid Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat-surat yang panjang kecuali dalam
kondisi sakit atau sibuk, sedangkan kalau sebagai imam disesuaikan dengan
kondisi makmumnya (misalnya ada bayi yang menangis maka bacaan diperpendek).
Rasulullah berkata: “Aku melakukan
sholat dan aku ingin memperpanjang bacaannya akan tetapi, tiba-tiba aku
mendengar suara tangis bayi sehingga aku memperpendek sholatku karena aku tahu
betapa gelisah ibunya karena tangis bayi itu.” (Muttafaq ‘alaih)
Cara Membaca Surat
Dalam satu sholat terkadang beliau
membagi satu surat dalam dua roka’at, kadang pula surat yang sama dibaca pada
roka’at pertama dan kedua. (berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad
dan Abu Ya’la, juga hadits shahih yang dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan
Al Baihaqi atau riwayat dari Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim, disahkan oleh
Al Hakim disetujui oleh Ad Dzahabi)
Terkadang beliau membolehkan membaca dua
surat atau lebih dalam satu roka’at. (Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al
Imam Al Bukhari dan At Tirmidzi, dinyatakan oleh At Tirmidzi sebagai hadits
shahih)
Tata Cara Bacaan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasanya membaca surat dengan jumlah ayat yang berimbang antara roka’at pertama
dengan roka’at kedua. (berdasar hadits shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari dan
Muslim)
Dalam sholat yang bacaannya dijahrkan
Nabi membaca dengan keras dan jelas. Tetapi pada sholat dzuhur dan ashar juga
pada sholat maghrib pada roka’at ketiga ataupun dua roka’at terakhir sholat
isya’ Nabi membacanya dengan lirih yang hanya bisa diketahui kalau Nabi sedang
membaca dari gerakan jenggotnya, tetapi terkadang beliau memperdengarkan
bacaannya kepada mereka tapi tidak sekeras seperti ketika di-jahr-kan.
(Berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari, Muslim dan Abu
Dawud)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sering membaca suatu surat dari awal sampai selesai selesai. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata: “Berikanlah setiap surat haknya, yaitu dalam setiap
(roka’at) ruku’ dan sujud.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Abi Syaibah,
Ahmad dan ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi)
Dalam riwayat lain disebutkan: “Untuk
setiap satu surat (dibaca) dalam satu roka’at.” (Hadits dikeluarkan oleh Al
Imam Ibnu Nashr dan At Thohawi)
Dijelaskan oleh Syaikh Al Albani:
“Seyogyanya kalian membaca satu surat utuh dalam setiap satu roka’at sehingga
roka’at tersebut memperoleh haknya dengan sempurna.” Perintah dalam hadits
tersebut bersifat sunnah bukan wajib.
Dalam membaca surat Al Quran Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dengan tartil, tidak lambat juga
tidak cepat -sebagaimana diperintahkan oleh Allah- dan beliau membaca satu per
satu kalimat, sehingga satu surat memerlukan waktu yang lebih panjang dibanding
kalau dibaca biasa (tanpa dilagukan). Rasulullah berkata bahwa orang yang
membaca Al Quran kelak akan diseru: “Bacalah, telitilah dan tartilkan
sebagaimana kamu dulu mentartilkan di dunia, karena kedudukanmu berada di akhir
ayat yang engkau baca.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan At
Tirmidzi, dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca surat Al Quran dengan suara yang bagus, maka beliau juga memerintahkan
yang demikian itu: “Perindahlah/hiasilah Al Quran dengan suara kalian [karena
suara yang bagus menambah keindahan Al Quran].” (Hadits dikeluarkan oleh Al
Imam Al Bukhari , Abu Dawud, Ad Darimi, Al Hakim dan Tamam Ar Razi)
“Bukanlah dari golongan kami orang yang
tidak melagukan Al Quran.” (Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al Hakim,
dishahihkan oleh Al Hakim dan disetujui oleh Adz Dzahabi)
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah selesai membaca surat dari Al
Quran kemudian berhenti sejenak,
Kemudian mengangkat kedua tangannya
sambil bertakbir seperti ketika takbiratul ihrom (setentang bahu atau daun
telinga) kemudian rukuk (merundukkan badan kedepan dipatahkan pada pinggang,
dengan punggung dan kepala lurus sejajar lantai). Berdasarkan beberapa hadits, salah satunya
dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Aku
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berdiri dalam sholat
mengangkat kedua tangannya sampai setentang kedua bahunya, hal itu dilakukan
ketika bertakbir hendak rukuk dan ketika mengangkat kepalanya (bangkit) dari
ruku’ ….” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari, Muslim dan Malik)
Cara Ruku’
Beliau meletakkan telapak tangannya pada
lututnya,
Demikian beliau juga memerintahkan
kepada para shahabatnya. “Bahwasanya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ketika
ruku’) meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya.” (Hadits dikeluarkan
oleh Al Imam Al Bukhari dan Abu Dawud)
Menekankan tangannya pada lututnya.
“Jika kamu ruku’ maka letakkan kedua
tanganmu pada kedua lututmu dan bentangkanlah (luruskan) punggungmu serta
tekankan tangan untuk ruku’.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan Abu Dawud)
Merenggangkan jari-jemarinya
“Beliau merenggangkan jari-jarinya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Hakim dan dia menshahihkannya, Adz Dzahabi
dan At Thayalisi menyetujuinya)
Merenggangkan kedua sikunya dari
lambungnya.
“Beliau bila ruku’, meluruskan dan
membentangkan punggungnya sehingga bila air dituangkan di atas punggung beliau,
air tersebut tidak akan bergerak.” (Hadits di keluarkan oleh Al Imam Thabrani,
‘Abdullah bin Ahmad dan ibnu Majah)
Antara kepala dan punggung lurus, kepala
tidak mendongak tidak pula menunduk tetapi tengah-tengah antara kedua keadaan
tersebut
“Beliau tidak mendongakkan kepalanya dan
tidak pula menundukkannya.”(Hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud dan
Bukhari)
“Sholat seseorang sempurna sebelum dia
melakukan ruku’ dan sujud dengan meluruskan punggungnya.” (Hadits dikeluarkan
oleh Al Imam Abu ‘Awwanah, Abu Dawud dan Sahmi dishahihkan oleh Ad-Daraquthni)
Thumaninah/Bersikap Tenang
Beliau pernah melihat orang yang ruku’
dengan tidak sempurna dan sujud seperti burung mematuk, lalu berkata: “Kalau
orang ini mati dalam keadaan seperti itu, ia mati diluar agama Muhammad [sholatnya seperti gagak mematuk makanan] sebagaimana orang ruku’ tidak
sempurna dan sujudnya cepat seperti burung lapar yang memakan satu, dua biji
kurma yang tidak mengenyangkan.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Ya’la, Al
Ajiri, Al Baihaqi, Adh Dhiya’ dan Ibnu Asakir dengan sanad shahih, dishahihkan
oleh Ibnu Khuzaimah)
Memperlama Ruku’
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjadikan ruku’, berdiri setelah ruku’ dan sujudnya juga duduk antara dua
sujud hampir sama lamanya.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari dan
Muslim)
Yang Dibaca Ketika Ruku’
Do’a yang dibaca oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ada beberapa macam, semuanya pernah dibaca oleh beliau jadi
kadang membaca ini kadang yang lain.
سُبْحَانَ
رَبِّيَالْعَظِيْمِ
“Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung”.(Dibaca
tiga kali). [HR. Penyusun kitab Sunan dan Imam Ahmad, lihat Shahih At-Tirmidzi
1/83.]
.سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ
“Maha Suci Engkau, ya Allah! Tuhanku,
dan dengan pujiMu. Ya Allah! Ampunilah dosaku.” [HR. Al-Bukhari 1/99 dan Muslim
1/350.]
. رَبُّسُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ،الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ
“Engkau, Tuhan Yang Maha Suci (dari
kekurangan dan hal yang tidak layak bagi kebesaranMu), Maha Agung, Tuhan
malaikat dan Jibril.” [HR. Muslim 1/353 dan Abu Dawud 1/230]
اَللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ،
وَلَكَ بِهِ قَدَمِيْ سَمْعِيْ وَبَصَرِيْ وَمُخِّيْ وَعَظْمِيْ وَعَصَبِيْوَمَا
اسْتَقَلَّأَسْلَمْتُ، خَشَعَ لَكَ
“Ya Allah, untukMu aku ruku’. KepadaMu
aku beriman, kepadaMu aku menyerah. Pendengaranku, penglihatanku, otakku,
tulangku, sarafku dan apa yang berdiri di atas dua tapak kakiku, telah merunduk
dengan khusyuk kepadaMu.” [HR. Muslim 1/534, begitu juga empat imam hadis,
kecuali Ibnu Majah]
سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوْتِ
وَاْلمَلَكُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
Maha Suci (Allah) Yang memiliki
Keperkasaan, Kerajaan, Kebesaran dan Keagungan. [HR. Abu Dawud 1/230, An-Nasai
dan Ahmad. Dan sanadnya hasan.]
Yang Dilarang Ketika Ruku’
Larangan disini adalah larangan dari
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bahwa sewaktu ruku’ kita tidak boleh
membaca Al Quran. Berdasarkan hadits: “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang membaca Al Quran dalam ruku’ dan sujud.” (Hadits dikeluarkan
oleh Al Imam Muslim dan Abu ‘Awwanah)
“Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca
Al Quran sewaktu ruku’ dan sujud…” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan
Abu ‘Awwanah)
Bangkit Dari Ruku’ (I’tidal)
Cara i’tidal dari ruku’
Setelah ruku’ dengan sempurna dan
selesai membaca do’a, maka kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal). Waktu bangkit
tersebut membaca (SAMI’ALLAAHU LIMAN HAMIDAH) disertai dengan mengangkat kedua
tangan sebagaimana waktu takbiratul ihrom.
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ
حَمِدَهُ.
“Semoga Allah mendengar pujian orang
yang memujiNya.” [HR. Al-Bukhari dalam Fathul Baari 2/282].
Hal ini berdasarkan keterangan beberapa hadits,
diantaranya: Dari Abdullah bin Umar, ia berkata:
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berdiri dalam
sholat mengangkat kedua tangannya sampai setentag kedua pundaknya, hal itu
dilakukan ketika bertakbir mau rukuk dan ketika mengangkat kepalanya (bangkit)
dari ruku’ sambil mengucapkan SAMI’ALLAAHU LIMAN HAMIDAH…”(Hadits dikeluarkan
oleh Al Bukhari, Muslim dan Malik).
Yang Dibaca Ketika I’tidal dari Ruku’
Seperti ditunjuk hadits di atas ketika
bangkit (mengangkat kepala) dari ruku’ itu membaca: (SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH)
Kemudian ketika sudah tegak dan selesai
bacaan tersebut disahut dengan bacaan:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ،
حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
“Wahai Tuhan kami, bagiMu segala puji,
aku memujiMu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah.”
[HR. Al-Bukhari dalam Fathul Baari 2/284.]
Kadang ditambah dengan bacaan:
بَيْنَهُمَا، وَمِلْءَ
مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ.
مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ اْلأَرْضِ وَمَا
وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا
مَنَعْتَ، وَلاَ
الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ. اَللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ،
أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْجَدُّ. يَنْفَعُ ذَا
الْجَدِّ مِنْكَ
(Aku memujiMu dengan) pujian sepenuh
langit dan sepenuh bumi, sepenuh apa yang di antara keduanya, sepenuh apa yang
Engkau kehendaki setelah itu.
Wahai Tuhan yang layak dipuji dan diagungkan,
Yang paling berhak dikatakan oleh seorang hamba dan kami seluruhnya adalah
hambaMu. Ya Allah tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan dan
tidak ada pula yang dapat memberi apa yang Engkau halangi, tidak bermanfaat
kekayaan bagi orang yang memilikinya (kecuali iman dan amal shalihnya), hanya
dariMu kekayaan itu. [HR. Muslim 1/346.]
Cara I’tidal
Adapun dalam tata cara i’tidal ulama
berbeda pendapat menjadi dua pendapat, pertama mengatakan sedekap dan yang
kedua mengatakan tidak bersedekap tapi melepaskannya. kedua duanya boleh dan
sama-sama ada dalilnya. Bagi yang hendak mengerjakan pendapat yang pertama
tidak apa-apa dan bagi siapa yang mengerjakan sesuai dengan pendapat kedua
tidak mengapa. Wallaahu a’lamu bishshawab.
Thumaninah dan Memperlama Dalam I’tidal
“Kemudian angkatlah kepalamu sampai
engkau berdiri dengan tegak [sehingga tiap- tiap ruas tulang belakangmu kembali
pata tempatnya].” (dalam riwayat lain disebutkan: “Jika kamu berdiri i’tidal,
luruskanlah punggungmu dan tegakkanlah kepalamu sampai ruas tulang punggungmu
mapan ke tempatnya).” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari dan Muslim,
dan riwayat lain oleh Ad Darimi, Al Hakim, As Syafi’i dan Ahmad)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdiri terkadang dikomentari oleh shahabat: “Dia telah lupa” [karena saking
lamanya berdiri]. (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari, Muslim dan
Ahmad)
Cara Sujud
Dengan tanpa atau kadang-kadang dengan
mengangkat kedua tangan (setentang pundak atau daun telinga) seraya bertakbir,
badan turun condong kedepan menuju ke tempat sujud, dengan meletakkan kedua
lutut terlebih dahulu baru kemudian meletakkan kedua tangan pada tempat kepala
diletakkan dan kemudian meletakkan kepala kepala dengan menekankan hidung dan
kening ke lantai (tangan sejajar dengan pundak atau daun telinga).
Dari Wail bin Hujr, berkata, “Aku
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak sujud meletakkan
kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan apabila bangkit mengangkat dua
tangan sebelum kedua lututnya.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud, Tirmidzi An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ad- Daarimy)
“Terkadang beliau mengangkat kedua
tangannya ketika hendak sujud.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam An Nasa’i dan Daraquthni)
“Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam meletakkan tangannya [dan membentangkan] serta merapatkan jari-jarinya
dan menghadapkannya ke arah kiblat.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu
Dawud, Al Hakim, Al-Baihaqi)
“Beliau meletakkan tangannya sejajar
dengan bahunya” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Tirmidzi)
“Terkadang beliau meletakkan tangannya
sejajar dengan daun telinganya.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam An Nasa’i)
Cara Sujud
Bersujud pada 7 anggota badan, yakni
jidat/kening/dahi dan hidung (1), dua telapak tangan (3), dua lutut (5) dan dua
ujung kaki (7). Hal ini berdasar hadits:
Dari Ibnu ‘Abbas berkata: Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku diperintah untuk bersujud (dalam
riwayat lain; Kami diperintah untuk bersujud) dengan tujuh (7) anggota badan;
yakni kening sekaligus hidung, dua tangan (dalam lafadhz lain; dua telapak
tangan), dua lutut, jari-jari kedua kaki dan kami tidak boleh menyibak lengan
baju dan rambut kepala.” (Hadits dikeluarkan oleh Al-Jama’ah)
Dilakukan dengan menekan
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menekankan kedua lututnya dan bagian depan telapak kaki ke tanah.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Baihaqi)
Kedua lengan/siku tidak ditempelkan pada
lantai, tapi diangkat dan dijauhkan dari sisi lambung.
Dari Abu Humaid As-Sa’diy, bahwasanya
Nabi shalallau ‘alaihi wasallam bila sujud maka menekankan hidung dan dahinya
di tanah serta menjauhkan kedua tangannya dari dua sisi perutnya, tangannya
ditaruh sebanding dua bahu beliau.” (Diriwayatkan oleh Al Imam At Tirmidzi)
Dari Anas bin Malik, dari Nabi shalallau
‘alaihi wasallam bersabda:
“Luruskanlah kalian dalam sujud dan jangan kamu menghamparkan kedua lengannya seperti anjing menghamparkan kakinya.” (Diriwayatkan oleh Al Jama’ah kecuali Al Imam An Nasai, lafadhz ini bagi Al Imam Al Bukhari)
“Luruskanlah kalian dalam sujud dan jangan kamu menghamparkan kedua lengannya seperti anjing menghamparkan kakinya.” (Diriwayatkan oleh Al Jama’ah kecuali Al Imam An Nasai, lafadhz ini bagi Al Imam Al Bukhari)
“Beliau mengangkat kedua lengannya dari
lantai dan menjauhkannya dari lambungnya sehingga warna putih ketiaknya
terlihat dari belakang” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari dan Muslim)
Menjauhkan perut/lambung dari kedua paha
Dari Abi Humaid tentang sifat sholat
Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apabila dia sujud, beliau
merenggangkan antara dua pahanya (dengan) tidak menopang perutnya.” (Hadits
dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)
Merapatkan jari-jemari
Dari Wail, bahwasanya Nabi shalallau
‘alaihi wasallam jika sujud maka merapatkan jari-jemarinya. (Diriwayatkan oleh
Al Imam Al Hakim)
Menegakkan telapak kaki dan saling
merapatkan/menempelkan antara dua tumit
Berkata Aisyah isteri Nabi shalallau
‘alaihi wasallam: “Aku kehilangan Rasulullah shalallau ‘alaihi wasallam padahal
beliau tadi tidur bersamaku, kemudian aku dapati beliau tengah sujud dengan
merapatkan kedua tumitnya (dan) menghadapkan ujung-ujung jarinya ke kiblat, aku
dengar…” (Diriwayatkan oleh Al Imam Al Hakim dan Ibnu Huzaimah)
Thumaninah dan sujud dengan lama
Sebagaimana rukun sholat yang lain mesti
dikerjakan dengan thumaninah. Juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
kalau bersujud biasanya lama.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjadikan ruku’, berdiri setelah ruku’ dan sujudnya juga duduk antara dua
sujud hampir sama lamanya.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari dan
Muslim)
Sujud Langsung Pada Tanah atau Boleh Di
Atas Alas
“Para shahabat sholat berjama’ah bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada cuaca yang panas. Bila ada yang
tidak sanggup menekankan dahinya di atas tanah maka membentangkan kainnya
kemudian sujud di atasnya” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim)
Bacaan Sujud
Rasulullah membaca
سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى
“Maha Suci Tuhanku, Yang Maha Tinggi
(dari segala kekurangan dan hal yang tidak layak). Dibaca tiga kali” [HR. Para
penyusun kitab Sunan dan Imam Ahmad. Lihat Shahih At-Tirmidzi 1/83.]
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا
وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ.
“Maha Suci Engkau. Ya Allah, Tuhan kami,
aku memujiMu. Ya Allah, ampunilah dosaku.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ
وَالرُّوْحِ.
“Engkau Tuhan Yang Maha Suci, Maha
Agung, Tuhan para malaikat dan Jibril.” [HR. Muslim 1/533]
اَللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ
آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ
وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ.
Ya Allah, untukMulah aku bersujud,
kepadaMulah aku beriman, kepadaMu aku menyerahkan diri, wajahku bersujud kepada
Tuhan yang menciptakannya, yang membentuk rupanya, yang membelah (memberikan)
pendengarannya, penglihatannya, Maha Suci Allah sebaik baik Pencipta. [HR.
Muslim 1/534, begitu juga imam hadits yang lain]
سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوْتِ
وَاْلمَلَكُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ.
Maha suci Tuhan yang memiliki
Keperkasaan, Kerajaan, Kebesaran dan Keagungan. [HR. Abu Dawud 1/230, An-Nasai
dan Ahmad. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud 1/166.]
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ
كُلَّهُ، دِقَّهُ وَجِلَّهُ، وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلاَنِيَّتَهُ وَسِرَّهُ.
“Ya Allah, ampunilah seluruh dosaku yang
kecil dan besar, yang telah lewat dan yang akan datang, yang kulakukan dengan
terang-terangan dan yang tersembunyi.” [HR. Muslim 1/350.]
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ
مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ
أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung
kepadaMu dengan keridhaanMu (agar selamat) dari kebencianMu, dan dengan
keselamatanMu (agar terhindar) dari siksaanMu. Aku tidak membatasi pujian
kepadaMu. Engkau (dengan kebesaran dan keagunganMu) adalah sebagaimana pujianMu
kepada diriMu.” [HR. Muslim 1/532.]
Bacaan Yang Dilarang Selama Sujud
“Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca
Al Quran sewaktu ruku’ dan sujud…” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan
Abu ‘Awwanah).
BANGUN DARI SUJUD PERTAMA
Setelah sujud pertama -dimana dalam
setiap roka’at ada dua sujud- maka kemudian bangun untuk melakukan duduk
diantara dua sujud. Dalam bangun dari sujud ini disertai dengan takbir dan
kadang mengangkat tangan (Berdasar hadits dari Ahmad dan Al-Hakim).
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bangkit dari sujudnya seraya bertakbir” (Hadits dikeluarkan oleh Al Bukhari dan
Muslim)
Duduk Antara Dua Sujud
Duduk ini dilakukan antara sujud yang pertama dan
sujud yang kedua, pada roka’at pertama sampai terakhir. Ada dua macam tipe
duduk antara dua sujud, duduk iftirasy (duduk dengan meletakkan pantat pada
telapak kaki kiri dan kaki kanan ditegakkan) dan duduk iq’a (duduk dengan
menegakkan kedua telapak kaki dan duduk diatas tumit).
Hal ini berdasar hadits:Dari Aisyah berkata: “Dan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menghamparkan kaki beliau yang kiri dan
menegakkan kaki yang kanan, baliau melarang dari duduknya syaithan.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim)
Syaikh Al Albani berkata, duduknya syaithan adalah dua
telapak kaki ditegakkan kemudian duduk dilantai antara dua kaki tersebut dengan
dua tangan menekan dilantai.
Dari Rifa’ah bin Rafi’ -dalam haditsnya- dan berkata
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila engkau sujud maka tekankanlah
dalam sujudmu lalu kalau bangun duduklah di atas pahamu yang kiri.” (Hadits
dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dengan lafadhz Abu Dawud)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang duduk
iq’a, yakni duduk dengan menegakkan telapak dan tumit kedua kakinya. (Hadits
dikeluarkan oleh Muslim)
Waktu duduk antara dua sujud ini telapak kaki kanan
ditegakkan dan jarinya diarahkan ke kiblat:
Beliau menegakkan kaki kanannya (Al Bukhari)
Menghadapkan jari-jemarinya ke kiblat (An Nasai)
Bacaannya
رَبِّ اغْفِرْ لِيْ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ.
“Wahai Tuhanku, ampunilah dosaku, wahai Tuhanku,
ampunilah dosaku.” [HR. Abu Dawud 1/231, lihat Shahih Ibnu Majah 1/148]
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاهْدِنِيْ
وَاجْبُرْنِيْ وَعَافِنِيْ وَارْزُقْنِيْ وَارْفَعْنِي.
“Ya Allah, ampunilah dosaku, berilah rahmat kepadaku,
tunjukkanlah aku (ke jalan yang benar), cukupkanlah aku, selamatkan aku (tubuh
sehat dan keluarga terhindar dari musibah), berilah aku rezeki (yang halal) dan
angkatlah derajatku.” [HR. Ashhabus Sunan, kecuali An-Nasai. Lihat Shahih
Tirmidzi 1/90 dan Shahih Ibnu Majah 1/148.]
Dan tidak ada dalil ucapan WAFU’ANI
Menuju Raka’at Berikutnya
Pada masalah ini ada dua tempat/kondisi,
yaitu :
1. Bangkit menuju roka’at berikut dari
posisi sujud kedua pada akhir roka’at pertama dan ketiga.
2. Bangkit dari posisi duduk tasyahhud
awal pada roka’at kedua.
Pertama
Bangkit/bangun dari sujud untuk berdiri
(dari akhir roka’at pertama dan ketiga) didahului dengan duduk istirahat atau
tanpa duduk istirahat, bangkit berdiri seraya bertakbir tanpa mengangkat kedua
tangan. Ketika bangkit bisa dengan tangan bertumpu pada lantai atau bisa juga
bertumpu pada pahanya.
Tangan bertumpu pada satu pahanya
Dari Wail bin Hujr, “Maka tatkala Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersujud dia meletakkan kedua lututnya ke lantai
sebelum meletakkan kedua tangannya …..dan apabila bangkit dia bangkit atas
kedua lututnya dengan bertumpu pada satu paha.” (Hadits dikeluarkan oleh Abu
Dawud)
Tangan bertumpu pada lantai (tempat
sujud)
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertumpu pada lantai ketika bangkit ke roka’at kedua. (Hadits dikeluarkan oleh
AlBukhari)
Disela duduk istirahat
Dari Malik bin Huwairits bahwasanya di
malihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat, maka bila pada roka’at yang
ganjil tidaklah beliau bangkit sampai duduk terlebih dulu dengan lurus.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Bukhari, Abu Dawud dan At- Tirmidzi)
Kedua
Bangkit dari duduk tasyahhud awwal (dari
roka’at kedua) dengan mengangkat kedua tangan seraya bertakbir seperti pada
takbiratul ihram.
Mengangkat tangan ketika takbir
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika bangkit dari duduknya mengucapkan takbir, kemudian berdiri (Hadits
dikeluarkan oleh Abu Ya’la)
Duduk Tasyahud Awal dan Akhir
Tasyahhud awwal dan duduknya merupakan kewajiban dalam
sholat
Tempat dilakukannya
Duduk tasyahhud awwal terdapat hanya pada sholat yang
jumlah roka’atnya sama dengan atau lebih dari dua (2), pada sholat wajib
dilakukan pada roka’at yang ke-2. Sedang duduk tasyahhud ahir dilakukan pada
roka’at yang terakhir. Masing-masing dilakukan setelah sujud yang kedua.
Cara duduk tasyahhud awwal dan tasyahhud akhir
Waktu tasyahhud awwal duduknya iftirasy (duduk diatas
telapak kaki kiri)
sedang pada tasyahhud akhir duduknya tawaruk (duduk
dengan kaki kiri dihamparkan kesamping kanan dan duduk diatas lantai)
Pada masing-masing posisi kaki kanan ditegakkan.
Dari Abi Humaid As-Sa’idiy tentang sifat sholat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata, “Maka apabila Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dalam dua roka’at (-tasyahhud awwal) beliau
duduk diatas kaki kirinya dan bila duduk dalam roka’at yang akhir (-tasyahhud
akhir) beliau majukan kaki kirinya dan duduk di tempat kedudukannya (lantai
dll).” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)
Letak tangan ketika duduk
Untuk kedua cara duduk tersebut tangan kanan ditaruh
di paha kanan sambil berisyarat dan/atau menggerak-gerakkan jari telunjuk dan
penglihatan ditujukan kepadanya, sedang tangan kirinya ditaruh/terhampar di
paha kiri
Dari Ibnu ‘Umar berkata Rasulullahi shallallahu
‘alaihi wa sallam bila duduk di dalam shalat meletakkan dua tangannya pada dua
lututnya dan mengangkat telunjuk yang kanan lalu berdoa dengannya sedang
tangannya yang kiri diatas lututnya yang kiri, beliau hamparkan padanya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Nasa-i).
Berisyarat dengan telunjuk, bisa digerakkan bisa tidak
Selama melakukan duduk tasyahhud awwal maupun
tasyahhud akhir, berisyarat dengan telunjuk kanan, disunnahkan
menggerak-gerakkannya. Kadang pada suatu sholat digerakkan pada sholat lain
boleh juga tidak digerak-gerakkan.
“Kemudian beliau duduk, maka beliau hamparkan kakinya
yang kiri dan menaruh tangannya yang kiri atas pahanya dan lututnya yang kiri
dan ujung sikunya diatas paha kanannya, kemudian beliau menggenggam
jari-jarinya dan membuat satu lingkaran kemudian mengangkat jari beliau maka
aku lihat beliau menggerak- gerakkannya berdo’a dengannya.” (Hadits dikeluarkan
oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa-i).
“Dari Abdullah Bin Zubair bahwasanya ia menyebutkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jarinya ketika
berdoa dan tidak menggerakannya.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud).
Mengangkat jari telunjuk dari awal tasyahud hingga
akhir
Madzhab kebanyakan orang-orang Syafiiyyah menyatakan
bahwa disunnahkan berisyarat dengan jari telunjuk kemudian diangkat jari
telunjuk tersebut ketika mencapai kata hamzah dari kalimat Laa ilaaha illallah.
Hal ini disebutkan oleh Imam An Nawawy dalam Al-Majmu’ 3/434 dan dalam Minhaj
Ath-Tholibin hal.12.
Dan hal yang sama disebutkan oleh Imam Ash-Shon’any
dalam Subulus Salam 1/362 dan beliau tambahkan bahwa hal tersebut
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqy.
Namun tidak ada keraguan bahwa yang disyariatkan dalam
hal ini adalah mengangkat jari telunjuk dari awal tasyahud hingga akhir. Hal
ini berdasarkan hadits-hadits shohih yang sangat banyak jumlahnya yang telah
tersebut sebagiannya pada jawaban pertanyaan no.1 yang menjelaskan bahwa Nabi
Shallallahu’alaihi wasallam ketika duduk tasyahud beliau menggenggam jari-jari
beliau lalu membuat lingkaran kemudian mengangkat telunjuknya, maka dzahir
hadits ini menunjukkan beliau mengangkat jari telunjuk dari awal tasyahud
sampai akhir.
Adapun bantahan terahadap madzhab orang-orang Syafiiyyah
maka jawabannya adalah sebagai berikut :
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqy itu
adalah hadits Khafaf bin Ima’ dan di dalam sanadnya ada
seorang lelaki yang tidak dikenal maka ini secara otomatis menyebabkan hadits
ini lemah.
2. Hal yang telah disebutkan bahwa dzohir
hadits-hadits yang shohih menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam
mengangkat jari telunjuk dari awal hingga ahir menyelisihi hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Baihaqy tersebut sehingga ini semakin mempertegas lemahnya
riwayat Al-Baihaqy tersebut.
3. Orang-orang Syafiiyyah sendiri tidak sepakat tentang sunnahnya mengangkat jari telunjuk ketika mencapai huruf hamzah dari kalimat Laa Ilaaha Illallah, karena Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 3/434 menukil dari Ar-Rafi’y (salah seorang Imam besar dikalangan Syafiiyyah) yang menyatakan bahwa tempat mengangkat jari telunjuk adalah pada seluruh tasyahud dari awal hingga akhir.
3. Orang-orang Syafiiyyah sendiri tidak sepakat tentang sunnahnya mengangkat jari telunjuk ketika mencapai huruf hamzah dari kalimat Laa Ilaaha Illallah, karena Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 3/434 menukil dari Ar-Rafi’y (salah seorang Imam besar dikalangan Syafiiyyah) yang menyatakan bahwa tempat mengangkat jari telunjuk adalah pada seluruh tasyahud dari awal hingga akhir.
4. Hal yang disebutkan oleh orang Syafiiyyah ini tidak
disebutkan di dalam madzhab para ulama yang lain. Ini menunjukkan bahwa yang
dipakai oleh para ulama adalah mengangkat jari telunjuk pada seluruh tasyahud
dari awal hingga akhir.
Kesimpulan :
JJadi yang benar di dalam masalah ini adalah bahwa jari telunjuk disyariatkan untuk diangkat dari awal tasyahud hingga akhir dan tidak mengangkatnya nanti ketika mencapai huruf hamzah dari kalimat Laa Ilaaha Illallah.
JJadi yang benar di dalam masalah ini adalah bahwa jari telunjuk disyariatkan untuk diangkat dari awal tasyahud hingga akhir dan tidak mengangkatnya nanti ketika mencapai huruf hamzah dari kalimat Laa Ilaaha Illallah.
Membaca do’a At-Tahiyyaat dan As-Sholawaat
Do’a tahiyyat ini ada beberapa riwayat, untuk
hendaklah dipilih yang kuat dan lafadhznya belum ditambah-tambah. Salah satu
contoh riwayat yang baik adalah sebagai berikut:
Berkata Abdullah : beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata : sesungguhnya Allah itu As-salam maka apabila shalat hendaklah
kalian itu mengucapkan:
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ،
السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ،
السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
“Segala penghormatan hanya milik Allah, juga segala
pengagungan dan kebaikan. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai
Nabi, begitu juga rahmat dan berkahNya. Kesejahteraan semoga terlimpahkan
kepada kita dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan
yang hak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusanNya.” [HR. Al-Bukhari dalam Fathul Baari 1/13 dan Imam Muslim
1/301]
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ
حَمِيْدُ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ
مَجِيْدٌ.
“Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad dan
keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan
keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Berilah berkah
kepada Muhammad dan keluarganya (termasuk anak dan istri atau umatnya),
sebagai-mana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarganya.
Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.” [HR. Al-Bukhari dalam Fathul
Baari 6/408.]
Berdo’a berlindung dari empat (4) hal.
Hal ini dilakukan pada duduk tasyahhud akhir saja.
…..Apabila kamu telah selesai bertasyahhud akhir
maka…(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Agar tidak menyalahi riwayat -hadits Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam- ini maka dalam tasyahhud awwal bacaannya berhenti sampai
membaca sholawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang ta’awudz
(berlindung dari 4 hal) ini dibaca hanya ketika tasyahhud akhir.
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ
الْقَبْرِ، وَمِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ،
وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ.
“Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari
siksaan kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta
dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal.” [HR. Al-Bukhari 2/102 dan Muslim 1/412.
Lafazh hadits ini dalam riwayat Muslim]
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ
الْقَبْرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ، وَأَعُوْذُ
بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ
مِنْ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ.
“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari
siksa kubur. Aku berlindung kepadaMu dari fitnah Almasih Dajjal. Aku berlindung
kepadaMu dari fitnah kehidupan dan sesudah mati. Ya Allah, Sesungguhnya aku
berlindung kepadaMu dari perbuatan dosa dan kerugian.” [HR. Al-Bukhari 1/202
dan Muslim 1/412]
Selanjutnya adalah berdo’a dengan do’a/permohonan
lainnya.
…kemudian (supaya) dia memilih do’a yang dia
kagumi/senangi… (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan Al Bukhari)
Salam
Salam sebagai tanda berakhirnya gerakan
sholat, dilakukan dalam posisi duduk tasyahhud akhir setelah membaca do’a minta
perlindungan dari 4 fitnah atau tambahan do’a lainnya.
“Kunci sholat adalah bersuci, pembukanya
takbir dan penutupnya (yaitu sholat) adalah mengucapkan salam.” (Hadits
dikeluarkan dan disahkan oleh Al Imam Al- Hakim dan Adz-Dzahabi)
Cara Salam
Dengan menolehkan wajah ke kanan seraya
mengucapkan do’a salam kemudian ke kiri.
Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari bapaknya
berkata: Saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi salam ke
sebelah kanan dan sebelah kirinya hingga terlihat putih pipinya. (Hadits
dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Muslim dan An-Nasa-i serta ibnu Majah)
Dari ‘Alqomah bin Wail, dari bapaknya,
ia berkata: Aku sholat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau
membaca salam ke sebelah kanan (menoleh ke kanan): “As Salamu’alaikum Wa
Rahmatullahi Wa Barakatuh.” Dan kesebelah kiri: “As Salamu’alaikum Wa
Rahmatullahi.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)
Macam-macam Bacaan Salam
Kadang-kadang beliau membaca:
As Salamu’alaikum Wa RahmatullahiWa
Barakatuh— As Salamu’alaikum Wa RahmatullahiWa Barakatuh
atau
As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa
Barakatuh— As Salamu’alaikum Wa Rahmatullah (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam
Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
atau
As Salamu’alaikum Wa Rahmatullah— As
Salamu’alaikum Wa Rahmatullah (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim)
atau
As Salamu’alaikum Wa Rahmatullah— As
Salamu’alaikum (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan An Nasai)
atau
As Salamu’alaikum dengan sedikit menoleh
ke kanan tanpa menoleh ke kiri (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Baihaqi dan
Ath Thabrani)
Gerak yang dilarang
Sering terlihat orang yang mengucapkan
salam ketika menoleh ke kanan dibarengai dengan gerakan telapak tangan dibuka
kemudian ketika menoleh ke kiri tangan kirinya di buka. Gerakan tangan ini
dilarang oleh shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Mengapa kamu menggerakkan tangan kamu
seperti gerakan ekor kuda yang lari terbirit-birit dikejar binatang buas? Bila
seseorang diantara kamu mengucapkan salam, hendaklah ia berpaling kepada
temannya dan tidak perlu menggerakkan tangannya.” [Ketika mereka sholat lagi
bersama Rasullullah, mereka tidak melakukannya lagi]. (Pada riwayat lain
disebutkan: “Seseorang diantara kamu cukup meletakkan tangannya di atas
pahanya, kemudian ia mengucapkan salam dengan berpaling kepada saudaranya yang
di sebelah kanan dan saudaranya di sebelah kiri). (Hadits dikeluarkan oleh Al
Imam Muslim, Abu ‘Awanah, Ibnu Khuzaimah dan At-Thabrani).
Diantara gerakkan bid’ah yang dilakukan
saat salam adalah gerakkan yang dilakukan oleh orang syi’ah dengan menepukkan
kedua tangannya di atas paha tiga kali, sebagai pengganti salam dengan menoleh
ke kanan dan ke kiri. Hal seperti ini dilakukan oleh syi’ah Iran dan sekitarnya.
Maksud dari gerakan itu adalah melaknat malaikat Jibril karena mereka
mengatakan Jibril telah salah menyampaikan wahyu.