BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Dalam upaya menigkatkan derajat kesehatan masyarakat,
khususnya di kota-kota besar semakin meningkat pendirian rumah sakit (RS).
Sebagai akibat kualitas efluen limbah rumah sakit tidak memenuhi syarat. Limbah
rumah sakit dapat mencemari lingkungan penduduk di sekitar rumah sakit dan
dapat menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini dikarenakan di dalam Limbah medis
kebanyakan sudah terkontaminasi oleh bakteri, virus, racun dan bahan radioaktif
yang berbahaya bagi manusia dan makhluk lain di sekitar lingkungannya dan dapat
mengandung berbagai jasad renik penyebab penyakit pada manusia termasuk demam
typoid, kholera, disentri dan hepatitis. Jadi limbah medis dapat
dikategorikan sebagai limbah infeksius dan masuk pada klasifikasi limbah bahan
berbahaya dan beracun. Untuk mencegah terjadinya dampak negatif limbah medis
tersebut terhadap masyarakat atau lingkungan, maka perlu dilakukan pengelolaan
secara khusus (BAPEDAL,
1999).
Dampak negatif limbah medis terhadap
masyarakat dan lingkungan terjadi akibat pengelolaan yang kurang baik. Limbah
medis jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan patogen yang dapat
berakibat buruk terhadap manusia dan lingkungan. Dalam artikel Suara Pembaruan
disebutkan bahwa dari 107 rumah sakit di Jakarta, baru 10 yang memiliki
insinerator.
Hampir di setiap tempat sampah ditemukan bekas
dan sisa makanan (limbah organik), limbah infeksius, dan limbah organik berupa
botol bekas infus. Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius,
belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius
disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah
medis dan nonmedis, karena limbah
nonmedis diperlakukan sama dengan limbah padat lainnya. Artinya, dikelola Dinas
Kesehatan dan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah seperti di Bantar
Gebang Bekasi.
Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa permasalahan
limbah medis secara umum di Indonesia?
1.2.2
Bagaimana
cara penanganan limbah medis yang tepat?
1.3
Tujuan
1.3.1
Mengetahui
permasalahan limbah medis secara umum di Indonesia.
1.3.2
Mengetahui
cara penanganan limbah medis yang tepat.
BAB II
TEORI DASAR
2.1 Definisi dan Sumber Limbah Medis
Sampah dan limbah rumah sakit adalah semua
sampah dan limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan
penunjang lainnya. Secara umum sampah dan limbah rumah sakit dibagi dalam dua
kelompok besar, yaitu sampah atau limbah klinis dan non klinis baik padat
maupun cair.
Jenis
perawatan/aktivitas kesehatan yang dapat menghasilkan limbah adalah :
a. Rumah sakit
dengan aktifitasnya:
·
Rumah
sakit umum
·
Rumah
sakit khusus
·
Sanotarium
·
Aktifitas
spesifik dalam sebuah rumah sakit misalnya : paediatric, oncolagy,
rehabilitasi, mata dan telinga, psychiatric, terbakar, orthopaedic,
penyakit-penyakit pernafasan
b. Klinik:
·
Ruang
dokter dan perawat
·
Pusat
dialysis
·
Pusat
penanganan kecanduan alcohol
·
Pusat
penanganan kecanduan obat bius
·
Klinik
bersalin
·
Klinik
thrombosis.
c. Asrama dan
sejenis:
·
Perawat
·
Rumah
jompo
·
Rumah
sakit jiwa
d.
Kegiatan-kegiatan penunjang:
·
Bank
darah
·
Apotik
·
Pusat
pelatihan medis
·
Ruang
mayat
·
Ruang
steril
·
Ruang
cuci pakaian
·
Ruang
teknis
·
Laboratorium
: klinis, pathology, haemathology, kimiawi, penelitian, termasuk untuk hewan
maupun genetis.
Timbulan
limbah dari kegiatan rumah sakit bervariasi dari satu institusi ke institusi
sesuai dengan besarnya aktivitas. Sebagai gambaran,
di bawah ini diberikan beberapa angka, yaitu
(Kg/bed/hari):
·
Spanyol
: 1,2 sampai 4,4
·
Inggris
: 0,25 sampai 3,3
·
Belanda
: 1,2 sampai 6,0
·
USA
: 4,1 sampai 5,24
Penelitian
yang dilakukan di RSHS Bandung oleh Jurusan Teknik Lingkungan ITB (1993) memberikan angka rata-rata sebesar 2,12
Kg/bed/hari.
2.2 Pengelompokkan Limbah Medis
Limbah
rumah sakit merupakan campuran yang heterogen sifat-sifatnya. Seluruh jenis
limbah ini dapat mengandung limbah berpotensi infeksi. Kadangkala, limbah
residu insinerasi dapat dikagorikan sebagai limbah berbahaya bila insinerator
sebuah rumah sakit tidak sesuai dengan kriteria, atau tidak dioperasikan sesuai
dengan kriteria. Deskripsi umum tentang kategori utama limbah rumah sakit
adalah:
·
Limbah
umum: sejenis limbah domestik, bahan pengemas, makanan binatang noninfectious,limbah
dari cuci serta materi lain yang tidak membutuhkan penanganan spesial atau
tidak membahayakan pada kesehatan manusia dan lingkungan
·
Limbah
patologis: terdiri dari jaringan-jaringan, organ, bagian tubuh, plasenta,
bangkai binatang, darah dan cairan tubuh
·
Limbah
radioaktif: dapat berfase padat, cair maupun gas yang terkontaminasi dengan
radionuklisida, dan dihasilkan dari analisis in-vitro terhadap jaringan
tubuh dan cairan, atau analisis in-vivo terhadap organ tubuh dalam
pelacakan atau lokalisasi tumor, maupun dihasilkan dari prosedur therapetis
·
Limbah
kimiawi: dapat berupa padatan, cairan maupun gas misalnya berasal dari
pekerjaan diagnostik atau penelitian, pembersihan/pemeliharaan atau prosedur
desinfeksi. Pertimbangan terhadap limbah ini adalah seperti limbah berbahaya
yang lain, yaitu dapat ditinjau dari sudut: toksik, korosif, mudah terbakar
(flammable), reaktif (eksplosif, reaktif terhadap air, dan shock sensitive),
dilanjutkan dengan sifat-sifat spesifik seperti genotoxic (carcinogenic,
mutagenic, teratogenic dan lain-lain), misalnya obat-obatan cytotoxic.
Limbah kimiawi yang tidak berbahaya adalah seperti gula, asam- asam animo,
garam-garam organik lainnya,
·
Limbah
berpotensi menularkan penyakit (infectious): mengandung mikroorganisme
patogen yang dilihat dari konsentrasi dan kuantitasnya bila terpapar dengan
manusia akan dapat menimbulkan penyakit. Katagori yang termasuk limbah ini
antara lain jaringan dan stok dari agen-agen infeksi dari kegiatan
laboratorium, dari ruang bedah atau dari autopsi pasien yang mempunyai penyakit
menular , atau dari pasien yang diisolasi, atau materi yang berkontak dengan
pasien yang menjalani haemodialisis (tabung, filter, serbet, gaun, sarung
tangan dan sebagainya) atau materi yang berkontak dengan binatang yang sedang
diinokulasi dengan penyakit menular atau sedang menderita penyakit menular
·
Benda-benda
tajam yang biasa digunakan dalam kegiatan rumah sakit: jarum suntik, syring,
gunting, pisau, kaca pecah, gunting kuku dan sebagainya yang dapat menyebabkan
orang tertusuk (luka) dan terjadi infeksi. Benda-benda ini mungkin
terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi atau bahan
citotoksik
·
Limbah
farmasi (obat-obatan): produk-produk kefarmasian, obat-obatan dan bahan kimiawi
yang dikembalikan dari ruangan pasien isolasi, atau telah tertumpah, daluwarsa
atau terkontaminasi atau harus dibuang karena sudah tidak digunakan lagi
·
Limbah
citotoksik: bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan obat
citotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi citotoksik
·
Kontainer
di bawah tekanan: seperti yang digunakan untuk peragaan atau pengajaran, tabung
yang mengandung gas dan aerosol yang dapat meledak bila diinsinerasi atau bila
mengalami kerusakan karena kecelakaan (tertusuk dan sebagainya).
Dari
sekian banyak jenis limbah klinis tersebut, maka yang membutuhkan sangat
perhatian khusus adalah limbah yang dapat menyebabkan penyakit menular
(infectious waste) atau limbah biomedis. Limbah ini biasanya hanya 10 - 15 %
dari seluruh volume limbah kegiatan pelayanan kesehatan. Jenis dari limbah ini
secara spesifik adalah:
·
Limbah
human anatomical: jaringan tubuh manusia, organ, bagian-bagian tubuh,
tetapi tidak termasuk gigi, rambut dan muka
·
Limbah
tubuh hewan: jaringan-jaringan tubuh , organ, bangkai, darah, bagian terkontaminasi
dengan darah, dan sebagainya, tetapi tidak termasuk gigi, bulu, kuku.
·
Limbah
laboratorium mikrobiologi: jaringan tubuh, stok hewan atau mikroorganisme,
vaksin, atau bahan atau peralatan laboratorium yang berkontak dengan
bahan-bahan tersebut. Limbah darah dan cairan manusia atau bahan/peralatan yang
terkontaminasi dengannya. Tidak termasuk dalam katagori ini adalah urin dan
tinja.
·
Limbah-limbah
benda tajam seperti jarum suntik, gunting, pacahan kaca dan sebagainya.
Limbah reaktif
yang berasal dari rumah sakit adalah senyawa-senyawa seperti:
·
Shock
sensitive: senyawa-senyawa diazo, metal azide,
nitro cellulose, perchloric acid, garam-garam perchlorat, bahan kimia
peroksida, asam picric, garam-garam picrat, polynitroaromatic.
·
Water
reactive: logam-logam alkali dan alkali tanah,
reagen alkyl lithium, larutan- larutan boron trifluorida, reagen Grignard,
hidrida dari Al, B, Ca, K, Li, dan Na, logam halida dari Al, As, Fe, P, S, Sb,
Si, Su dan Ti, phosphorus oxychloride, phosphorus pentoxide, sulfuryl chloride,
thionyl chloride.
·
Bahan
reaktif lain: asam nitrit diatas 70%, phosphor (merah dan putih).
2.3 Pengelolaan Limbah Medis
Sasaran
pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagaimana menangani limbah berbahaya,
menyingkirkan dan memusnahkannya seekonomis mungkin, namun higienis dan tidak
membahayakan lingkungan. Untuk limbah yang bersifat umum, penanganannya adalah
identik dengan limbah kota yang lain. Daur ulang sedapat mungkin diterapkan
pada setiap kesempatan. Bahan-bahan tajam yang terinfeksi harus dibungkus
secara baik serta tidak akan mencelakakan pekerja yang menangani dan dapat
dibuang seperti limbah umum, sedang bahan-bahan tajam yang terinfeksi
diperlakukan sebagai limbah berbahaya.
Untuk memudahkan
pengenalan berbagai jenis limbah yang akan dibuang, digunakan pemisahan dengan
kantong-kantong yang spesifik (biasanya dengan warna yang berbeda atau dengan
pemberian label). Beberapa contoh warna yang dikeluarkan oleh Departemen
Kesehatan RI adalah:
·
Kantong
warna hitam: limbah sejenis rumah tangga biasa
·
Kantong
warna kuning: semua jenis limbah yang harus masuk insinerator
·
Kantong
warna kuning strip hitam: limbah yang sebaiknya ke insinerator, namun bisa pula
dibuang ke landfill bila dilakukan pengumpulan terpisah dan pengaturan
pembuangan
·
Kantong
warna biru muda atau transparans strip biru tua : limbah yang harus masuk ke autoclave
sebelum ditangani lebih lanjut.
Limbah
yang harus dipisahkan dari yang lain adalah limbah patologis dan infektious.
Limbah infectious beresiko tinggi perlu ditangani terlebih dahulu dalam autoclave
sebelum menuju pengolahan selanjutnya atau sebelum disingkirkan di
landfill. Limbah darah yang tidak terinfeksi dapat dimasukkan ke dalam saluran
limbah kota dan dibilas dengan air, sedang yang terinfeksi harus diperlakukan
sebagai limbah berbahaya. Kontainer-kontainer dibawah tekanan (aerosol dan
sebagainya) tidak boleh dimasukkan ke dalam insinerator.
Limbah
yang telah dipisahkan dimasukkan kantong-kantong yang kuat (dari pengaruh luar
ataupun dari limbahnya sendiri) dan tahan air atau dimasukkan dalam
kontainer-kontainer logam. Kantong-kantong yang digunakan dibedakan dengan
warna yang seragam dan jelas, dan diisi secukupnya agar dapat ditutup degan
mudah dan rapat. Disamping warna yang seragam, kantong tersebut diberi label
atau simbol yang sesuai. Kontainer harus ditutup dengan baik sebelum diangkut.
Bila digunakan kantong dan terlebih dahulu harus masuk autoclave, maka
kantong-kantong itu harus bisa ditembus oleh uap sehingga sterilisasi dapat
berlangsung sempurna. Limbah radioaktif juga harus mempunyai tanda-tanda yang
standar dan disimpan untuk menunggu masa aktifnya terlampaui sebelum
dikatagorikan limbah biasa atau limbah berbahaya lainnya.
Mobilitas
dan transportasi limbah baik internal maupun eksternal hendaknya
dipertimbangkan sebagai bagian menyeluruh dari sistem pengelolaaan dari
institusi tersebut. Secara internal, limbah biasanya diangkut dari titik
penyimpanan awal manuju area penampungan atau menuju titik lokasi insinerator.
Alat angkutan atau sarana pembawa tersebut harus dicuci secara rutin dan hanya
digunakan untuk membawa lim bah. Di rumah sakit modern, transportasi limbah ini
bisa menggunakan
cara pneumatis dengan perpipaan, namun cara ini tidak boleh digunakan untuk
limbah patologis dan infectious. Limbah yang akan diangkut ke luar,
misalnya oleh Dinas Kebersihan setempat, harus tidak mengandung resiko terhadap
kesehatan pengangkut tersebut. Limbah berbahaya dari rumah sakit yang akan
diangkut, diatur seperti halnya aturan-aturan yang berlaku pada limbah
berbahaya lain, misalnya jenis kontainer, tanda-tanda dan tata caranya.
Secara umum jenis pengolahan limbah rumah
sakit adalah :
a. Limbah umum
·
Tidak
diperlukan pengolahan khusus, dan dapat disatukan dengan limbah domestik
·
Seluruh
makanan yang telah meninggalkan dapur pada prinsipnya adalah limbah bila tidak dikonsumsi dan sisa makanan dari bagian
penyakit menular perlu di autoclave dulu sebelum
dibuang ke landfill.
b. Limbah
patologis
·
Pengolahan
yang dilakukan adalah dengan sterilisasi, insinerasi dilanjutkan dengan landfilling
·
Insinerasi
merupakan metode yang sangat dianjurkan, kantong-kantong yang digunakan untuk membungkus limbah juga harus
diinsinerasi.
c. Limbah
radioaktif
·
Bahan
radioaktif yang digunakan dalam kegiatan kesehatan/medis ini biasanya tergolong mempunyai daya radioaktivitas level rendah,
yaitu di bawah 1 megabecquerel (MBq)
·
Limbah
radioaktif dari rumah sakit dapat dikatakan tidak mengandung bahaya yang signifikan bila ditangani secara baik
·
Penangan
limbah dapat dilakukan di dalam area rumah sakit itu sendiri, dan umumnya disimpan untuk menunggu waktu paruhnya telah
habis, untuk kemudian disingkirkan sebagai
limbah non-radioaktif biasa
d. Limbah kimia
·
Bagi
limbah kimia yang tidak berbahaya, penanganannya adalah identik dengan limbah lainnya yang tidak termasuk katagori berbahaya
·
Konsep
penanganan limbah kimia yang berbahaya adalah identik dengan penjelasan sebelumnya yang terdapat dalam diktat ini
tentang limbah berbahaya
·
Beberapa
kemungkinan daur-ulang limbah kimiawi berbahaya misalnya :
-
Solven
semacam toluene, xylene, acetone dan alkohol lainnya yang dapat diredistilasi
-
Solven
organik lainnya yang tidak toksik atau tidak mengeluarkan produk toksik bila dibakar dapat digunakan sebagai bahan bakar
-
Asam-asam
khromik dapat digunakan untuk membersihkan peralatan gelas di laboratorium, atau didaur-ulang untuk mendapatkan khromnya
-
Limbah
logam-merkuri dari termometer, manometer dan sebagainya dikumpulkan untuk didaur-ulang; limbah jenis ini dilarang
untuk diinsinerasi karena akan menghasilkan gas toksik
-
Larutan-larutan
pemerosesan dari radioaktif yang banyak mengandung silver dapat direklamasi secara elektrostatis
-
Batere-batere
bekas dikumpulkan sesuai jenisnya untuk didaur-ulang seperti : merkuri, kadmium, nikel dan timbal
·
Insinerator
merupakan sarana yang paling sering digunakan dalam menangani limbah jenis ini, baik secara on-site maupun off-site;
insinerator tersebut harus dilengkapi dengan sarana pencegah pencemaran udara, sedang residunya
yang mungkin mengandung logam-logam berbahaya
dibuang ke landfill yang sesusai.
·
Solven
yang tidak diredistilasi harus dipisahkan antara solven yang berhalogen dan
nonhalogen; solven berhalogen membutuhkan penanganan khusus dan solven non-
halogen dapat dibakar pada on-site insinerator
·
Limbah
cytotoxic dan obat-obatan genotoxic atau limbah yang terkontaminasi harus dipisahkan, dikemas dan diberi tanda serta
dibakar pada insinerator; limbah jenis ini tidak di autoclave karena
disamping tidak mengurangi toksiknya juga dapat berbahaya bagi operator
·
Beberapa
jenis limbah kimia berbahaya juga dihasilkan dari bagian pelayanan alat-alat kesehatan, misalnya: disinfektan, oli dari
trafo dan kapasitor atau dari mikroskop yang mengandung
PCB dan sebagainya, sehingga perlu ditangani sesuai jenisnya
e. Limbah
berpotensi menularkan penyakit (infectious)
Memerlukan
sterilisasi terlebih dahulu atau langsung ditangani pada insinerator ; autoclave
tidak dibutuhkan bila limbah tersebut telah diwadahi
dan ditangani secara baik sebelum diinsinerasi.
f. Benda-benda
tajam
Dikemas dalam
kemasan yang dapat melindungi petugas dari bahaya tertusuk, sebelum
dibakar dalam
insinerator
g. Limbah farmasi
Obat-obatan yang tidak digunakan
dikembalikan pada apotik, sedangkan yang tidak dipakai lagi ditangani secara khusus misalnya diinsinerasi
atau di landfilling atau dikembalikan ke pemasok.
h.
Kontainer-kontainer di bawah tekanan: di landfilling atau didaur-ulang.
Limbah
kimiawi berbahaya yang tidak dapat didaur-ulang segera dipisahkan sesuai dengan jenisnya dan pengolahannya, misalnya melalui
sebuah insinerator, karena limbah jenis ini kadangkala
toksik dan flammable, sehingga tidak boleh dibuang melalui sistem
riolering.
BAB III
KASUS DAN
PERMASALAHAN
3.1 Uraian Permasalahan
Dalam
profil kesehatan Indonesia, Departement Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh
rumah sakit di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil
kajian terhadap 100 Rumah Sakit di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata
produksi sampah sebesar 3,2 kg pertempat tidur perhari. Analisa lebih jauh
menunjukkan produksi sampah (Limbah Padat) berupa limbah domestic
sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infeksius sebesar 23,2 persen.
Diperkirakan secara nasional produksi sampah (Limbah Padat) Rumah Sakit
sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per
hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi Rumah Sakit
untuk mencemari lingkungan dan kemungkinan menimbulkan kecelakaan serta
penularan penyakit. Rumah Sakit menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar,
beberapa diantaranya membahayakan kesehatan di lingkungannya. Di negara maju,
jumlahnya diperkirakan 0,5-0,6 kg per tempat tidur rumah sakit perhari.
Data
P2M-PL menunjukkan, limbah alat suntik di Indonesia khusus untuk imunisasi
diperkirakan sekitar 66 juta per tahun. Dari jumlah itu 36,8 juta di antaranya
merupakan limbah alat suntik imunisasi bayi, imunisasi ibu hamil/wanita usia
subur sekitar 10 juta, imunisasi anak sekolah (BIAS) sekitar 20 juta. Sedangkan
limbah alat suntik secara kuratif sekitar 300 juta per tahun.
Selain
permasalahan di atas, limbah Rumah Sakit juga mengandung bahan beracun
berbahaya Rumah Sakit tidak hanya menghasilkan limbah organik dan anorganik,
tetapi juga limbah infeksius yang mengandung bahan beracun berbahaya (B3). Dari
keseluruhan limbah rumah sakit, sekitar 10 sampai 15 persen diantaranya
merupakan limbah infeksius yang mengandung logam berat, antara lain mercuri
(Hg). Sebanyak 40 persen lainnya adalah limbah organik yang berasal dari
makanan dan sisa makanan, baik dari pasien dan keluarga pasien maupun dapur
gizi. Selanjutnya, sisanya merupakan limbah anorganik dalam bentuk botol bekas
infus dan plastik. Temuan ini merupakan hasil penelitian Bapedalda Jabar
bekerja sama dengan Departemen Kesehatan RI, serta Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) selama tahun 1998 sampai tahun 1999. Secara terpisah, mantan Ketua Wahana
Lingkungan (Walhi) Jabar, Ikhwan Fauzi mengatakan, volume limbah infeksius
dibeberapa rumah sakit bahkan melebihi jumlah yang ditemukan Bapedalda. Limbah
infeksius ini lebih banyak ditemukan di beberapa rumah sakit umum, yang
pemeliharaan lingkungannya kurang baik (Pristiyanto. D, 2000).
3.2
Kasus Terkait
Ada
beberapa kasus mengenai buruknya penanganan limbah medis di Indonesia. Adanya
kasus tersebut menggambarkan dampak negatif dari buruknya penanganan limbah
medis di Indonesia. Berikut ini contoh-contoh kasus terkait limbah medis yang
berhasil dihimpun dari berbagai sumber.
Mengelola
Limbah Medis
Langkah
sterilisasi merupakan kewajiban rumah sakit. Jika tidak disterilisasi, maka
barang-barang itu berbahaya bila disentuh orang. Tak heran bila banyak perawat
dan pegawai di RS berisiko tinggi terkena infeksi cemaran limbah ini di
tempatnya bekerja.
Rumah
sakit (RS) merupakan tempat untuk menyembuhkan orang sakit. Namun, RS pun bisa
menjadi sumber penyakit karena di sana banyak penderita berbagai penyakit, baik
menular maupun tak menular. Karena itu, pengelolaan limbah di RS sangat
diperlukan, terutama mekanisme agar buangan dari RS tak berdampak bagi para
pekerja RS dan lingkungan sekitarnya.
Di RS sering kali
terjadi infeksi silang (nosokomial). Sebagai contoh, limbah medis tajam seperti
alat suntik. Karena berhubungan langsung dengan penderita, alat itu mengandung
mikroorganisme, atau bibit penyakit. Bila pengelolaan pembuangannya tidak
benar, alat suntik dapat menularkan penyakit kepada pasien lain, pengunjung RS
dan puskesmas, petugas kesehatan, maupun masyarakat umum.
Kasubdit
Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL) Ditjen Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2M-PL) Departemen Kesehatan, Samilan,
mengatakan, pengelolaan limbah RS yang tak baik, sangat berbahaya bagi para
pekerja di RS dan lingkungannya, katanya di Jakarta
dalam seminar mengenai limbah RS, pekan lalu.
Limbah alat
suntik
Kasubdit
Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL) Ditjen Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2M-PL) Departemen Kesehatan, Samilan, mengungkapkan, RS merupakan tempat yang mudah
bagi terjadinya infeksi silang, terlebih limbahnya sangat berbahaya. Salah satu
contohnya adalah penggunaan ulang alat suntik. Penyuntikan yang tidak aman
dapat menularkan berbagai penyakit terutama hepatitis B, hepatitis C, dan
HIV/AIDS.
Data
P2M-PL menunjukkan, limbah alat suntik di Indonesia khusus untuk imunisasi
diperkirakan sekitar 66 juta per tahun. Dari jumlah itu 36,8 juta di antaranya
merupakan limbah alat suntik imunisasi bayi, imunisasi ibu hamil/wanita usia
subur sekitar 10 juta, imunisasi anak sekolah (BIAS) sekitar 20 juta. Sedangkan
limbah alat suntik secara kuratif sekitar 300 juta per tahun.
Menurut Soehatman
Ramli SKM Dipl SM, staf ahli pusat kajian dan terapan keselamatan dan kesehatan
kerja (PKJTK3), limbah RS dikategorikan atas berat, kepadatan, dan
kandungannya.
Limbah padat
berupa jarum suntik, jaringan, obat-obatan, kotoran manusia, dan lainnya. Juga
terdapat limbah cair dan gas. Limbah dari laboratorium paling perlu diwaspadai.
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses uji laboratorium tak bisa diurai
hanya dengan aerasi atau activated pludge. Bahan-bahan itu mengandung logam
berat dan inveksius sehingga harus disterilisasi atau dinormalkan sebelum
dilempar menjadi limbah tak berbahaya. Untuk foto rontgen, misalnya, ada cairan
tertentu yang mengandung radioaktif cukup berbahaya. Setelah bahan ini
digunakan, limbahnya dibuang.
Pengolahan
limbah RS Pengelolaan limbah RS dilakukan dengan berbagai cara. Yang diutamakan
adalah sterilisasi, yakni berupa pengurangan (reduce) dalam volume, penggunaan
kembali (reuse) dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang (recycle), dan
pengolahan (treatment).
Ada dua hal yang
penting diperhatikan dalam pengelolaan limbah yaitu mutu dan keamanan. Langkah
sterilisasi merupakan kewajiban rumah sakit. Jika tidak disterilisasi, maka
barang-barang itu berbahaya bila disentuh orang. Tak heran bila banyak perawat
dan pegawai di RS berisiko tinggi terkena infeksi cemaran limbah ini di
tempatnya bekerja.
Salah satu cara mengatasi limbah medis adalah insinerasi atau proses pembakaran. Namun, langkah itu tidak menyelesaikan masalah karena pembakaran hanya mengubah volume limbah menjadi lebih kecil. Belum lagi debu yang juga sangat berbahaya dan harus diimobilisasi atau ditentukan lagi tempat pembuangannya yang kedap air. Debu hasil insinerasi tak terurai dan materi tetap ada dan malah sangat berbahaya.
Salah satu cara mengatasi limbah medis adalah insinerasi atau proses pembakaran. Namun, langkah itu tidak menyelesaikan masalah karena pembakaran hanya mengubah volume limbah menjadi lebih kecil. Belum lagi debu yang juga sangat berbahaya dan harus diimobilisasi atau ditentukan lagi tempat pembuangannya yang kedap air. Debu hasil insinerasi tak terurai dan materi tetap ada dan malah sangat berbahaya.
Pembakaran
barang-barang seperti plastik menghasilkan zat kimia bernama dioksin. ''Dioksin
sangat berbahaya,'' kata Winata dari PT Hepasin Media Pratama.
Ada teknologi untuk mengatasi emisi dioksin, yaitu desorpsi suhu rendah sebagai metode pengganti insinerator. Prinsipnya menggunakan metode siklon dan aliran termal. Teknologi ini dikembangkan sendiri dengan sistem rotary carboruzer atau prinsip X-flow. Sistem ini menggunakan titanium oksida untuk mereduksi dioksin.
Ada teknologi untuk mengatasi emisi dioksin, yaitu desorpsi suhu rendah sebagai metode pengganti insinerator. Prinsipnya menggunakan metode siklon dan aliran termal. Teknologi ini dikembangkan sendiri dengan sistem rotary carboruzer atau prinsip X-flow. Sistem ini menggunakan titanium oksida untuk mereduksi dioksin.
Pembakaran,
lanjut Eka, digunakan dengan pemanasan tak langsung bersuhu rendah (200 derajat
Celsius hingga 350 derajat Celsius). Pemanasan ini tanpa oksidasi sehingga
meminimalkan dioksin. Konsumsi bahan bakarnya menerapkan sistem hampa udara.
Untuk
limbah berupa jarum suntik, Presiden Direktur PT MediBest Indonesia, Arief
Wibowo menjelaskan, saat ini banyak yang menerapkan disposable (jarum suntik
sekali pakai). ''Namun, masih banyak kebiasaan yang sulit dihilangkan, seperti
menggunakan kembali jarum tersebut, baru dibuang.''
Ia
mengatakan, tempat pembuangan untuk jarum dan limbah padat lain dari RS pun
harus ada standarnya sendiri. Organisasi kesehatan dunia (WHO) mempunyai standar
internasional untuk itu. ''Ketebalan, bentuk, dan jenis bahan dari tempat
pembuangan sudah ada standarnya,'' lanjut Arief.
Di
Indonesia pada 2003 ada program yang mengembangkan proyek penanganan limbah
tajam dengan metode insenerasi di 21 kabupaten dari enam provinsi (Jawa Barat,
Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan
Selatan) terutama di pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas). Diharapkan proyek
tersebut bisa dikembangkan di seluruh Indonesia.
Saat
ini ada beberapa alat untuk mengatasi limbah berupa jarum suntik. Yaitu, alat
pemisah jarum, alat penghancur jarum, tempat pembuangan jarum khusus (needle
pit), syringe safety box, dan insinerator SICIM.
Limbah Medis Dibuang ke TPA
TASIKMALAYA,
(PR). - Limbah
medis, seperti jarum suntik dan jenis limbah infeksius lainnya, masih sering
ditemukan bercampur dengan sampah umum atau lolos masuk ke TPA (tempat
pembuangan akhir) sampah Ciangir Kota Tasikmalaya. Padahal jenis limbah
infeksius yang termasuk kategori berbahaya atau B3 itu seharusnya mendapat
perlakuan khusus sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (LH), tidak
diperbolehkan dibuang bersama sampah umum.
Berdasarkan
informasi yang diperoleh, lolosnya limbah medis masuk ke TPA Ciangir tersebut
telah beberapa kali melukai awak armada pengangkut sampah, pegawai Dinas LH,
dan pelayanan kebersihan Kota Tasikmalaya.
Akibat
tusukan jarum suntik bekas itu, sekira empat orang awak armada sampah mengalami
luka dan membengkak. Akhirnya mereka tidak bisa beraktivitas dalam rentang
waktu lama karena harus mendapat perawatan cukup panjang.
Namun
demikian, belum diketahui secara pasti apakah lolosnya limbah medis tersebut ke
TPA Ciangir itu ada unsur kesengajaan atau tidak. Begitupun tempat limbah
berasal, belum diketahui secara pasti.
Kepala Dinas
Lingkungan Hidup dan Pelayanan Kebersihan Kota Tasikmalaya, Nuryadi,
membenarkan masuknya limbah medis itu ke TPA Ciangir. Meski volumenya tidak
terlalu besar, namun kekhawatiran berdampak negatif pada lingkungan maupun
petugas di lapangan tetap ada. Apalagi sesuai Kepmen LH, jenis limbah itu sudah
masuk kategori B3. Limbah medis itu juga sempat beberapa kali mencederai petugas
kebersihan di TPA. "Memang beberapa waktu lalu, pernah ada 3-4 kali
kejadian. Petugas armada kebersihan terkena tusukan jarum suntik, ada yang kena
tangan, ada pula yang kakinya. Asal sumbernya belum pasti, dugaan sih berasal
dari rumah sakit," ujarnya.
Menurut
Nuryadi, agar peristiwa itu tidak terulang kembali, pihaknya telah meminta
kepada instansi terkait agar tidak membuang limbah medis ke tempat sampah umum.
"Kami sudah dua kali menyampaikan nota dinas ke rumah sakit yang ada di
Kota Tasikmalaya, baik swasta maupun pemerintah dan pihak terkait lain untuk
mengumpulkan dan memusnahkan dengan cara membakar limbah medis yang mereka
hasilkan," katanya.
Dengan surat
itu, Nuryadi berharap pihak rumah sakit tidak lagi membuang limbah yang
membahayakan masyarakat itu. "Permintaan kami mendapat respons yang baik
dari pihak terkait, mudah-mudahan tidak terulang lagi atau ditemukan ada limbah
medis di TPA," ungkapnya.
Malang Kebingungan
Musnahkan Limbah Medis
Kamis,
02 Juli 2009 | 15:59 WIB
TEMPO Interaktif, Malang
- Dinas Kesehatan Kabupaten Malang kebingungan mengatasi limbah medis dari
sejumlah rumah sakit dan poliklinik. Terutama limbah padat bekas botol infus,
jarum suntik dan peralatan medis serta limbah cair medis lainnya. Dari total
sebanyak delapan rumah sakit swasta dan 30 an polklinik belum memiliki
instalasi pengolahan air limbah (IPAL) serta pengolah limbah padat.
Apalagi,
limbah medis padat dikategorikan sebagai bahan berbahaya dan beracun.
Sementara, saat ini hanya Rumah Sakit Daerah Kanjuruhan yang memiliki
incenerator atau alat pemusnah limbah medis padat dan IPAL. Rata-rata setiap
hari memusnahkan sebanyak seribu botol infus dan peralatan medis lainnya.
"Itupun kapasitasnya hanya cukup untuk limbah Rumah Sakit
Kanjuruhan," kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, Agus Wahyu
Arifin, Kamis (2/7). Demikian juga dengan peralatan medis dan limbah padat dari
39 Puskesmas di Kabupaten Malang. Barang tersbeut dimusnahkan secara manual,
karena tak memiliki alat pemusnah.
Para pengelola
Rumah Sakit swasta ini kebingungan menangani limbah medis padat setelah
sejumlah oknum petugas Rumah Sakit Syaiful Anwar Malang diperiksa karena
menjual limbah medis seperti botol infus. Ia menduga selama ini, praktik serupa
juga dilakukan di Rumah Sakit swasta lainnya. Akibatnya, mereka ketakutan akan
dijerat dengan sangkaan hukum pidana yang sama.
Untuk
itu, kini Agus tengah meminta pendapat terhadap pakar lingkungan dan sanitasi.
Apakah, limbah medis terhadap upaya penanganan limbah medis padat. Namun,
sejauh ini belum ada jawaban yang tepat dan jelas mengenai masalah ini.
"Pendapat pakar sanitasi ini akan dijadikan rujukan rumah sakit yang
lain," jelasnya.
Sedang,
Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Malang, Subandiyah Aziz mengatakan
belum ada aturan terbaru yang mengikat pengolahan limbah medis. Aturan
sebelumnya, menyebutkan pengolahan limbah medis menjadi tanggungjawab
pemerintah pusat. Namun, seiring bergulirnya reformasi pengolahan limbah medis
diserahkan kepada daerah. Awalnya, limbah medis di Jawa Timur dikumpulkan di
Pasuruan selanjutnya dimusnahkan di Cileungsi Jawa Barat. "Limbah medis
gak boleh dibuang sembarangan, karena beracun dan
berbahaya," jelasnya. Menurutnya, limbah medis sangat berbahaya dan
berpotensi menularkan berbagai penyakit seperti HIV/IDS, Hepatitis B dan
Hepatitis C. Untuk itu, harus dilakukan langkah pencegahan dengan memusnahkan
seluruh limbah medis secara aman.
Dikatakan, penanganan limbah medis memerlukan
perlakuan khusus, tidak bisa dibuang langsung ke tempat sampah. Idealnya, limbah
jenis ini dimusnahkan dengan cara dipanaskan dengan suhu tinggi sampai hancur.
Pemkot Tasikmalaya saat ini sudah memiliki alat penghancur limbah seperti itu
dan telah terpasang di lokasi sekitar TPA.
Bila sudah beroperasi, limbah medis dari rumah-rumah sakit bisa
dimusnahkan dengan alat yang mampu menghasilkan panas hingga 1.600 - 1.800 C
itu. "Sekarang alat pemusnah itu sudah terpasang, dan tidak lama lagi akan
dioperasikan. Kami juga sudah mencapai kesepakatan dengan semua pihak penghasil
limbah medis. Pemusnahan limbah nantinya akan menggunakan alat tersebut,"
ungkapnya.
(
Sumber: www.pikiran-rakyat.com / 07 – 04 – 2005
)
Limbah Rumah Sakit Belum Dikelola dengan Baik
Gizi.net - Dari
107 RS di Jakarta, Baru 10 RS yang Punya Insinerator Limbah rumah sakit,
khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian
besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius.
Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut
justru memperbesar permasalahan limbah medis.
Kepala Pusat Sumberdaya Manusia dan
Lingkungan Universitas Indonesia Dr Setyo Sarwanto DEA mengutarakan hal itu
kepada Pembaruan, Kamis pekan lalu, di Jakarta. Ia mengatakan, rata-rata
pengelolaan limbah medis di rumah sakit belum dilakukan dengan benar. Limbah
medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis. Yang
termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi, limbah
sitotoksis, dan limbah laboratorium.
Limbah infeksius misalnya jaringan tubuh yang
terinfeksi kuman. Limbah jenis itu seharusnya dibakar, bukan dikubur, apalagi
dibuang ke septic tank. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia
sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah.
Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki
pembuang-an seperti itu.
Septic tank yang benar, ujar Setyo,
terdiri atas dua bidang. Pertama, sebagai penampung, dan kedua sebagai tempat
penguraian limbah. Setelah limbah terurai, disalurkan melalui pipa ke tanah
yang di dalamnya berisi pasir dan kerikil. Tujuannya agar aman terhadap
lingkungan.
Kenyataannya, banyak tangki pembuangan sebagai
tempat pembuangan limbah yang tidak memenuhi syarat. Hal itu akan menyebabkan pencemaran,
khususnya pada air tanah yang banyak dipergunakan masyarakat untuk kebutuhan
sehari-hari. Setyo menyebutkan, buruknya pengelolaan limbah rumah sakit karena
pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit. Sedangkan
peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen
Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar. Berdasarkan peraturan itu, limbah
nonmedis dibungkus dengan plastik berwarna hitam, sementara limbah medis
dibungkus dengan plastik berwarna seperti kuning, merah. Tetapi, karena harga
plastik pun mahal, sudah tidak ada lagi pembedaan kemasan limbah rumah sakit,
sehingga limbah medis pun bercampur dengan limbah nonmedis. Limbah nonmedis
diperlakukan sama dengan limbah padat lainnya. Artinya, dikelola Dinas
Kesehatan dan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah seperti di Bantar
Gebang Bekasi.
"Percampuran limbah itu membuat sering
ditemukan limbah medis di TPA, seperti botol infus, jarum suntik. Bagi pemulung
plastik limbah medis, itu dianggap bisa didaur ulang, sehingga mereka
mengumpulkan alat suntik itu. Sedangkan hewan di sekitar itu, misalnya kucing
memakan limbah medis yang mengandung berbagai kuman yang akan berisiko pada
manusia bila kucing tersebut menggigit. Itu membuat masalah limbah medis
semakin besar," katanya. Ia menjelaskan, untuk limbah medis yang
infeksius, berupa cairan, seharusnya dibakar dengan insinerator yang benar.
Artinya, insinerator menggunakan suhu lebih dari 1.200 derajat Celsius, dan
dilengkapi dengan pengisap pencemar/gas berbahaya yang muncul dari hasil
pembakaran.
Abu dari hasil pembakaran distabilkan agar
unsur logam dalam bentuk partikel yang terdapat pada abu tidak menjadi bahan
toksik/karsinogen. Dengan perkataan lain, limbah infeksius diberlakukan sebagai
limbah bahahan berbahaya (B3). Ia mencontohkan, tumor yang sudah diangkat dari
pasien hendaknya dibakar dengan insinerator.
"Bukan dibakar dengan pembakaran
biasa," ia menegaskan. Tetapi, pengelolaan abu dari pembakaran insinerator
baru dapat dilakukan satu perusahaan swasta yang berlokasi di Cileungsi.
Kondisi itu membuat permasalahan pengelolaan limbah medis infeksius di daerah.
Untuk limbah radiologi, ujarnya, dilakukan oleh Badan Tenaga Atom Nasional
(Batan). Setyo juga menjelaskan, dari sekitar 107 rumah sakit di Jakarta, baru
sekitar 10 rumah sakit yang mempunyai insinerator, dan itu pun tidak semuanya
insinerator yang benar.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama Departemen Kesehatan pada 1997 pernah melakukan survei pengelolaan limbah di 88 rumah sakit di luar Kota Jakarta. Berdasarkan kriteria WHO, pengelolaan limbah rumah sakit yang baik bila persentase limbah medis 15 persen. Tetapi, di Indonesia mencapai 23,3 persen. Survei juga menemukan rumah sakit yang memisahkan limbah 80,7 persen, melakukan pewadahan 20,5 persen, pengangkutan 72,7 persen. Sedangkan pengelolaan limbah dengan insinerator untuk limbah infeksius 62 persen, limbah toksik 51,1 persen, limbah radioaktif di Batan 37%.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama Departemen Kesehatan pada 1997 pernah melakukan survei pengelolaan limbah di 88 rumah sakit di luar Kota Jakarta. Berdasarkan kriteria WHO, pengelolaan limbah rumah sakit yang baik bila persentase limbah medis 15 persen. Tetapi, di Indonesia mencapai 23,3 persen. Survei juga menemukan rumah sakit yang memisahkan limbah 80,7 persen, melakukan pewadahan 20,5 persen, pengangkutan 72,7 persen. Sedangkan pengelolaan limbah dengan insinerator untuk limbah infeksius 62 persen, limbah toksik 51,1 persen, limbah radioaktif di Batan 37%.
Incinerator Medis Alat Pengolahan Sampah Klinik/Puskesmas/Rumah Sakit
Dewasa
ini limbah merupakan masalah yang cukup serius, terutama dikota-kota
besar. Sehingga banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah, swasta
maupun secara swadaya oleh masyarakat untuk menanggulanginya, dengan cara
mengurangi, mendaur ulang maupun memusnahkannya. Namun semua itu hanya bisa
dilakukan bagi limbah yang dihasilkan oleh rumah tangga saja. Lain halnya
dengan limbah yang di hasilkan dari upaya medis seperti Puskesmas,
Poliklinik, dan Rumah Sakit. Karena jenis limbah yang dihasilkan termasuk dalam
kategori biohazard yaitu
jenis limbah yang sangat membahayakan lingkungan, dimana disana banyak terdapat
buangan virus, bakteri maupun zat zat yang membahayakan lainnya, sehingga harus
dimusnahkan dengan jalan dibakar dalam suhu diatas 800 derajat celcius
Oleh karena itu penangannannya pun
haruslah memakai alat khusus yang memiliki kriteria kriteria yang ditentukan
oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang diantaranya adalah sebagai berikut:
·
Pengurangan sampah yang efektif
·
Lokasi jauh dari area penduduk
·
Adanya sistem pemisahan sampah
·
Desain yang bagus
·
Pembakaran sampah mencapai suhu 1000
derajat
·
Emisi gas buang memenuhi standar baku
mutu.
·
Perawatan yang teratur/periodik
·
Pelatihan Staf dan Manajemen
Namun
umumnya alat ini didatangkan dari luar negeri yang harganya mencapai milyaran
rupiah, serta membutuhkan tenaga operator maupun teknisi yang terdidik dan
terlatih. Namun dalam pengoperasiannya cukup memakan biaya besar karena dalam
proses pemusnahan limbah membutuhkan bahan bakar dan listrik yang cukup besar
secara kontinyu. Selain itu komponen alat tidak mudah didapatkan di pasaran
dalam negeri. Sehingga cukup merepotkan takala terjadi kerusakan.
BAB IV
PEMBAHASAN
Limbah medis sangat penting untuk
dikelola secara benar, hal ini mengingat limbah medis termasuk kedalam kategori
limbah berbahaya dan beracun. Sebagian limbah medis termasuk kedalam kategori
limbah berbahaya dan sebagian lagi termasuk kategori infeksius. Limbah medis
berbahaya yang berupa limbah kimiawi, limbah farmasi, logam berat, limbah genotoxic
dan wadah bertekanan masih banyak yang belum dikelola dengan baik. Sedangkan
limbah infeksius merupakan limbah yang bisa menjadi sumber penyebaran penyakit
baik kepada petugas, pasien, pengunjung ataupun masyarakat di sekitar
lingkungan rumah sakit. Limbah infeksius biasanya berupa jaringan tubuh pasien,
jarum suntik, darah, perban, biakan kultur, bahan atau perlengkapan yang
bersentuhan dengan penyakit menular atau media lainnya yang diperkirakan
tercemari oleh penyakit pasien. Pengelolaan lingkungan yang tidak tepat akan
beresiko terhadap penularan penyakit. Beberapa resiko kesehatan yang mungkin
ditimbulkan akibat keberadaan rumah sakit antara lain: penyakit menular
(hepatitis, diare, campak, AIDS, influenza), bahaya radiasi (kanker, kelainan organ
genetik) dan resiko bahaya kimia.
4.1 Limbah Infeksius
Limbah infeksius
yang dihasilkan dari rumah sakit biasanya berupa alat-alat kedokteran seperti
perban, salep, serta suntikan bekas (tidak termasuk tabung infus), darah, dan
sebagainya. Pada suatu penelitian, hampir di setiap tempat sampah di sebuah
rumah sakit ditemukan bekas dan sisa makanan (limbah organik), limbah
infeksius, dan limbah organik berupa botol bekas infus. Semua itu terdapat
dalam tempat sampah yang sama. Berarti telah terjadi pencampuran antara limbah
rumah tangga yang dihasilkan rumah sakit dengan limbah infeksius yang tingkat
bahayanya lebih tinggi. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan
limbah medis.
Rata-rata
pengelolaan limbah medis di rumah sakit belum dilakukan dengan benar. Limbah
medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis. Limbah
infeksius, misalnya jaringan tubuh yang terinfeksi kuman, seharusnya dibakar,
bukan dikubur begitu saja, apalagi dibuang ke septic tank. Padahal septic tank
di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan
limbah.
Kenyataannya,
banyak tangki pembuangan sebagai tempat pembuangan limbah yang tidak memenuhi
syarat. Hal itu akan menyebabkan pencemaran, khususnya pada air tanah yang banyak
dipergunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Buruknya pengelolaan
limbah rumah sakit dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :
a. pengelolaan
limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit
b. peraturan
proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada
1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar
4.2 Jarum Suntik
Salah satu dari limbah medis yang
perlu diperhatikan penanganan limbahnya adalah jarum suntik. Jarum
hipodermik atau jarum suntik adalah jarum yang secara umum digunakan dengan alat
suntik untuk menyuntikkan suatu
zat ke dalam tubuh. Jarum ini juga dapat digunakan untuk mengambil sampel zat
cair dari tubuh, contohnya mengambil darah dari urat darah halus pada venipuntur.
Jarum hipodermik digunakan untuk
memasukkan obat, atau ketika zat yang disuntikkan tidak bisa ditelan, maupun
karena tidak akan diserap (seperti insulin),
atau karena akan melukai hati.
Namun, jika jarum ini pernah
digunakan oleh orang yang mengidap HIV/AIDS, jarum yang
pernah digunakan tersebut digunakan lagi oleh orang yang tidak terkena HIV/AIDS, maka orang
tersebut akan terkena infeksi HIV. Jarum ini juga merupakan salah satu rute
masuknya HIV ke tubuh manusia.
Jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia tiap tahun
semakin meningkat. Hal itu terbukti dari data jumlah
estimasi kasus HIV/AIDS yang dimiliki Departemen Kesehatan, tahun 2004 sebanyak
1.196 kasus, tahun 2005 sebanyak 2.038 kasus, tahun 2006 sebanyak 2.373 kasus,
dan tahun 2007 yaitu 2.547 kasus.
Lima tahun terakhir, kasus AIDS terbanyak
disebabkan karena penggunaan jarum suntik untuk narkoba. Kasus terbesar berada
di wilayah Jakarta, dimana 80 persen orang yang memakai jarum suntik dan
berbagi pemakaian secara bebas, 100 persennya dipastikan terkena AIDS. Tidak
hanya di Jakarta, tetapi di beberapa daerah di Indonesia, seperti
Malang,Cirebon,Jambi,Tasikmalaya, dan lain-lainnya, jarum suntik bekas telah
menjadi penyebab utama penularan HIV-AIDS.
Jarum suntik bekas juga hendaknya
jangan secara sembarangan dibuang ke Tempat Pengolahan Akhir (TPA). Ada
beberapa kasus yang menyebutkan bahwa beberapa pemulung terinfeksi penyakit
akibat tertusuk jarum suntik bekas yang ditemukan di TPA, bahkan ada yang harus
diamputasi tangannya. Jarum suntik yang dibuang ke TPA terkadang diambil
kembali oleh beberapa orang dan dijual sebagai mainan di beberapa sekolah
dasar. Hal ini tentu saja berbahaya mengingat kita tidak mengetahui ada zat
atau penyakit apa yang ada di dalam jarum suntik tersebut.
Dalam pengelolaan limbah padatnya, rumah sakit diwajibkan melakukan
pemilahan limbah dan menyimpannya dalam kantong plastik yang berbeda beda
berdasarkan karakteristik limbahnya. Limbah domestik di masukkan kedalam
plastik berwarna hitam, limbah infeksius kedalam kantong plastik berwarna
kuning, limbah sitotoksic kedalam warna kuning, limbah kimia/farmasi kedalam
kantong plastik berwarna coklat dan limbah radio aktif kedalam kantong warna
merah. Disamping itu rumah sakit diwajibkan memiliki tempat penyimpanan
sementara limbahnya sesuai persyaratan yang ditetapkan dalam Kepdal 01 tahun
1995. Pengelolaan limbah infeksius dengan menggunakan incinerator harus memenuhi
beberapa persyaratan seperti yang tercantum dalam Keputusan Bapedal No 03 tahun
1995. Peraturan tersebut mengatur tentang kualitas incinerator dan emisi yang
dikeluarkannya. Incinerator yang diperbolehkan
untuk digunakan sebagai penghancur limbah B3 harus memiliki efisiensi
pembakaran dan efisiensi penghancuran / penghilangan (Destruction
Reduction Efisience) yang tinggi.
Baku Mutu DRE untuk Incinerator
No
|
Parameter
|
Baku Mutu DRE
|
1.
|
POHCs
|
99.99%
|
2.
|
Polychlorinated
biphenil (PCBs)
|
99.9999%
|
3.
|
Polychlorinated
dibenzofuran (PCDFs)
|
99.9999%
|
4.
|
Polychlorinated
dibenzo-p-dioksin
|
99.9999%
|
Disamping itu, persyaratan
lain yang harus dipenuhi dalam menjalankan incinerator adalah emisi udara
yang dikeluarkannya harus sesuai dengan baku mutu emisi untuk incinerator.
Baku Mutu Emisi Udara untuk Incinerator
No
|
Parameter
|
Kadar Maksimum (mg/Nm2)
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12
13
14
|
Partikel
Sulfur dioksida (SO2)
Nitrogen dioksida (NO2)
Hidrogen Fluorida (HF)
Karbon Monoksida (CO)
Hidrogen Chlorida (HCl)
Total Hidrocarbon (sbg CH4)
Arsen (As)
Kadmiun (Cd)
Kromium (Cr)
Timbal (Pb)
Merkuri (Hg)
Talium
(Tl)
Opasitas
|
50
250
300
10
100
70
35
1
0.2
1
5
0.2
0.2
10%
|
Dalam penangan limbah
medis ini rumah sakit dapat mengelolanya sendiri atau dikelola oleh rumah sakit
lain atau pengelola lain yang sudah memperoleh izin dari Kementerian Negara
Lingkungan Hidup.
Beberapa rumah sakit besar yang
sudah menggunakan incinerator untuk mengolah limbah padat medisnya, incinerator
menimbulkan masalah seperti asap yang menyebar luas ke daerah sekitar, bau yang
menyengat, dan pembakaran yang tidak sempurna akan menghasilkan gas dioksin
yang berbahaya. Kristal putih hasil pembakaran
terbukti mengandung 300 senyawa berbahaya, di antaranya TCDD (tetra chloro difensopora dioksin)
senyawa beracun. Sementara rumah sakit kecil yang tidak memiliki biaya untuk
membeli incinerator hanya membuang limbah jarum suntik ke tempat sampah umum
yang jelas sangat berbahaya apabila disalah gunakan oleh penduduk sekitar.
Cara praktis untuk menangani limbah jarum
suntik adalah dengan menggunakan alat needle
destroyer. Cara penggunaannya dengan memasukkan jarum suntik bekas ke dalam
lubang aluminium di dalam alat maka mesin akan melelehkan jarum dan menjadi
steril.
Penanganan limbah jarum suntik,
salah satunya seperti yang dijalankan Rumah Sakit Hasan Sadikin saat ini adalah
melakukan kerja sama dengan pihak ketiga,yaitu Perusahaan Rekayasa Hijau yang
berlokasi di Bandung. Oleh
PT.Rekayasa Hijau Indonesia sampah medis tersebut dibakar di RS Pasir Jung Hun,
Pangalengan. Setiap tahun perusahaan tersebut melaporkan hasil pengukuran
residu pembakaran. Ini untuk mengetahui incenerator yang digunakan masih baik
dan tidak melewati ambang batas yang ditetapkan WHO mengenai incenerator.
Bahkan, pihak RSHS juga setiap bulannya melakukan kunjungan ke lokasi untuk
memastikan pengolahan limbah ditangani secara benar dan profesional. Beberapa
rumah sakit lain juga melakukan kerjasama dengan PPLI setempat untuk pengolahan
limbah B3 nya.
4.3 Limbah Farmasi
Limbah cair, seperti limbah farmasi,
yang dihasilkan dari sebuah rumah sakit umumnya banyak mengandung bakteri,
virus, senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat membahayakan bagi kesehatan
masyarakat sekitar rumah sakit tersebut. Banyak pihak yang menyadari tentang
bahaya ini, namun lemahnya peraturan pemerintah tentang pengelolaan limbah
rumah sakit mengakibatkan hanya sedikit rumah sakit yang memiliki IPAL khusus
pengolahan limbah cairnya sampai saat ini.
Idealnya
obat-obatan dibuang dengan menggunakan insinerasi suhu tinggi (misalnya, lebih
dari 1.200˚C).
Fasilitas insinerasi seperti itu, yang dilengkapi dengan pengendali emisi yang
memadai biasa ditemukan di negara-negara industri. Biaya pembuangan limbah
farmasi dengan cara tersebut di Kroasia dan Bosnia dan Herzegovina berkisar
antara US$ 2.2/kg hingga US$ 4.1/kg. Untuk menginsinerasi jumlah limbah farmasi
yang ada di Kroasia akan membutuhkan biaya antara US$ 4.4 juta hingga US$ 8.2
juta.
Pengolahan limbah
farmasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya :
a. Imobilisasi
limbah : enkapsulasi
Enkapsulasi berarti peng-imobilisasi-an obat-obatan dengan
memadatkannya dalam tong plastik atau besi. Sebelum dipergunakan, tong harus
dibersihkan dan kandungan sebelumnya harus bukan berupa bahan yang mudah
meledak atau berbahaya. Tong tersebut diisi hingga memenuhi 75% kapasitasnya
dengan obat-obatan padat atau setengah padat, kemudian sisa ruang dipenuhi
dengan menuangkan bahan-bahan seperti semen atau campuran semen dengan kapur,
busa plastik atau pasir batu bara. Untuk memudahkan dan mempercepat pengisian,
tutup tong harus dipotong hingga terbuka kemudian dilipat ke belakang.
Penempatan
obat-obatan ke dalam tong harus berhati-hati agar tidak terpotong. Bila tong
telah terisi hingga 75% kapasitasnya, tambahkan campuran kapur, semen dan air
dengan perbandingan 15:15:5 (berat) hingga tong terisi penuh. Untuk memperoleh
cairan dengan konsistensi yang diinginkan, kadangkala diperlukan air yang lebih
banyak. Kemudian tutup tong besi dilipat kembali ke tempatnya dan disegel,
sebaiknya dengan dikelim atau pengelasan. Tong yang sudah disegel kemudian
harus ditempatkan di dasar lubang pembuangan dan ditutupi dengan sampah padat
rumah tangga. Agar mudah dipindahkan, tong dapat ditempatkan di atas pallet
kemudian diletakkan ke pemindah pallet.
b. Imobilisasi
: insinerasi
Inersiasi merupakan varian enkapsulasi
yang meliputi pelepasan bahan-bahan pembungkus, kertas, karton dan plastik dari
obat-obatan. Pil harus dilepaskan dari blisternya. Obat-obatan tersebut lalu
ditanam kemudian ditambahkan campuran air, semen dan kapur hingga terbentuk
pasta yang homogen. Pekerja perlu dilindungi dengan penggunaan pakaian
pelindung dan masker terhadap risiko timbulnya debu. Pasta tersebut kemudian
dipindahkan dalam keadaan cair dengan mempergunakan truk pengaduk konstruksi ke
tempat pembuangan dan dituang ke dalam tempat pembuangan sampah biasa. Pasta
akan berubah menjadi massa padat yang bercampur dengan limbah rumah tangga.
Proses ini relatif murah dan dapat dilaksanakan tanpa peralatan canggih. Yang
perlu disediakan adalah alat penggiling untuk menghancurkan obat-obatan, alat
pengaduk konstruksi, serta sejumlah semen, kapur dan air.
Perbandingan berat yang digunakan
adalah sebagai berikut:
Obat-obatan : 65%
Kapur : 15%
Semen : 15%
Air : 5% atau lebih untuk mendapatkan konsistensi
cairan yang sesuai.
c. Pembuangan
melalui saluran pembuangan air
Beberapa obat-obatan cair seperti
sirup dan cairan intravena dapat dilarutkan ke dalam air dan dibuang ke saluran
pembuangan air sedikit demi sedikit selama periode tertentu tanpa memberikan
dampak serius terhadap kesehatan masyarakat atau lingkungan. Air yang mengalir
dengan deras dapat juga dipergunakan untuk membilas sejumlah kecil obat-obatan
atau anti septik cair yang telah diencerkan dengan baik. Pada keadaan dimana
terjadi kerusakan saluran pembuangan air, mungkin dibutuhkan bantuan dari ahli
hidrogeologi atau ahli teknologi kesehatan.
d. Pembakaran
dalam wadah terbuka
Obat-obatan tidak boleh
dihancurkan dengan cara pembakaran bersuhu rendah dalam wadah terbuka karena
polutan beracun dapat dilepaskan ke udara. Kemasan kertas dan karton jika tidak
hendak didaur-ulang dapat dibakar. Plastik polivinil klorida (PVC) tidak boleh
dibakar. Meskipun pembakaran limbah farmasi bukan merupakan metoda pembuangan
yang disarankan, pada kenyataannya hal tersebut seringkali dilakukan. Sangat
dianjurkan bahwa pembuangan limbah farmasi dengan cara ini hanya untuk jumlah
yang sangat sedikit.
Limbah padat
obat-obatan harus dibuang di dasar tempat penimbunan sampah dan segera ditutupi
dengan limbah rumah tangga yang baru. Tindakan pengamanan untuk mencegah
pemulungan harus dilakukan. Obat-obatan yang tergolong bahan organik yang
langsung mengalami biodegradasi dalam bentuk padat atau setengah padat, seperti
vitamin juga dapat langsung dibuang ke tempat penimbunan sampah.
Obat-obatan
padat, setengah padat dan tepung harus dilepaskan dari kemasan luarnya namun
tetap dalam kemasan bagian dalam kemudian ditempatkan pada tong plastik atau
besi yang bersih untuk tindakan enkapsulasi. Pembuangan kemasan luar akan
sangat mengurangi volume untuk metoda pembuangan secara enkapsulasi. Sejumlah
kecil obat-obatan yang masih berada dalam kemasannya dapat langsung dibuang ke
tempat penimbunan sampah seperti telah dijelaskan sebelumnya dan langsung
ditutupi dengan sampah rumah tangga. Kemasan luar dibuang sebagai bahan bukan
obat dan non kimia dengan cara didaur-ulang atau dibakar.
Obat-obatan yang
dapat digolongkan sebagai bahan organik yang langsung mengalami biodegradasi
seperti vitamin cair ini dapat langsung diencerkan dan dibuang ke saluran
pembuangan air. Berbagai larutan tidak berbahaya yaitu garam-garam tertentu,
asam amino, lipid atau glukosa dalam berbagai konsentrasi juga dapat langsung
dibuang ke saluran pembuangan air.
Sejumlah kecil
obat-obatan berbentuk cairan lainnya yang tidak termasuk zat pengendali,
obat-obatan anti infeksi, atau anti keganasan dapat langsung dibuang ke saluran
pembuangan air. Jika tidak terdapat saluran pembuangan air atau atau sistem
pengolahan air limbah tidak berfungsi, obat-obatan cair dapat terlebih dahulu
diencerkan dengan air dalam jumlah yang besar dan dituang ke aliran air yang
besar dengan harapan obat-obatan tersebut akan segera bercampur dan diencerkan
oleh air sungai yang mengalir.
Limbah farmasi
berbentuk cair dapat dibuang menggunakan prosedur enkapsulasi dengan semen,
insinerasi suhu tinggi atau pembakaran semen. Pembuangan obat-obatan berbentuk
cair, dilarutkan maupun tidak ke air permukaan yang mengalir lambat atau tidak
mengalir tidak boleh dilakukan.
Obat-obatan anti
infeksi tidak boleh langsung dibuang. Obat-obatan tersebut biasanya tidak
stabil dan sebaiknya diinsinerasi atau jika hal itu tidak mungkin dilakukan
enkapsulasi atau inersiasi. Obat-obatan anti infeksi berbentuk cair dapat
diencerkan dengan air, dibiarkan selama dua minggu baru dibuang ke saluran
pembuangan air.
Disinfektan
biasanya tidak memiliki batas waktu penggunaan. Bahan tersebut dapat disimpan
dan dipergunakan secara bertahan sepanjang waktu sehingga praktis tidak
terdapat kebutuhan untuk membuangnya. Disinfektan dalam jumlah banyak tidak
boleh dibuang ke saluran pembuangan air karena dapat mematikan bakteri dalam
saluran tersebut dan menghentikan proses biologis dalam saluran pembuangan.
Demikian juga halnya pembuangan ke aliran air karena disinfektan akan merusak
kehidupan dalam air. Disinfektan yang telah dilarutkan dalam jumlah kecil dapat
dibuang ke saluran pembuangan air asalkan diawasi oleh seorang ahli farmasi dan
jumlahnya dikendalikan secara ketat. Pedoman ini menganjurkan 50 liter per
hari, dan pembuangan dilakukan secara merata sepanjang hari.
Jika
memungkinkan, disinfektan sebaiknya dimanfaatkan, misalnya untuk pembersihan
toilet di rumah sakit. Beberapa disinfektan yang memiliki kemampuan bakterisida
dan anti viral yang kuat seperti Lisol (asam kresilat 50%) memiliki waktu
kadaluarsa. Jika tanggal tersebut telah terlewati bahan-bahan tersebut masih
dapat dipergunakan untuk disinfeksi secara umum dengan pengenceran tertentu
yang dilakukan oleh seorang ahli kimia, atau dibuang ke fasilitas pembuangan
limbah kimia atau tempat pembakaran semen. Banyak negara tidak memiliki
fasilitas pembuangan limbah kimia sehingga bahan-bahan tersebut dapat dikirim
ke luar negeri. Namun demikian hal itu merupakan cara yang mahal dan sulit dan
sebaiknya baru dipikirkan hanya jika tidak ada alternatif lain.
4.4 Limbah
Organ Tubuh
Limbah Patologis
adalah limbah jaringan atau potongan tubuh manusia, contoh bagian tubuh, darah
dan cairan tubuh yang lain termasuk janin. Limbah ini termasuk limbah
infeksius, misalnya jaringan tubuh yang terinfeksi kuman. Limbah
jenis itu seharusnya dibakar, bukan dikubur, apalagi dibuang ke septic tank.
Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak
memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian
besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti itu.
Namun
insinerasi dan proses pembakaran itu juga tidak menyelesaikan masalah karena
pembakaran hanya mengubah volume limbah menjadi lebih kecil. Belum lagi debu
yang juga sangat berbahaya dan harus diimobilisasi atau ditentukan lagi tempat
pembuangannya yang kedap air. Debu hasil insinerasi tak terurai dan materi
tetap ada dan malah sangat berbahaya. Pembakaran barang-barang seperti plastik
menghasilkan zat kimia bernama dioksin. ''Dioksin sangat berbahaya,'' kata
Winata dari PT Hepasin Media Pratama.
Kenyataannya,
banyak tangki pembuangan sebagai tempat pembuangan limbah yang tidak memenuhi
syarat. Hal itu akan menyebabkan pencemaran, khususnya pada air tanah yang
banyak dipergunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari.
Sedangkan hewan di sekitar itu, misalnya
kucing memakan limbah medis yang mengandung berbagai kuman yang akan berisiko
pada manusia bila kucing tersebut menggigit. Itu membuat masalah limbah medis
semakin besar," katanya. Ia menjelaskan, untuk limbah medis yang
infeksius, berupa cairan, seharusnya dibakar dengan insinerator yang benar.
Artinya, insinerator menggunakan suhu lebih dari 1.200˚C dan dilengkapi dengan pengisap pencemar/gas
berbahaya yang muncul dari hasil pembakaran.
BAB V
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Meningkatnya jumlah Rumah Sakit guna meningkatkan pelayanan kesehatan
masyarakat meningkatkan timbulan limbah medis yang kualitas efluennya harus
diperhatikan pengelolaannya sebelum dibuang agar tidak membahayakan manusia
maupun lingkungan. Limbah medis tergolong limbah infeksius karena mengandung
bakteri, virus, bahan radioaktif.
Permasalahan limbah rumah sakit di
Indonesia yakni limbah rumah sakit yang dihasilkan diperkirakan secara nasional
produksi sampah (Limbah Padat) sebesar 376.089 ton per hari dan produksi
air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Angka ini sangat berpotensi limbah
rumah sakit untuk mecemari lingkungan dan membahayakan manusia bila tidak
dikelola dengan baik, seperti beberapa kasus limbah medis yang sudah terjadi di
Indonesia akibat penanganan yang buruk. Buruknya pengelolaan limbah rumah sakit
dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :
a. pengelolaan
limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit
b. peraturan
proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada
1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar
Sebelum ditangani limbah medis dan
limbah nonmedis harus dipisahkan terlebih dahulu untuk menghindari pencampuran
antara limbah medis dan nonmedis. Pengolahan limbah RS dilakukan dengan berbagai
cara. Yang diutamakan adalah sterilisasi, yakni berupa pengurangan (reduce)
dalam volume, penggunaan kembali (reuse) dengan sterilisasi lebih dulu, daur
ulang (recycle), dan pengolahan (treatment). Sterilisasi dapat juga dilakukan
dengan insenerator. Namun abu dari insenerator juga dapat membahayakan sehingga
perlu dilakukan pengelolaan lanjutan.
Dalam pengelolaan
limbah padatnya, rumah sakit diwajibkan melakukan pemilahan limbah dan
menyimpannya dalam kantong plastik yang berbeda beda berdasarkan karakteristik
limbahnya. Limbah domestik di masukkan kedalam plastik berwarna hitam, limbah
infeksius kedalam kantong plastik berwarna kuning, limbah sitotoksic kedalam
warna kuning, limbah kimia/farmasi kedalam kantong plastik berwarna coklat dan
limbah radio aktif kedalam kantong warna merah. Disamping itu rumah sakit
diwajibkan memiliki tempat penyimpanan sementara limbahnya sesuai persyaratan
yang ditetapkan dalam Kepdal 01 tahun 1995. Pengelolaan limbah infeksius dengan
menggunakan incinerator harus memenuhi
beberapa persyaratan seperti yang tercantum dalam Keputusan Bapedal No 03 tahun
1995. Peraturan tersebut mengatur tentang kualitas incinerator dan emisi
yang dikeluarkannya. Incinerator yang
diperbolehkan untuk digunakan sebagai penghancur limbah B3 harus memiliki
efisiensi pembakaran dan efisiensi penghancuran / penghilangan (Destruction
Reduction Efisience) yang tinggi.
5.2
Saran
Pengelolaan limbah di Rumah Sakit sangat diperlukan,
terutama mekanisme agar buangan dari RS tak berdampak bagi para pekerja RS dan
lingkungan sekitarnya. Dalam pengelolaan limbah Rumah Sakit perlu
ditangani sesuai dengan kategorinya. Penanganan limbah
medis memerlukan perlakuan khusus, tidak bisa dibuang langsung ke tempat sampah . Daur
ulang sebisa mungkin diterapkan pada setiap kesempatan, bergantung pada potensi
daur ulang limbah itu sendiri. Tempat pembuangan limbah dari Rumah Sakit pun harus mengikuti standar yang
telah ditentukan. Untuk penanganan limbah yang infeksius
dan limbah Rumah sakit berbahaya lainnya yang diharuskan diinsenerasi,
diperlukan insinerator menggunakan suhu lebih dari 1.200 derajat Celsius, dan
dilengkapi dengan pengisap pencemar atau gas berbahaya yang muncul dari hasil pembakaran.
Untuk memudahkan pengenalan berbagai jenis
limbah yang akan dibuang, digunakan pemisahan dengan kantong-kantong yang
spesifik (biasanya dengan warna yang berbeda atau dengan pemberian label. Kontainer pengangkut limbah
rumah sakit harus ditutup dengan baik sebelum diangkut. Bila digunakan kantong
dan terlebih dahulu harus masuk autoclave, maka
kantong-kantong itu harus bisa ditembus oleh uap sehingga sterilisasi dapat
berlangsung sempurna. Mobilitas dan transportasi limbah baik internal maupun
eksternal hendaknya dipertimbangkan sebagai bagian menyeluruh dari sistem
pengelolaaan dari institusi tersebut.
Pengelolaan
limbah Rumah sakit sebaiknya memikliki prosedur sebagai berikut :
a.
Pemisahan limbah
Limbah harus
dipisahkan dari sumbernya. Semua limbah beresiko tinggi hendaknya diberi label
jelas Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda, yang
menunjukkan ke mana plastik harus diangkut untuk insinerasi atau dibuang. Di
beberapa negara, kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai ganti dapat
digunakan kantung kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal sehingga dapat diperoleh
dengan mudah). Kantung kertas ini dapat ditempeli dengan strip berwarna,
kemudian ditempatkan di tong dengan kode warna dibangsal dan unit-unit lain
b.
Penyimpanan limbah
Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3 bagian.
Kemudian diikat bagian atasnya dan diberi label yang jelas. Kantung harus
diangkut dengan memegang lehernya, sehingga kalau dibawa mengayun menjauhi
badan, dan diletakkan di tempat-temapt tertentu untuk dikumpulkan. Petugas
pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang sama telah
dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai. Kantung harus disimpan di
kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak sebelum diangkut ke
tempat pembuangannya
c.
Penanganan limbah
Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bile telah
ditutup. Kantung dipegang pada lehernya. Petugas harus mengenakan pakaian
pelindung, misalnya dengan memakai sarung tangan yang kuat dan pakaian terusan
(overal), pada waktu mengangkut kantong tersebut. Jika terjadi kontaminasi
diluar kantung diperlukan kantung baru yang bersih untuk membungkus kantung
baru yang kotor tersebut seisinya (double bagging). Petugas diharuskan melapor
jika menemukan benda-benda tajam yang dapat mencederainya di dalma kantung yang
salah. Tidak ada seorang pun yang boleh memasukkan tangannya kedalam kantung
limbah
d.
Pengangkutan limbah
Kantung limbah dikumpulkan dan seklaigus dipisahkan menurut kode
warnanya. Limbah bagian bukan klinik misalnya dibawa ke kompaktor, limbah
bagian klinik dibawa ke insinerator. Pengankutan dengan kendaran khusus
(mungkin ada kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum) kendaraan yang digunakan
untuk mengankut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan tiap
hari, kalau perlu (misalnya bila ada kebocoran kantung limbah) dibersihkan
dengan menggunakan larutan klorin.
e.
Pembuangan limbah
Setelah dimanfaatkan dengan kompaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang
ditempat penimbunan sampah (land-fill site), limbah klinik harus dibakar
(insinerasi), jika tidak mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah
dapur sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk.
Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan
kapur dan ditanam. Langkah-langkah pengapuran (liming) tersebut meliputi yang
berikut.
·
Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter
·
Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi
75 cm
·
Tambahkan lapisan kapur
·
Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa
ditambahkan sampai ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah
·
Akhirnya lubang tersebut harus ditutup dengan tanah
DAFTAR PUSTAKA
Prof
Damanhuri, Enri. 2010. Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun. Progam Sarjana
Teknik Lingkungan FTSP ITB
BAPEDAL.
1999. Peraturan
tentang Pengendalian Dampak Lingkungan.
Depkes RI. 2002. Pedoman Umum Hygene Sarana dan Bangunan Umum.
Departemen Kesehatan RI. 1992. Peraturan Proses Pembungkusan Limbah Padat.
Departement Kesehatan RI. 1997. Profil Kesehatan Indonesia.
Sarwanto,
Setyo. 2009. Limbah
Rumah Sakit Belu Dikelolah Dengan Baik. Jakarta : UI Departemen
Kesehatan Republik Indonesia 1995. Pedoman Teknik Analisa Mengenai dampak Lingkungan Rumah Sakit.
Moersidik,
S.S. 1995, Pengelolaan
Limbah Teknologi Pengelolaan Limbah Rumah Sakit dalam Sanitasi Rumah Sakit,
Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Depok.
http://www.ampl.or.id/detail/detail01.php?tp=artikel&jns=wawasan&kode=117, diakses 11 April
2010
http://www.suarapembaruan.com/News/2003/10/20/index.html, diakses 11 April
2010
www.pikiran-rakyat.com, diakses 11 April 2010
0 komentar:
Posting Komentar