Secara lughawi, khalwah berarti menyendiri atau menyepi. Kata khala dalam bahasa Arab berarti kosong. Secara istilahi khalwah
kemudian sering digunakan untuk menyatakan seorang pria dan seorang
wanita, bukan suami istri dan bukan pula mahram satu sama lain, yang
berdua-duaan di tempat sepi tanpa adanya orang ketiga. Definisi ini
benar namun belum mewakili secara keseluruhan.
Definisi yang lebih lengkap dan tepat adalah terpenuhinya kondisi-kondisi berikut:
- Seorang pria dan seorang wanita.
- Bukan suami istri dan bukan mahram satu sama lain.
- Bersama-sama.
- Tidak ada kontrol dari luar.
Ketiadaan kontrol dari luar adalah esensi (‘illah) khalwah (sebetulnya istilah ‘illah
kurang tepat apabila diletakkan dalam tanda kurung mengikuti istilah
esensi, namun barangkali hal ini bisa ditolerir dalam rangka kemudahan
pemahaman). Adanya seorang baligh (atau mumayyiz) sebagai pihak ketiga
dapat berfungsi sebagai kontrol, karena bisa mengingatkan. Sebaliknya
seorang anak kecil yang belum mumayyiz tidak bisa dianggap sebagai pihak
ketiga yang menggugurkan khalwah, karena dia tidak bisa
melakukan kontrol. Bahkan ada sementara ulama yang – secara ijtihadiy –
berpendapat bahwa dari masing-masing jender haruslah lebih dari satu.
Artinya, tidak boleh satu laki-laki bersama sekumpulan wanita, atau
seorang wanita bersama sekumpulan laki-laki. (Hasyiyah al-Raudh al-Murbi’ oleh Al-Najdiy, jilid 6 hal 238).
Namun sekali lagi, pendapat ini adalah ijtihadiy, dengan alasan bahwa
pada kondisi semacam itu dikhawatirkan tidak ada kontrol. Andaikata
suatu saat, kondisi semacam itu diyakini sudah memiliki unsur kontrol,
maka saat itu tidak lagi bisa dikategorikan sebagai khalwah.
Namun perlu dicatat, bahwa dugaan-dugaan yang dianggap absah adalah
dugaan yang kuat (mendekati keyakinan atau bahkan yakin) dan berlaku
pada ghalibnya. Dugaan yang lemah (spekulatif) tidaklah absah untuk
dijadikan landasan. Sebagai contoh, sepasang muda-mudi berdua-duaan
memang tetap saja mungkin untuk tidak melakukan kemaksiatan, namun
dugaan ini amat lemah karena pada ghalibnya tidak demikian. Jadi, khalwah dilarang adalah dalam rangka prevensi (sadd li al-dzari’ah).
Demikian
pula apabila sepasang muda-mudi bersama-sama di tengah banyak orang
namun orang-orang tersebut diyakini tidak bisa melakukan kontrol.
Sebagai contoh, sepasang muda-mudi berada di tengah-tengah komunitas
yang diyakini tidak bisa melakukan amar ma’ruf nahy munkar, seperti di
tempat hiburan, rumah makan, tempat wisata, dan sebagainya. Di
tempat-tempat seperti itu, orang-orang yang tidak saling mengenal
tidaklah peduli satu sama lain, tidak mengontrol satu sama lain. (Kuliah Akhlaq oleh Yunayar Ilyas, Lc., MA)
Bagaimana
dengan sepasang muda-mudi yang berjalan-jalan berduaan dalam suatu
perjalanan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, hukum asalnya
adalah tidak boleh, apabila selama itu lingkungan sekitar tidak bisa
melakukan kontrol, artinya apabila lingkungan sekitar tidak ambil
peduli. Sebaliknya, apabila lingkungan sekitar mampu memberikan tekanan
moral misalnya, maka tindakan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai khalwah.
Hal
lain yang juga harus dicatat adalah bahwasanya hukum bisa berubah
apabila ada pertentangan madharat. Dalam kondisi semacam ini maka kita
harus memilih yang madharatnya paling kecil. Sebagai contoh, apabila ada
seorang muslimah tersesat di daerah yang amat rawan kejahatan (dengan
keyakinan kuat dan didukung fakta), maka menemaninya dalam rangka
menjaga keamanan adalah tindakan yang lebih utama. Yang demikian ini
adalah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Shofwan ketika mendapati
Ummul Mukminin ‘Aisyah tertinggal sendirian di tengah gurun pasir yang
ganas.
No Khalwat ! Why and How ?
- Nabi bersabda,”Janganlah kalian bersendirian dengan wanita”. Maka seorang sahabat Anshar bertanya,”Wahai Rasulullah, meskipun ia laki-laki keluarga dekat suaminya?” Rasulullah menjawab,”Justeru laki-laki keluarga dekat suami itu berbahaya !” (Dari ‘Uqbah ibn ‘Amir, dalam kitab Shahih Bukhari nomor 5232, dalam Shahih Muslim nomor 5674)
- Nabi bersabda,”Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita (asing) kecuali bersama mahramnya (dzu mahram)”. Maka seorang sahabat berdiri lantas berkata,”Wahai Rasulullah, bagaimana kalau isteriku sedang keluar rumah untuk berhaji sementara aku harus mengikuti perang ini atau itu”. Rasulullah menjawab,”Kembalilah dari perang dan temani isterimu berhaji”.(Dari Ibn ‘Abbas, dalam kitab Shahih Bukhari nomor 5233).
- Nabi bersabda,”Janganlah seorang wanita melakukan safar (perjalanan jauh) kecuali bersama mahramnya (dzu mahram), dan janganlah seorang laki-laki bersendirian bersamanya kecuali wanita tersebut ditemani mahramnya (mahram)”. Maka seorang sahabat berkata,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin ikut serta dalam pasukan ini atau itu sementara isteriku ingin berhaji”. Maka Rasulullah menjawab,”Keluarlah bersama isterimu (untuk menemaninya berhaji)”. (Dari Ibn ‘Abbas, dalam kitab Shahih Bukhari nomor 1862)
- Anas ibn Malik meriwayatkan bahwa seorang wanita Anshar, dengan membawa anak-anaknya (dalam riwayat lain, dengan membawa seorang bayinya), telah datang kepada Nabi. Maka Nabi bersendirian (khalaa) dengan wanita itu, dan berkata,”Sesungguhnya kalian (wahai Anshar) merupakan orang-orang yang paling aku cintai”. (Shahih Bukhari nomor 5234,3786,6645)
- Nabi bersabda,”Camkan! Janganlah seorang laki-laki menginap bersama dengan seorang wanita janda, kecuali jika dia itu suaminya atau mahramnya (dzu mahram)”. (Dari Jabir, dalam Shahih Muslim nomor 5673)
- ‘Abdullah ibn’Amr ibn al-‘Ash mengatakan bahwa beberapa (NAFAR) laki-laki Bani Hasyim menemui Asma’ bint ‘Umais (dan Asma’ sedang sendirian), maka Abu Bakr setelah itu kebetulan masuk juga ke tempat Asma’ (Saat itu Asma’ merupakan hamba milik Abu Bakr). Melihat para lelaki itu, Abu Bakr jadi tidak suka. Maka Abu Bakr pun melaporkan kejadian tersebut kepada Nabi. Abu Bakr berkata,”Saya melihat mereka tidak macam-macam, kok”. Maka Rasulullah berkata,”Sesungguhnya Allah berlepas tangan dalam kejadian semacam itu”.Kemudian Rasulullah bangkit menuju mimbar dan bersabda,”Janganlah sekali-kali seorang laki-laki, sesudah hari ini, masuk menemani seorang wanita yang sedang sendirian, kecuali jika laki-laki itu ditemani seorang laki-laki lain atau ditemani dua laki-laki lain”. (Shahih Muslim, nomor 5677)
- Dari Anas: Bahwasanya Nabi sedang bersama salah seorang isteri beliau, ketika seorang laki-laki melewati beliau. Maka beliau memanggilnya, sehingga laki-laki itu mendatangi beliau. Maka Rasulullah berkata,”Wahai Fulan! Ini adalah isteriku, Fulanah”. Maka laki-laki itu berkata,”Saya tahu bagaimana harus berprasangka kepada Anda. Saya tidak akan berprasangka apapun kepada Anda”. Maka Rasulullah berkata,”Sesungguhnya syaithan itu mengalir dalam diri manusia sebagaimana aliran darah”. (Riwayat yang lain menceritakan hal yang sama, hanya saja disitu disebutkan bahwa wanita itu adalah Shafiyyah bint Huyayy, dan Rasulullah menambahkan sabdanya,”Dan aku khawatir bahwa hati kalian akan berpraduga buruk tentang aku”. (Shahih Muslim nomor 5678, 5679,5680)
Dari
beberapa hadits diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa khalwat dilarang
karena perbuatan tersebut amat rawan untuk menyeret pelakunya kedalam
jurang zina, sementara Allah berfirman,”Dan janganlah kalian mendekati zina”. Jadi, khalwat dilarang karena ia merupakan pintu menuju zina.
Lalu,
pertanyaan yang akan muncul kemudian adalah perkumpulan (antara pria
dan wanita) seperti apakah yang tidak mengarahkan pelakunya kepada zina ?
Kalau kita mencermati beberapa hadits diatas, maka ada beberapa hal
yang bisa kita catat:
Pertama,
bahwa satu orang laki-laki bersendirian dengan satu orang wanita yang
bukan isterinya dan bukan pula wanita yang haram dinikahinya, adalah
terlarang.
Kedua,
agar hal pertama diatas menjadi boleh, maka dua orang tersebut harus
ditambah dengan orang ketiga. Siapakah orang ketiga itu ? Menurut teks
hadits nomor 2,3,dan 5, orang ketiga tersebut adalah laki-laki yang
merupakan mahram bagi si wanita (DZU MAHRAM, bukan DZATU MAHRAM). Namun
menurut hadits nomor 6, orang ketiga tersebut adalah laki-laki secara
mutlaq, tidak diterangkan apakah ia mahram bagi si wanita ataukah tidak.
Namun kalau kita mengamati keseluruhan teks hadits nomor 6, maka
tidaklah mungkin kalau yang dimaksud adalah laki-laki yang bukan mahram
bagi si wanita, karena justeru kejadian yang dilaporkan oleh Abu Bakr
adalah kejadian dimana disitu banyak laki-laki hanya saja tidak ada satu
pun yang merupakan mahram bagi si wanita, dan hal itu dicela olah Nabi.
Jadi secara logis, laki-laki lain yang dimaksud oleh hadits nomor 6
adalah laki-laki yang menjadi mahram bagi si wanita.
Sebuah
pertanyaan muncul. Bagaimana jika orang ketiga itu adalah wanita yang
menjadi mahram bagi si laki-laki, dengan alasan bahwa, lafadz DZU MAHRAM
adalah lafadz mudzakkar yang bisa mencakup baik mudzakkar maupun muannats sekaligus.
Jawaban
bagi pertanyaan tersebut ialah bahwa hal itu bertentangan dengan zhahir
hadits nomor 6, yang menyebutkan bahwa orang ketiga itu harus laki-laki
(RAJUL). Ini tentu saja dilandaskan pada pemahaman bahwa kata RAJUL
tidak mungkin bisa mencakup makna wanita. Jadi tidaklah benar bahwa
orang ketiga itu boleh wanita yang menjadi mahram bagi si laki-laki.
Pertanyaan
besar yang kemudian muncul adalah mengapa orang ketiga itu tidak boleh
wanita yang merupakan mahram bagi si laki-laki ? Disusul dengan
pertanyaan yang tidak kalah sulitnya. Jika perkumpulan itu terdiri lebih
dari tiga atau empat orang, apakah syarat kehadiran laki-laki mahram
bagi si wanita tetap harus dipenuhi ? Ada dua alternatif jawaban atas
dua pertanyaan tersebut.
Pertama,
dalam kasus tiga orang dimana dua diantaranya adalah laki-laki dan
wanita asing maka orang ketiga haruslah laki-laki mahram bagi si wanita.
Sementara dalam kasus lebih dari tiga orang, ketentuan tersebut tidak
lagi berlaku (laki-laki mahram bagi si wanita tidak harus ada), namun
tetap saja dipersyaratkan bahwa harus ada lebih dari satu wanita (agar
tidak bertentangan dengan hadits nomor 6).
Kedua,
tidaklah benar bahwa kata RAJUL hanya bisa mencakup jender laki-laki.
Kata ini bisa pula mencakup jender wanita, sebab kata ini adalah mudzakkar, dan setiap mudzakkar bisa saja mencakup muannats, sebagaimana ‘urf
bahasa Arab. Apabila jawabannya demikian, maka orang ketiga bisa jadi
adalah laki-laki mahram bagi si wanita, dan bisa jadi pula adalah wanita
mahram bagi si laki-laki.
Kedua
alternatif jawaban yang bertentangan ini berpangkal pada masalah apakah
kata RAJUL bisa mencakup makna wanita ataukah tidak. Untuk itu mari
kita teliti masalah ini lebih lanjut.
Dari kamus Lisan al-‘Arab, kita memahami bahwa kara RAJUL bermakna LAKI-LAKI yang sudah cukup usia (DEWASA, fauqa al-ghulam),
dengan kata lain adalah LAKI-LAKI DEWASA. Kata ini sama sekali tidak
bisa dimaknai sebagai wanita, dengan minimal dua alasan. Pertama,
sikap wanita yang menyerupai laki-laki disebut TARAJJUL, dan wanita
yang memiliki keberanian atau kemahiran sebagaimana lelaki disebut
sebagai RUJLAT. Artinya bahwa kata RAJUL adalah khas laki-laki, sehingga
mesti dimaknai sebagai LAKI-LAKI. Alasan kedua, Allah telah menggunakan kata RAJUL untuk menunjukkan makna LAKI-LAKI dan bukan wanita. Allah berfirman,”Dan ambillah saksi dengan dua saksi diantara kaum LAKI-LAKI (syahidaini min rijalikum)”. Andaikata ayat tersebut hanya berhenti sampai pada kata syahidaini,
maka saksi yang dimaksud bisa laki-laki ataupun wanita. Namun tidak,
kedua saksi tersebut harus laki-laki dan tidak boleh wanita, karena
untuk bisa ekivalen dengan satu saksi laki-laki, harus didatangkan dua
orang saksi wanita.
Namun, kalau misalnya kita lihat firman Allah QS Al-Jinn ayat 6,”Dan sesungguhnya ada RIJAL dari golongan manusia meminta perlindungan kepada RIJAL dari golongan jin....”. Apakah kata RIJAL (jamak dari RAJUL) disini hanya bermakna laki-laki? Ataukah mencakup pula para wanita?
Sungguh!
Yang paling berbahagia dalam masalah ini adalah para sahabat Nabi
karena kita yakin bahwa mereka pasti mengerti benar apa makna RAJUL
dalam hadits-hadits tersebut.
Untuk
keluar dari kebuntuan ini, kita bisa menggunakan pertimbangan maslahat.
Masalah-masalah muamalat (atau dalam istilah Syathibi, al-‘adat) penuh dengan pertimbangan maslahat yang apabila dicermati akan bisa dilihat dengan jelas. Berbeda dengan masalah-masalah ta’abbudi (transendental), ia bersifat tauqifiy, yang mana manusia tidak akan bisa menyingkap maslahat hakikinya. Dalam hal ini, manusia hanya bisa menyingkap hikmahnya.
Apa
yang terjadi jika orang ketiga dalam kasus kita adalah laki-laki yang
merupakan mahram bagi si wanita ? Tentu saja akan timbul suasana aman
(dari keterperosokan kedalam jurang zina), sebab laki-laki ini akan
berusaha melindungi kehormatan si wanita, yang tidak lain adalah
kerabatnya sendiri.
Lalu,
apa yang terjadi jika orang ketiga dalam kasus kita adalah wanita yang
merupakan mahram bagi si laki-laki ? Akankah timbul suasana aman ?
Biasanya pihak yang agresif untuk mendorong terjadinya zina adalah pihak
laki-laki (wallahu a’lam). Dalam hal ini, si laki-laki bisa
merasa malu kepada wanita mahramnya apabila ia hendak berbuat nista.
Kuatkah bentuk pencegahan semacam ini ? Wallahu a’lam, yang
jelas bentuk pencegahan berupa kontrol eksternal adalah absah menurut
syariat. Tapi apakah benar begitu? Bagaimana halnya dengan beberapa
pemuda yang mengerubuti Asma’? Bukankah seharusnya para laki-laki itu
bisa saling mengingatkan dan saling mengontrol? Tetapi mengapa Nabi
masih mencela kejadian itu?
Subhanallah! Bukankah Nabi pernah bersabda,”Yang
halal itu jelas. Yang haram itu jelas. Dan diantara keduanya terdapat
perkara mutasyabihat. Barangsiapa menjauhi yang mutasyabihat maka dia
telah terjaga”. Dari sini agaknya lebih aman kalau kita bersikap wara’, menjauhi yang syubhat. Artinya, kita pilih pendapat bahwa orang
ketiga dalam kasus kita haruslah laki-laki yang merupakan mahram bagi
si wanita. Hanya saja perlu dicatat bahwa dalam kasus perkumpulan lebih
dari tiga orang, ketentuan tersebut bukan lagi suatu keharusan, namun
tetap saja bahwa harus ada lebih dari satu wanita.
Memahami Hadits Nomor 4
Dalam
hadits nomor 4 disebutkan bahwa Rasulullah telah bersendirian
(berkhalwat) dengan seorang wanita Anshar. Meskipun wanita tersebut
membawa pihak ketiga, namun karena pihak ketiga itu adalah seorang (atau
lebih) bayi, maka yang demikian tetap saja dikatakan sebagai khalwat.
Hadits tersebut dimuat dalam Shahih Bukhari dibawah judul “Bab: Khalwat Yang Diperbolehkan Di Tengah-tengah Manusia (‘inda al-nas). Tugas kita sekarang adalah merumuskan bagaimanakah khalwat yang diperbolehkan itu.
Kita memahami bahwa Nabi merupakan uswah
bagi kita. Segala perilaku Nabi adalah untuk diteladani, kecuali pada
hal-hal yang memang khusus untuk Nabi. Secara umum, segala perilaku Nabi
harus diteladani selama tidak ada qarinah (indikasi) yang menyatakan bahwa perilaku tersebut khusus untuk Nabi.
Dalam
permasalahan hadits nomor 4 ini, kita harus menetapkan apakah ada
qarinah yang menyatakan kekhususan bagi Nabi ataukah tidak. Jika tidak
ada, maka kita harus mencari penjelasan mengapa kejadian dalam hadits
nomor 4 itu diperbolehkan.
Sejauh ini, secara eksplisit tidak ada qarinah
yang menyatakan bahwa kasus ini adalah kekhususan bagi Nabi. Bagaimana
kalau ada yang mengatakan bahwa kita bisa memahami kasus ini dari sisi
bahwa Nabi adalah ma’shum, yang karenanya boleh berkhalwat karena tidak mungkin akan tergoda. Na’udzubillah! Pendapat tersebut sungguh naif. Ke-ma’shum-an
Nabi sama sekali tidak boleh diartikan seperti itu. Nabi tidaklah
diutus untuk menjadi manusia yang bebas aturan dengan alasan ‘ishmat. Bahkan Nabi adalah manusia biasa yang memiliki kecenderungan-kecenderungan manusiawi, hanya saja beliau dianugerahi wahyu.
Kalau
begitu, marilah sekarang kita mencari penjelasan mengapa kasus ini
diperbolehkan. Kalau kita perhatikan judul haditsnya : “Bab: Khalwat Yang Diperbolehkan Di Tengah-tengah Manusia (‘inda al-nas),
maka kita mendapatkan bahwa Imam Bukhari seolah-olah ingin menegaskan
bahwa kejadian berdua-duannya Rasulullah dengan wanita Anshar terjadi di
tengah manusia lain. Artinya, Rasulullah tidak benar-benar hanya
berduaan dengan si wanita Anshar, akan tetapi disana ada juga
orang-orang yang lain. Hal ini dengan mudah bisa kita pahami dari teks
hadits:
Dari Anas ibn Malik ra, dia berkata: Telah datang seorang wanita Anshar kepada Nabi dan kemudian berduaan dengan Nabi ...
Bagaimana
Anas mengetahui kedatangan wanita Anshar tersebut? Dari mana pula ia
tahu bahwa wanita itu kemudian hanya berduaan dengan Nabi? Jawabnya
tentu karena ia saat itu ada di tempat yang sama dengan Nabi dan wanita
tersebut, meskipun tidak dalam jarak yang amat dekat.
Kita
bisa memahami bahwa pada kejadian tersebut, sebetulnya ada orang-orang
lain yang bisa mengamati sekaligus mengawasi. Keberadaan orang-orang
lain inilah yang barangkali menyebabkan Imam Bukhari menyebutkan kata ‘inda al-nas dalam judul hadits tersebut. Dari sini terbuktilah bahwa kontrol eksternal merupakan esensi dari pelarangan khalwat.
Kontrol eksternal sebagai esensi bisa pula kita pahami dari hadits berikut:
Nabi bersabda,”Tidaklah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, kecuali yang ketiga adalah syetan” (Hadits hasan shahih, dari ‘Uqbah ibn ‘Amir, dalam Sunan Turmudzi Bab Radha’ no. 16)
Dengan
demikian yang harus kita lakukan adalah mengusahakan pihak ketiga yang
bukan syetan dan mampu mengalahkan syetan itu sendiri. Tidak bisa tidak,
pihak ketiga yang dimaksud harus sanggup melakukan kontrol eksternal.
Semakin kuat kontrol tersebut, semakin afdhal pula perkumpulan tersebut.
Kembali
kepada hadits wanita Anshar. Apa yang dikemukakan diatas merupakan
dugaan pertama. Ada dugaan lain yang juga mungkin melandasi tindakan
Nabi tersebut. Perhatikan hadits berikut:
Dari Jabir, Nabi bersabda,”Janganlah
berkhalwat dengan wanita mughibat (wanita yang sedang ditinggal oleh
suaminya). Sesungguhnya syaithan mengalir dalam diri kalian sebagaimana
aliran darah”. Sahabat bertanya,”Apakah dalam diri Anda – wahai
Rasulullah – juga demikian?” Nabi menjawab,”Ya, dalam diri saya juga.
Akan tetapi Allah telah menolongku dari syetan sehingga saya selamat”. (Hadits gharib, dalam Shahih Bukhari Bab Nikah no. 112)
Dari
hadits tersebut kita bisa memahami bahwa Rasulullah telah dijamin
keterjagaannya dari perbuatan nista, sehingga tidaklah berbahaya apabila
beliau harus berduaan saja dengan seorang wanita. Namun lagi-lagi,
pandangan ini sepertinya terlalu naif, karena bagaimanapun juga Nabi
tetap harus memberikan uswah kepada umatnya. Sebagai gambaran, meskipun
Nabi telah dijamin masuk surga, Nabi bahkan sangat giat menunaikan
ibadah sunnah. Dalam hadits wanita Anshar, beliau pun telah memberikan
uswah, terbukti dari adanya orang-orang lain yang sanggup mengawasi pada
perkumpulan itu, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Bukhari.
Memahami Hadits Nomor 7
Dengan
mencermati hadits nomor 7, kita bisa menyimpulkan bahwa kita
diperintahkan untuk mencegah timbulnya fitnah (sebagai kata dalam bahasa
Indonesia, bermakna gosip). Dari sini, kita bisa memahami bahwa dalam
interaksi antara pria dan wanita, kita harus mencegah terjadinya al-fitnat
(bahasa Arab, bermakna godaan) sekaligus mencegah timbulnya fitnah
(bahasa Indonesia, bermakna gosip). Jadi interaksi antara pria dan
wanita harus tercegah dari bahaya internal (berupa al-fitnat) sekaligus bahaya eksternal (berupa fitnah, gosip).
MAKNA DZU MAHRAM
Alhamdulillah, akhirnya ada secercah cahaya terang tentang makna kata DZU MAHRAM,
yang mana kebuntuan dalam menentukan makna tersebut telah menyebabkan
kepelikan dalam membahas masalah khalwat dan beberapa masalah lainnya.
Kita akan merujuk pada dua buah kamus klasik yang cukup mu’tabar, Lisanul ‘Arab (LA) karya Ibn Manzhur dan Al-Mu’jam Al-Wasith (MW). Dalam MW, termuat penjelasan sebagai berikut.
- Al-mahram : apa-apa yang diharamkan oleh Allah
- Al-mahram : dzu al-hurmat. Bentuk jamaknya : maharim
- Mahram (bisa laki-laki atau wanita) : orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan darah atau kekerabatan.
Dari penjelasan diatas kita menyimpulkan bahwa menurut kebiasaan orang Arab, kata MAHRAM
bermakna orang (baik laki-laki atau perempuan) yang haram dinikahi
karena hubungan darah atau kekerabatan. Jadi, kata ini hanya lazim
dipakai dalam kaitannya dengan hubungan darah dan kekerabatan. Lebih
dari itu, meskipun haram dinikahi juga, tidaklah lazim dinyatakan dengan
istilah MAHRAM. Sebagai contoh, bagi seorang wanita, seluruh
wanita lain yang ada di dunia adalah haram untuk dinikahinya, namun
wanita-wanita tersebut tidak lazim disebut MAHRAM-nya. Demikian pula kambing, sapi, unta, kucing, dan sebagainya adalah juga haram untuk dinikahinya (wah, tentu saja!), namun semua itu tidaklah lazim disebut sebagai MAHRAM-nya. Kesimpulannya, tidaklah semua yang haram dinikahi lazim disebut sebagai MAHRAM.
Sebutan itu lazimnya hanya dipakai dalam kaitannya dengan hubungan
darah atau kekerabatan. Sebetulnya, setiap yang haram dinikahi bisa saja
disebut sebagai MAHRAM, hanya saja hal itu tidak lazim.
Dengan
demikian seorang wanita tidaklah lazim disebut sebagai mahram bagi
wanita yang lainnya. Demikian pula seorang laki-laki tidaklah lazim
disebut sebagai mahram bagi laki-laki yang lainnya. Yang demikian ini
karena tanpa disebut begitu pun, kelaziman sudah menyatakannya,
sebagaimana lazimnya manusia tidak boleh menikah dengan hewan, dan
ternyata hewan tidak pernah disebut sebagai mahram bagi seseorang.
Setting pembicaraan kita adalah masa Nabi dimana kata DZU MAHRAM
itu sendiri diucapkan oleh Nabi dan didengar oleh para sahabat. Suatu
kata tidaklah menutup kemungkinan akan mengalami perluasan atau bahkan
penyimpangan dari makna asalnya. Untuk mengantisipasi kemungkinan
semacam itu, maka penulis lebih cenderung merujuk pada kamus-kamus
klasik dalam menemukan makna kata tersebut. Kamus-kamus klasik,
bagaimanapun juga, relatif lebih konservatif daripada bahasa yang hidup
dan berkembang dari zaman ke zaman.
Selanjutnya, mari kita lihat bagaimana LA menjelaskan makna kata DZU MAHRAM. Berikut ini nukilannya.- Mahram : yang haram dinikahi. Seorang penyair Arab klasik bersenandung :
Wa jaaratul baiti araahaa mahramaa
(=Dan seorang wanita tetangga rumah kulihat tidak boleh dijamah dan dinikahi)
- Al-mahram : dzatu al-rahim fi al-qirabat, yakni wanita yang tidak halal untuk dinikahi. Karena itu, Anda mengatakan : Dia (laki-laki) merupakan dzu rahim atau dzu mahram. Dia (wanita) merupakan dzatu rahim atau dzatu mahram.
- Al-Jauhari berkata : Dikatakan bahwa dia (laki-laki) merupakan dzu rahim dari seorang wanita apabila laki-laki tersebut tidak halal untuk menikahi wanita tersebut.
- Sebuah hadits menyebutkan : Janganlah seorang wanita melakukan perjalanan kecuali bersama DZU MAHRAM-nya. Dalam riwayat yang lain : ..... kecuali bersama DZU HURMAT-nya.
- DZU AL-MAHRAM : seorang laki-laki yang haram dinikahi oleh seorang wanita karena laki-laki tersebut masih temasuk kerabatnya, seperti ayahnya, anak laki-lakinya, pamannya, dan yang semacamnya.
Setelah
mencermati penjelasan dalam kedua kamus diatas, kita memahami bahwa
seorang wanita memiliki mahram dari kalangan laki-laki (seperti ayahnya,
anak laki-lakinya, saudara laki-lakinya, dan sebagainya). Demikian
pula, seorang laki-laki memiliki mahram dari kalangan wanita (seperti
ibunya, anak perempuannya, saudara perempuannya, dan sebagainya).
Dalam
kasus khalwat, muncul permasalahan sebagai berikut. Untuk kasus dimana
si wanita sendirian dengan ditemani lebih dari satu laki-laki
(sebagaimana tergambar dalam hadits Asma’), maka mahram yang dibutuhkan
ialah mahram bagi si wanita. Namun dalam kasus dimana baik si wanita
maupun si laki-laki sama-sama sendirian, maka mahram bagi siapakah yang
dibutuhkan. Apakah seorang laki-laki mahram dari si wanita? Ataukah
seorang laki-laki mahram dari si laki-laki?
Sebagaimana penjelasan yang lalu mengenai khalwat, jawaban akan kita dapatkan setelah kita menuntaskan makna kata RAJUL. Namun kalaupun permasalahan makna kata RAJUL
ini belum tuntas, kita masih memiliki pertimbangan lain. Pertimbangan
yang dimaksud ialah bahwa kalau kita mengkompromikan antara
hadits-hadits tentang khalwat antara dua orang yang berlainan jenis,
hadits Asma’, dan hadits-hadits tentang safar bagi wanita, maka makna
kata DZU MAHRAM pada seluruh hadits yang ada bertemu pada satu irisan, yakni bahwa DZU MAHRAM
yang dimaksudkan ialah mahram bagi si wanita. Dengan demikian keumuman
dalalah hadits-hadits tentang khalwat antara dua orang yang berlainan
jenis dikhususkan oleh hadits Asma’ dan hadits-hadits tentang safar bagi
wanita. Metode kompromi seperti ini, sebagaimana kita sepakati,
merupakan metode terbaik dalam memecahkan pertentangan dalil-dalil (ta’arudh al-adillat).
Jadi dalam masalah khalwat, kita menyimpulkan bahwa seorang wanita harus ditemani oleh seorang laki-laki yang merupakan mahram baginya.
Hikmah dari ketentuan ini ialah, sebagaimana telah disinggung di awal
tulisan ini, bahwa seorang laki-laki yang merupakan mahram bagi si
wanita yang ditemaninya, diyakini akan mampu menjaga “keamanan” si
wanita.
Kalau begitu, dengan kata lain kita bisa menurunkan beberapa ketentuan sebagai berikut:
- Dalam kasus khalwat, seorang wanita tidak cukup hanya ditemani oleh seorang wanita lainnya, biarpun dia kerabatnya.
- Dalam kasus khalwat antara dua orang yang berlainan jenis, tidaklah cukup jika pihak ketiga ialah seorang wanita lainnya yang merupakan mahram bagi si laki-laki.
Kasus
khalwat, pada dasarnya, merupakan kasus berduaan antara seorang wanita
dan seorang laki-laki asing. Agar kasus tersebut tidak lagi disebut
sebagai khalwat yang dilarang, maka harus ditambahkan orang ketiga. Nah,
orang ketiga ini tidak boleh sembarangan. Orang ketiga ini tidaklah
asal orang ketiga, tanpa peduli siapa dia. Seandainya sembarangan,
tentunya dalam hadits-hadits tentang khalwat, Nabi akan berkata,”Kecuali jika ditemani orang ketiga”. Namun sebaliknya, Nabi mengatakan secara spesifik,”Kecuali jika ditemani mahramnya”. Jadi kasus khalwat tidak selesai hanya dengan jumlah personil lebih dari dua.
Pertanyaan lain yang kemudian muncul ialah,”Sampai kapan seorang wanita boleh berkumpul dengan laki-laki, tanpa ditemani oleh laki-laki mahramnya?”
Jawabannya tentu saja ialah, dalam kasus yang tidak lagi bisa disebut
sebagai KHALWAT. Nabi hanyalah mempersyaratkan hadirnya laki-laki mahram
dalam kasus khalwat. Artinya jika suatu perkumpulan bukan merupakan
khalwat, maka hadirnya laki-laki mahram tidaklah dipersyaratkan.
Bagaimanakah
suatu perkumpulan itu tidak bisa disebut sebagai khalwat. Dengan
berbagai pertimbangan, bisa dikatakan bahwa perkumpulan tersebut harus
memenuhi syarat-syarat berikut:
- Perkumpulan tersebut hanya terdiri dari satu jenis kelamin saja (wanita saja atau laki-laki saja).
- Dalam perkumpulan empat orang keatas dan didalamnya terdapat wanita, maka jumlah wanita harus lebih dari satu. Dalam perkumpulan semacam ini, seorang wanita tidak harus ditemani oleh laki-laki mahramnya.
Sampai
sejauh ini, kita telah membahas masalah khalwat melalui metode tafsir
tekstual. Selanjutnya kita akan mengembangkan pembahasan pada tafsir
kontekstual. Pendirian kita dalam hal ini ialah bahwa tafsir tekstual
tidak boleh dilanggar, tetapi tidak berarti tafsiran hanya terbatas
sampai disitu saja. Tafsiran tekstual bisa diperluas menjadi tafsir
kontekstual. Tetapi lagi-lagi, munculnya tafsir kontekstual tidak boleh
menghilangkan tafsir tekstual.
Yang
dimaksud dengan tafsir kontekstual kali ini ialah tafsir esensial atau
tafsir substantif. Esensi yang bisa kita dapatkan dalam masalah khalwat
ialah bahwa dalam perkumpulan antara laki-laki dan wanita harus ada kontrol eksternal, yang dengan itu diharapkan tidak akan terjadi perbuatan-perbuatan yang tidak pantas.
Apabila
sepasang muda-mudi bersama-sama di tengah banyak orang namun
orang-orang tersebut diyakini tidak bisa melakukan kontrol, maka kondisi
yang demikian ini pada dasarnya telah memenuhi esensi khalwat. Sebagai
contoh, sepasang muda-mudi berada di tengah-tengah komunitas yang
diyakini tidak bisa melakukan amar ma’ruf nahy munkar, seperti di tempat
hiburan, rumah makan, tempat wisata, dan sebagainya. Di tempat-tempat
seperti itu, orang-orang yang tidak saling mengenal tidaklah peduli satu
sama lain, tidak mengontrol satu sama lain. (Kuliah Akhlaq oleh Yunayar Ilyas, Lc., MA)
Bagaimana
dengan sepasang muda-mudi yang berjalan-jalan berduaan tetapi tidak
dalam perjalanan jauh. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas,
hukum asalnya adalah tidak boleh, apabila selama itu lingkungan sekitar
tidak bisa melakukan kontrol, artinya apabila lingkungan sekitar tidak
ambil peduli. Sebaliknya, apabila lingkungan sekitar mampu memberikan
kontrol, dengan tekanan moral misalnya, maka tindakan tersebut tidak
bisa dikatakan sebagai khalwat.
0 komentar:
Posting Komentar