ANALISIS
SENYAWA SURFAKTAN ANIONIK DALAM DETERGEN
DENGAN MENGGUNAKAN METODE EKSTRAKSI SPEKTROFOTOMETRI
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah :
Kimia
Analisis Bahan Pangan dan Industri
Dosen
Pengampu: Diana Candra Dewi, M.Si
OLEH
YUNI
SULISTYOWATI
07630040
JURUSAN
KIMIA
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
2010
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Deterjen merupakan salah
satu kebutuhan primer dalam kehidupan karena peranannya sebagai produk pembersih serba guna yang dapat digunakan
untuk membersihkan bahan kain, alat dapur dari bahan kaca, keramik,
metal bahkan lantai.
Deterjen adalah senyawa
dengan ujung hidrokarbon hidrofobik dan ujung ion sulfat atau sulfonat. Sifat
dari deterjen
adalah memperkecil tegangan permukaan dan menjaga agar kotoran teremulsi dalam
pelarut air. Ujung hidrofobik deterjen terikat dengan pengotor sedangkan ujung
ion akan tercelup dalam air
sehingga kotoran diikat deterjen dan dibebaskan dari bendanya.
Seiring
dengan pertambahan jumlah penduduk maka pemakaian detergen-pun semakin
bertambah dan pemakaian deterjen dalam Rumah Tangga (RT) semakin meluas.
Sehingga terjadi persaingan bisnis penjualan detergen di kalangan produsen, Produsen
memberi bahan tambahan pada deterjen seperti pewangi, pemutih, zat aditif
maupun pelicin pakaian sehingga produsen dapat meningkatkan daya jual produk
deterjen baik secara kualitas maupun kuantitas. Namun ada pula para produsen
berusaha menekan harga jual serendah mungkin dengan cara mengurangi biaya
produksi sehingga mengakibatkan kualitas terabaikan. Sedangkan konsumen
biasanya hanya tertarik pada bentuk, warna dan aroma yang ditampilkan oleh produsen
detergen tersebut serta harganya yang murah, sedangkan kualitas dan keamanan
pemakaiannya hampir terabaikan.
Peningkatan
kualitas deterjen tersebut tidak diimbangi dengan penanganan limbah deterjen
dalam lingkungan. Dalam Akmal (2006).Kelebihan jumlah kadar alkali dari batasan
tersebut dapat menimbulkan kerugian konsumen, berupa kerusakan kulit dan
iritasi kulit lainnya. Kelebihan alkali dapat dapat disebabkan karena
penambahan alkali yang berlebih pada proses pembuatan detergen Detergen sulit diuraikan oleh organisme
sehingga kandungan senyawa yang terlalu banyak dalam detergen dapat mengganggu
ekosistem makhluk hidup disekitarnya dengan pencemaran lingkungan oleh limbah
sisa detergen.
Metode
spektrofotometri adalah salah satu metode yang sering digunakan dalam analisis
surfaktan yang ada di dalam deterjen. Metode ini mudah digunakan dan merupakan
salah satu metode yang efektif dalam analisis kuantitatif surfaktan yang ada di
dalam detergen. Oleh karena alasan diatas maka disusunlah makalah ini untuk
mengetahui analisis kandungan senyawa surfaktan yang terdapat dalam detergen.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimanakah
analisis kuantitatif senyawa aktif surfaktan yang terdapat dalam detergen secara
ekstraksi spektrofotometri ?
2. Apakah
kelebihan dan kekurangan dari analisis surfaktan dalam detergen secara
spektrofotometri ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
analisis kuantitatif senyawa aktif surfaktan yang terdapat dalam detergen
secara ekstraksi spektrofotometri.
2. Mengetahui
kelebihan dan kekurangan dari analisis surfaktan dalam detergen secara
spektrofotometri ?
1.4 Batasan
Masalah
Metode
yang digunakan dalam makalah ini adalah metode ekstraksi-spektrofotometri dan
reagen yang digunakan adalah malasit hijau
1.5 Manfaat
Memberikan
kontribusi terhadap pengembangan ilmu dan teknologi terutama dalam bidang kimia
analisis yaitu dalam dunia perkuliahan kimia murni maupun teknik.
BAB
II
DASAR
TEORI
2.1
Detergen
Detergen adalah
campuran berbagai bahan, yang digunakan untuk membantu pembersihan dan terbuat
dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Dibanding dengan sabun, deterjen
mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta
tidak terpengaruh oleh kesadahan air. Detergen merupakan garam Natrium dari
asam sulfonat (Ratna dkk, 2010).
Detergen
sintentik mempunyai sifat-sifat mencuci yang baik
dan tidak membentuk garam-garam tidak larut dengan ion-ion kalsium dari
magnesium yang biasa terdapat dalam air sadah. Detergen sintetik mempunyai
keuntungan tambahan karena secara relatif bersifat asam kuat, oleh karena itu
tidak menghasilkan endapan sebagai asam-asam yang mengendap suatu karakteristik
yang tidak nampak pada sabun (Lutfi, 2010). Produksi detergen sintetik
(kadang-kadang disebut syndet) di
dunia sekarang melebihi produksi sabun biasa. Pertama karena merupakan garam
dari asam lemah, sabun menghasilkan larutan yang agak basa dalam air ini karena
hidrolisis parsial dari garam natrium (Hart, 2003)
Limbah domestik
kerapkali mengandung sabun dan detergen. Keduanya merupakan sumber potensial bagi bahan pencemar organik.
Sabun adalah senyawa garan dari asam-asam lemak tinggi, seperti natrium stearat,
C17H35COO-Na+. Aksi pencucian dari detergen banyak dihasilkan
dari kekuatan pengemulsian dan kemampuan menurunkan tegangan permukaan dari
air. Konsep ini dapat dipahami dengan mengingat kedua sifat dari ion sabun.
Suatu gambaran dari stearat terdiri dari ion karboksil sebagai “kepala” dengan hidrokarbon yang panjang sebagai “ekor“. Dengan adanya minyak,
lemak dan bahan organik tidak larut dalam air lainnya, kecenderungan untuk ‘ekor”
dari anion melarut dalam bahan organik, sedangkan bagian “kepala” tetap tinggal dalam larutan air (Lutfi, 2010)
Pada proses pembentukan
emulsi, bagian hidrofob molekul sabun masuk ke dalam lemak, sedangkan ujung
yang bermuatan negatif ada pada bagian luar. Oleh karena adanya gayatolak
muatan listrik negatif ini maka kotoran akan terpecah menjadi partikel-partikel
kecil dan membentuk emulsi. Dengan demikian kotoran mudah terlepas dari kain
maupaun benda lain (Poedjiadi, 2007).
2.2.1
Kandungan
Detergen
1.
Surfaktan
Senyawa aktif permukaan
(surface active agent atau surfaktan) adalah suatu senyawa yang telah diketahui
dapat menjadi penstabil emulsi. Surfaktan memiliki dua gugus molekul yang
berbeda kepolarannya. Satu jenis hidrofilik (suka air) sedangkan gugus yang
lainnya lipofilik (suka lemak) (Mulia dkk, 2008).
Komponen utama detergen
adalah surfaktan, baik yang bersifat kationik, anionik, maupun non ionik.
surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang termasuk bahan kimia organik. ia
memiliki rantai kimia yang sulit diuraikan alam. sesuai namanya, surfaktan
bekerja dengan menurunkan tegangan air untuk mengangkat kotoran yang menempel
pada pakaian atau cucian piring. Bahan aktif permukaan tersebut bereaksi
menjadikan air menjadi basah (wetter)
dan sebagai bahan pencuci yang lebih baik. Surfaktan terkonsentrasi pada batas
permukaan antara air dengan gas (udara), padatan-padatan (debu) dan
cairan-cairan yang tidak dapat bercampur (minyak). Hal ini terjadi karena
struktur “Amphiphilic” yang berarti bagian yang satu dari molekul
adalah suatu yang bersifat polar atau gugus ionik (sebagai kepala) dengan
afinitas yang kuat untuk air dan bagian lainnya suatu hidrokarbon (sebagai
ekor) yang tidak suka air (Lutfi, 2009).
Asam sulfonik yang digunakan dalam pembuatan
detergen merupakan molekul berantai panjang yang mengandungi 12 hingga 18 atom
karbon per molekul. Senyawa tersebut merupakan suatu surfaktan alkil sulfat,
suatu jenis yang banyak digunakan untuk berbagai keperluan seperti shampo,
kosmetik, pembersih, dan loundry. Sampai tahun 1960-an sufaktan yang
paling umum digunakan adalah alkil benzen sulfonat (ABS). Secara garis besar,
terdapat empat katagori surfaktan yaitu :
a. Anionik: misalnya ABS, Linear |Alkil Benzene Sulfunat (LAS), Alpha Olein Sulfunat
(AUS)
b. Katonik : Garam Ammonium
c. Non ionik : Nonli Phenol Polietoksil
d. Amfoter : Asil Etilena
Menurut struktur
kimia, molekul surfaktan dibedakan menjadi dua yaitu rantai bercabang (alkil benzen sulfanat atau ABS) dan
rantai lurus (Linear alkil sulfanat atau ALS. Sifat deterjen ABS merupakan jenis surfaktan
yang ditemukan dan digunakan secara luas sebagai bahan pembersih yag berasal
dari minyak bumi. Jenis ini mempunyai sifat yang tidak diuraikan oleh
bahan-bahan alami seperti mikroganisme, matahari dan air.
LAS adalah surfaktan dalam deterjen
yang bersifat toksik terhadap organisme aquatik (Budiawan dkk, 2009). Banyaknya percabangan ABS ini menyebabkan kadar residu ABS sebagai
penyebabnya terjadi pencemaran air. Sedangkan untuk deterjen LAS merupakan
jenis surfaktan yang lebih murah diuraikan oleh bakteri. Deterjen LAS mempunyai
kemampuan berbusa 10-30% bahan organic aktif. LAS juga dapat menghilangkan busa
yang dapat hilang secara berangsur-angsur sehingga tidak menggangu lingkungan.
Akan tetapi bahan poliposfat dalam deterjen menghasilkan limbah yang mengandung
fosfor sehingga menyebabkan eutrofikasi (www.Muthadi 71 words proxs.com).
2.
Buildier (Pembetuk)
Builder (Pembentuk)
berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci surfaktan degan cara menon-aktifkan mineral
penyebabkan kesadahan air. Senyawa
pembentuk tersebut adalah:
a. Garam-garam fosfat seperti : natrium tripolipfosfat
b. Senyawa-senyawa asetat seperti: Nitril triasetat (NTA), etilena Diamina Tetraasetat (EDTA)
c. Silikat sepeti : Zeolth
d. senyawa-senyawa sitrat seperti :
asam sitrat
3. Filler
(Bahan Pengisi)
Filler (Bahan Pengisi) adalah
bahan tambahan detergen yang tidak meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas. Contoh : Natrium Sulfat.
4. Additives (Bahan Tambahan)
Additives adalah bahan
tambahan untuk pembuatan produk lebih menarik, misalnya pewangi, pelarut,
pemutih, pewarna, tidak berhubungan langsung dengan daya cuci detergen. Additives
ditambahkan lagi untuk komersialkan produk. Contoh : Enzim, Boraks, Natrium Klorida, karboksi Methil selulosa
(CMC)
2.2.2 Bahaya Detergen
Sampah dan
buangan-buangan kotoran dari rumah tangga, pertanian dan pabrik/industri dapat
mengurangi kadar oksigen dalam air yang dibutuhkan oleh kehidupan dalam
air. Di bawah pengaruh bakteri anaerob senyawa organik akan terurai dan
menghasilkan gas-gas NH3 dan H2S dengan bau busuknya.
Penguraian senyawa-senyawa organik juga akan menghasilkan gas-gas beracun dan
bakteri-bakteri patogen yang akan mengganggu kesehatan air.
Detergen tidak dapat
diuraikan oleh organisme lain kecuali oleh ganggang hijau dan sisa detergen yang tidak terurai oleh gangganf
hijau tersebut akan menimbulkan pencemaran air.
Senyawa-senyawa organik seperti pestisida (DDT, dikhloro difenol trikhlor
metana), juga merupakan bahan pencemar air. Sisa-sisa penggunaan pestisida yang
berlebihan akan terbawa aliran air pertanian dan akan masuk ke dalam rantai
makanan dan masuk dalam jaringan tubuh makhluk yang memakan makanan itu.
Sulfaktan dapat menyebabkan permukaan kulit kasar, hilangnya kelembapan
alami yang ada pada permukaan kulit dan meningkatkan permeabilitas permukaan
luar. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa kulit manusia hanya mampu memiliki
toleransi kontak dengan bahan kimia dengan kandungan 1% LAS dan AOS dengan
akibat iritasi sedang pada kulit. Sulfaktan bersifat toksik jika tertelan. Sisa
bahan sulfaktan yang terdapat dalam detergen dapat membentuk kloro benzena pada
proses klorinasi pengolahan air minum PDAM. Klorobenzena merupakan senyawa
kimia yang bersifat racun dan berbahaya bagi kesehatan. Kandungan detergen yang
cukup tinggi dalam air dapat menyebabkan pengurangan kadar oksigen (Dewi, 2010)
Sebenarnya kita tidak mengetahui bahwa Deterjen dapat
merusak lingkungan. Salah satunya adalah terjadinya proses eutrofikasi
diperairan ini terjadi karena Deterjen dengan menggunakan kandungan fosfor
makin marak digunakan dalam kalangan masyrakat. Akibatnya banyak sungai-sungai
di kota besar terjadinya peledakan enceng gondok. Terjadilah pendangkalan
sungai, pertanda kematian bagi kehidupan penghuni sungai. Untuk memecahkan
masalah ini, saat ini telah dikembangkan deterjen-deterjen dengan kandungan
fosfor yang rendah.
2.2.3
Jenis-jenis Detergen
Menurut kandungan
gugus aktif maka deterjen diklasifikasikan sebagai berikut :
1.
Deterjen
Keras
Deterjen jenis
keras sukar dirusak mikroganisme meskipun bahan tersebut dibuang akibat
zat tersebut masih aktif www. sinarharapan .co.id)
2.
Deterjen
lunak
Deterjen jenis
lunak bahan penurunan tegangan permukaan mudah dirusak oleh mikroganisme
sehingga tidak aktif lagi bila dipakai (www. sinarharapan .co.id)
Sedangkan detergen menurut keperluannya dibedakan atas :
1.
Detergen dalam bentuk serbuk
Detergen ini biasanya mempunyai kadar air rendah
2.
Detergen dalam bentuk padat/batangan
Seperti halnya detergen
bubuk detergen ini juga mempunyai kadar air rendah.
3.
Detergen dalam bentuk krim
Detergen ini mempunyai kadar air tinggi namun
biasanya detergen ini relatif lebih murah daripada detergen bubuk dan padatan.
Detergen ini juga merupakan bahan pembersih untuk produk shampoo dan pasta gigi.
2.3
Analisis
dengan Metode Ekstraksi dan Spektrofotometri (Spektrofotometer UV-Vis)
Spektroskopi yaitu pengukuran intensitas absorbansi dalam daerah spektra
tertentu, dapat digunakan secara luas, terutama jika suatu zat dalam campuran
reaksi mempunyai absorbansi khas yang kuat dalam daerah spektrum yang dapat
dicapai dengan mudah (Atkins, 1996).
Pengukuran absorbansi atau transmitasi dalam spektrofotometri inframerah
dan daerah tampak digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif spesies
kimia. Absorbansi spesies ini berlangsung dalam dua tahap, yang pertama yaitu M
+ hv = M*, merupakan eksitasi spesies
akibat absorbsi foton (hv) dengan
waktu hidup terbatas (10-8 – 10-9 detik). Tahap kedua
adalah relaksasi dengan berubahnya M* menjadi spesies baru dengan reaksi
fitokimia (Khopkar, 2002). Sinar ultraviolet dan sinar tampak memberikan energi
yang cukup untuk terjadinya transisi elektronik. Dengan demikian spektra
ultraviolet dan spektra tampak dikatakan sebagai spektra elektronik. Keadaan
energi yang paling rendah disebut dengan keadaan dasar (ground state). Transisi-transisi elektronik akan meningkatkan
energi molekuler dari keadaan dasar ke satu atau lebih tingkat energi
tereksitasi (Rohman, 2009). Puncak absorbansi (λmaks) dapat
dihubungkan dengan jenis ikatan-ikatan yang ada dalam spesies. Spekroskopi
absorbsi berguna untuk mengkarakterisasikan gugus fungsi dalam suatu molekul
dan untuk analisis kuantitatif (Khopkar,2002).
Ada tiga macam proses penyerapan energi ultraviolet dan sinar tampak
yaitu: (1) penyerapan oleh transisi elektron dan elektron anti ikatan, (2)
penyerapan oleh transisi elektron d
dan f pada molekul tertentu, (3)
penyerapan oleh perpindahan muatan (Rohman, 2009).
Ekstraksi pelarut menyangkut distribusi suatu zat terlarut (Solut)
diantara dua fase cair yang tidak saling bercampur. Secara umum ekstraksi ialah
proses penarikan suatu zat terlarut dari larutannya didalam air oleh suatu
pelarut dari larutannya yang tidak dapat bercampur dengan air. Tujuan ekstraksi
ialah memisahkan suatu komponen dan campurannya dengan menggunakan pelarut
(Soebagio, 2003). Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nerst atau
hukum partisi yang menyatakan “pada konsentrasi dan tekanan yang konstan,
analit akan terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut
yang tidak saling bercampur”. Perbandingan konsentrasi pada keadaan seimbang
dalam dua fasa disebut dengan koefisien distribusi atau koefisien partisi
(Rohman, 2007)
Analisis kadar
kandungan surfaktan anionik pada detergen yang terdapat dalam air detergen
dapat dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri. Pereaksi yang digunakan untuk analisis sulfaktan
anionik secara spektrofotometri adalah metilen biru atau malasit hijau. Metilen
biru dan malasit hijaun merupakan senyawa organik hidrofob dan mempunyai gugus
amonium kwarterner yang memungkinkan lebih selektif dan kuantitatif untuk
membentuk suatu asosiasi ion dengan sulfaktan yang mempunyai hidrokarbon yang
panjang, karena semakin panjang rantai hidrokarbon suatu senyawa, makin
hidrofob senyawa tersebut dan semakin kuat tambatannya dengan ion lawan yang
mempunyai hidrofobilitas yang besar. Sehingga memungkunkan sulfaktan anionik
akan memiliki selektifitas yang tinggi dengan menggunakan pengompleks malasit
hijau membentuk suatu asosiasi ion. Reaksi yang terjadi antara sulfaktan dan
metilen biru atau malasit hijau merupakan reaksi pasangan ion yang terjadi
akibat gaya elektrostatis antara ion logam dengan counter ion (ion lawan).
Reaksi asosiasi ion dalam proses ekstraksi pelarut berdasarkan pada interaksi
elektrostatis antara komponen penyusunnya dan sifat hidrofobik kompleks
asosiasi ion. Semakin besar gaya elektrostatis antara komponen-komponen
penyusun kompleks asosiasi ion semakin dekat jaraknya dan kompleks asosiasi ion
yang terbentuk semakin kuat. Kompleks asosiasi ion cukup stabil dalam pelarut
kurang polar. Jika berada dalam pelarut polar seperti air, komponen penyusun
dari kompleks pasangan ion berada dalam bentuk ionik dan ion lawan dan tidak
dapat dideteksi sebagai satu kasatuan. Kompleks pasangan ion akan terjadi
apabila senyawa ionik dan ion lawan berada dalam pelarut organik dengan adanya
gaya elektrostatik (Dewi, 2010)
Prinsip dari prosedur analisis ini adalah Surfaktan
anionik bereaksi dengan warna biru metilen membentuk pasangan ion baru yang
terlarut dalam pelarut organik, Intensitas warna biru yang terbentuk diukur
dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 652 nm. Serapan yang terukur setara dengan
kadar surfaktan anionik.
Tabel 2.1 Warna Sinar yang diserap dan Kompleksnya
dari Sinar Tampak.
Panjang Gelombang Sinar yang diserap (Å)
|
Bilangan Gelombang Sinar yang diserap (cm-1)
|
Warna yang diserap
|
Warna yang diteruskan (Warna Komplementer)
|
4.000 – 4.350
|
25.000 – 22.990
|
Ungu
|
Kuning kehijauan
|
4.350 – 4.800
|
22.990 – 20.830
|
Biru
|
Kuning
|
4.800 – 4.900
|
20.830 – 20.410
|
Biru kehijauan
|
Oranye
|
4.900 – 5.000
|
20.410 – 20.000
|
Hijau kebiruan
|
Merah
|
5.000 – 5.600
|
20.000 – 17.800
|
Hijau
|
Ungu tua (purple)
|
5.600 – 5.800
|
17.800 – 17.240
|
Hijau kekuningan
|
Ungu
|
5.800 – 5.950
|
17.240 – 16.810
|
Kuning
|
Biru
|
5.950 – 6.050
|
16.810 – 16.530
|
Oranye
|
Biru kehijauan
|
6.050 – 7.500
|
16.530 – 13.320
|
Merah
|
Hijau kebiruan
|
(Sumber: Sukardjo, 1999)
Cara kerja dengan
metode spektrofotometri ini dengan: Memasukkan
sampel sebanyak 100 ml ke dalam corong pisah.
Agar netral sampel ditambahkan 2-3 tetes indikator fenolftalien dan
NaOH 1N sampai warna larutanmenjadi merah muda. Kemudian ditambahkan H2SO4 sampai warna merah muda hilang dan menjadi
bening. Setelah itu larutan ditambahkan 25 ml larutan metilen biru. Ektraksi larutan
dengan 10 ml CH2CI2 (diklrometana) dan biarkan selama 30 detik.
Biarkan terjadi pemisahan fase. Goyang perlahan, apabila terbentuk emulsi
tambahkan isopropil alkohol. Pisahkan lapisan bawah (CH2CI2) dan
lakukan ektraksi dengan menggunakan kertas saring dan Na2SO4 anhidrat. Lakukan ektraksi dengan cara yang
sama sebanyak 3 kali dan gabungkan hasil ektraksi. Perlakukan blanko aquades
seperti langkah seperti diatas. Kemudian larutan sampel dan blanko dimasukkan
kedalam kuvet, dan diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 652 nm. Hasil absorbansi
sampel dimasukkan dalam persamaan kurva standart
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Alat dan Bahan
3.1.1
Alat-alat
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah Spektrofotometer
UV-Vis, kuvet, corong pisah 250 ml, pipet ukur, pipet volume, pipet tetes,
alumunium foil, statif dan klem
3.1.2
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah larutan malasit hijau
100 ppm, kloroform, buffer fosfat pH 7 0,1 M, larutan sodium dedosil sulfat
(surfaktan)
3.2
Prosedur Kerja
Percobaan ini dilakukan dengan 3 tahap yakni tahap penentuan panjang
gelombang maksimum, pembuatan kurva standart dan tahap penentuan konsentrasi
surfaktan dalam sampel
3.2.1
Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
Surfaktan 3 ppm diambil sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 50
ml, kenudian ditambahkan dengan larutan malasit hijau 100 ppm sebanyak 10 ml.
Larutan campuran kemudian ditambah dengan buffer pH 7 sebanyak 3 ml. Larutan
kemudian ditambahkan dengan aquades sampia tanda batas. Setelah itu larutan
dimasukkan dalam corong pusah dan ditambahkan dengan kloroform sebanyak 10 ml.
Larutan kemudian dikocok dan didiamkan beberapa menit sampai terbentuk dua
lapisan yaitu lapisan organik dan lapisan air. Lapisan air dibuang sedangkan
lapisan organik diambil dan dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 500-700 nm untuk mendapatkan panjang gelombang maksimumnya.
3.2.2
Pembuatan Kurva Standart
Surfaktan sebanyak 1 ppm diambil sebanyak 5 ml lalu dimasukkan ke dalam
labu takar 50 ml, kemudian ditambahkan dengan larutan malasit hijau 100 ppm
sebanyak 10 ml. Larutan campuran kemudian ditambah dengan buffer pH 7 sebanyak
3 ml. Selanjutnya larutan ditambah dengan aquades sampai tanda batas. Larutan
campuran kemudian dimasukkan dalam corong pisah dan ditambah dengan 10 ml
kloroform. Larutan dikocok dan didiamkan sampai terbentuk dua lapisan yaitu
larutan organik dan larutan air. Lapisan organik diambil dan dianalisis nilai
absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
maksimum yang diperoleh. Selanjutnya dilakukan cara yang sama untuk konsentrasi
surfaktan sebesar 2,3,4,5,6,7, dan 10 ppm.
3.2.3
Penentuan Kuantitatif Sulfaktan
dalam Sampel
Sampel detergen
diambil sebanyak 10 gram kemudian dilarutkan dalam aquades sebanyak 50 ml.
Larutan kemudian ditambahkan dengan malasit hiaju sebanyak 10 ml. Selanjutnya
larutan ditambah dengan buffer pH 7 sebanyak 3 ml. Larutan dikocok kemudian
didiamkan selama beberapa menit sampai terbentuk dua lapiasan. Lapisan organik
diambil dan dianalisis absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang maksimum.
3.3 Teknik Analisis Data
Nilai konsentrasi surfktan dalam deterjen yang dianalisis menggunakan
persamaan kurva standart yang diperoleh dari hasil pengukuran larutan standart.
Nilai X merupakan konsentrasi (ppm) sedangkan nilai Y merupakan nilai
absorbansi:
Hasil dari pembuatan kurva standart
Y = aX+ b
BAB IV
PEMBAHASAN
Pereaksi yang digunakan untuk analisis sulfaktan anionik secara
spektrofotometri adalah malasit hijau. Malasit hijau merupakan senyawa organik
hidrofob dan mempunyai gugus amonium kwarterner yang selektif dan kuantitatif
untuk membentuk suatu asosiasi ion dengan sulfaktan yang mempunyai hidrokarbon
yang panjang, karena semakin panjang rantai hidrokarbon suatu senyawa, makin
hidrofob (tidak suka air) suatu senyawa dan semakin kuat tambatannya dengan ion
lawan yang mempunyai hidrofobilitas yang besar. Sehingga memungkunkan sulfaktan
anionik akan memiliki selektifitas yang tinggi dengan menggunakan pengompleks
malasit hijau membentuk suatu asosiasi ion. Reaksi yang terjadi antara
surfaktan malasit hijau merupakan reaksi pasangan ion yang terjadi akibat gaya
elektrostatis antara ion logam dengan counter ion (ion lawan). Reaksi asosiasi
ion dalam proses ekstraksi pelarut berdasarkan pada interaksi elektrostatis
antara komponen penyusunnya dan sifat hidrofobik kompleks asosiasi ion. Semakin
besar gaya elektrostatis antara komponen-komponen penyusun kompleks asosiasi ion
semakin dekat jaraknya dan kompleks asosiasi ion yang terbentuk semakin kuat.
Kompleks asosiasi ion cukup stabil dalam pelarut kurang polar. Jika berada
dalam pelarut polar seperti air, komponen penyusun dari kompleks pasangan ion
berada dalam bentuk ionik dan ion lawan dan tidak dapat dideteksi sebagai satu
kasatuan. Kompleks pasangan ion akan terjadi apabila senyawa ionik dan ion
lawan berada dalam pelarut organik dengan adanya gaya elektrostatik.
Dalam hal ini akan terdapat dua lapisan yakni lapisan organik dan lapisan
air. Lapisan organik berada pada bagian bawah sedangkan lapisan air berada
dalalm bagian atas. Lapisan organik inilah yang diambil karena lapisan ini
mengandung surfaktan yang larut dalam pelarut organik yang digunakan.
Selain menggunakan malasit hijau juga dapat digunakan reagen metilen biru.
Untuk cara kerjanya dilakukan dengan menggunakan langkah yang sama dengan
menggunakan malasit hijau. Namun panjang gelombang maksimum yang mungkin akan
berbeda karena warna komplementer dari larutan yang diperoleh adalah berwarna
hijau untuk pereaksi malasit hijau sedangkan berwarna biru untuk pereaksi
metilen biru.
4.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
Penentuan panjang gelombang maksimum
dalam percobaan tersebut adalah untuk mengetahui panjang gelombang maksimum
absorbansi senyawa yang dihasilkan. Panjang gelombang maksimum yang dihasilkan
adalah 652 nm. Panjang gelombang maksimum ini kemudian digunakan untuk mengukur
nilai absorbansi dalam pembuatan kurva standart maupun dalam sampel.
4.2 Penentuan Persamaan Kurva Standart
Percobaan ini dilakukan untuk mencari persamaan kurva standart yang dapat
digunakan untuk menentukan konsentrasi sampel berdasarkan atas persamaan kurva
standart dan nilai absorbansi yang terdapat dalam sampel. Nilai X merupakan
konsentrasi sedangkan Y merupakan nilai absorbansi yang diperoleh dari
pengukuran panjang gelombang maksimum.
4.3 Penentuan Konsentrasi Surfaktan Dalam Sampel
Konsentrasi yang terdapat dalam sampel dapat
ditentukan berdasarkan atas hasil absorbansi sampel yang dimasukkan kedalam
persamaan kurva standart yang diperoleh dari pengukuran absorbansi larutan
standart.
4.4 Kelebihan dan Kekurangan Metode
Kelebihan dari metode ini adalah metode ini memiliki ketelitian yang
tinggi, kesalahan dalam metode ini biasanya cenderung kepada human error yaitu
kesalahan dalam pembuatan larutan standart sehingga kurva standart yang didapat
kurang begitu valid, selain itu kesalahan dari metode ini kemungkinan terjadi
pada saat penentuan panjang gelombang maksimum sehingga dapat mempengaruhi
nilai konsentrasi sampel yang didapat. Selain itu metode ini membutuhkan waktu
yang relatif lebih lama daripada metode yang lainnya seperti metode GC maupun
metode lainnya karena metode ini membutuhkan proses ekstraksi terlebih dahulu.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Metode ini dilakukan dalam 3 tahap yakni penentuan panjang gelombang
maksimum, penentuan persamaan kurva standart, dan penentuan konsentrasi
surfaktan yang terdapat dalam sampel. Metode ini dilakukan berdasarkan prinsip
bahwa Surfaktan anionik bereaksi dengan warna malasit membentuk pasangan
ion baru yang terlarut dalam pelarut organik, Intensitas warna hijau yang terbentuk
diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 652 nm. Serapan yang terukur setara dengan
kadar surfaktan anionik. Kelebihan
dari metode ini memiliki ketelitian yang tinggi sedangkan kekurangan dari
metode ini adalah membutuhkan waktu yang relatif lebih lama.
5.2 Saran
Dalam penyusunan
makalah ini penulis menyadari akan kesalahan-kesalahan yang terdapat di
dalamnya. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
konstruktif sehingga penulis tidak melakukan kesalahan yang sama dikemudian
hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonymous. 2009. Www. Sinarharapan .co.id. Detergen dan Jenis-Jenisnya. Diakses
pada 12 juni 2010
Atkins, P.W. 1996. Kimia Fisika Jilid I. Terjemahan Irma.I.
Kertajasa. Jakarta: Erlangga
Budiawan., Fatisa, Y.,
Khairani, N. 2009. Optimasi
Biodegradabilitas Dan Uji Toksisitas Hasil Degradasi Surfaktan Linier
Alkilbenzena Sulfonat (LAS) Sebagai Bahan Deterjen Pembersih. Jurnal makara
sains vol.13 no.2 November 2009: 125-133
Dewi, D.C. 2010. Diktat
Praktikum Pemisahan Kimia. Malang: Laboratorium Kimia Universitas Islam
Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang
Khopkar, S.M. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Lutfi, A. 2009. www.
Chem-is-Try.org. Sabun dan Detergen.
Diakses pada 27 Februari 2009
Mulia, K., Krisanti, E.,
Mulyasmi., Fariz. 2008. Pengaruh
Surfaktan Campuran pada Pembentukan Emulsi untuk Ekstraksi Merkuri (II) dengan
Membran Cair Emulsi (MCE). Departemen Teknik Gas dan Petrokimia Fakultas
Teknik Universitas Indonesia
Poedjiaji, A., Supriyanti, F.M.T. 2007. Dasar-dasar Biokimia Edisi Revisi.
Jakarta: Universitas Indonesia (UI) Press
Ratna, dkk, 2009. www.Cem-is-Try.org. Definisi Detergen. Diakses pada 24 Januari 2010
Rohman,
A. 2009. Kimia Farmasi Analisis.
Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar
Soebagio.
2003. Kimia Analitik I. Malang: JICA
Universitas Negeri Malang
1 komentar:
mohon izin ambil utk dasar teori
Posting Komentar