Hadits Online

Hadis (Bahasa Arab: الحدي, transliterasi: Haidits), [ adalah perkataan dan perbuatan serta ketetapan dari Nabi Muhammad. Hadis sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.

Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadis. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadis tersebut dalam bukunya (kitab hadis) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadis bersangkutan adalah
Read More
Tampilkan postingan dengan label Islami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islami. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Desember 2012

Bolehkah Berjalan di Depan Orang Shalat?


Bolehkah Berjalan di Depan Orang Shalat? (2)REPUBLIKA.CO.ID, Lebih baik menunggu hingga 100 tahun daripada melintas di depan orang shalat.

Shalat adalah perintah Allah SWT yang telah ditetapkan dalam kitab-Nya, Alquran. Setiap umat Islam, baik laki-laki atau pun perempuan, wajib melaksanakannya.

Mereka yang tidak mengerjakan perintah Allah itu, berarti dia termasuk orang yang telah membangkang perintah Sang Pencipta. Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS An-Nisa [4]: 103).

Dalam beberapa keterangan hadis Nabi SAW, orang yang suka meninggalkan shalat atau sengaja enggan melaksanakannya, mereka bisa disebut dengan kafir.

Dari Jabir bin Abdullah RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Yang membedakan Muslim dengan kafir adalah meninggalkan shalat.” (HR Ahmad, Muslim dan Ashabus Sunan, kecuali An-Nasai).

Dari Buraidah, Rasulullah SAW bersabda, “Janji setia di antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkan shalat maka dia adalah kafir.” (HR Ahmad dan Ashabus Sunan).

“Barangsiapa meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja, maka ia telah terlepas dari tanggung jawab Allah.” (HR Ahmad dari Muadz bin Jabal).

Bahkan, dalam Alquran disebutkan, mereka yang melalaikan shalat, adalah pendusta agama. Lihat QS Al-Maun ayat 4-5. Orang yang shalat saja, bisa disebut sebagai pendusta agama, apalagi mereka yang meninggalkannya dengan sengaja.

Lalu bagaimana hukumnya dengan orang yang sengaja lewat di depan mereka yang sedang mendirikan shalat?

Syekh Kamil Muhammad Uwaidah dalam “Fiqh an-Nisaa” menyebutkan, tidak boleh seorang Muslim, baik laki-laki maupun perempuan berjalan di hadapan orang yang sedang mendirikan shalat, kecuali jika ada atau terdapat sutrah (pemisah) di antaranya. Namun demikian, tidak diperkenankan berjalan di balik sutrah itu.Tidak boleh seorang Muslim, baik laki-laki maupun perempuan berjalan di hadapan orang yang sedang mendirikan shalat, kecuali jika ada atau terdapat sutrah (pemisah).

Rasul SAW juga mengecam orang yang suka berlalu-lalang di hadapan orang yang sedang mendirikan shalat. Sebab, pada hakikatnya, orang yang shalat itu sedang berhadapan dengan Allah SWT.

“Lebih baik salah seorang di antara kalian berdiri seratus tahun daripada berjalan di hadapan saudaranya yang sedang shalat.” (HR Muslim).

Karena itu, apabila ada orang yang hendak lewat di hadapan mereka yang sedang shalat, sebaiknya dia mencegahnya. Tak hanya bagi orang dewasa, kata Syekh Kamil, tetapi juga bagi orang anak-anak ataupun hewan. “Dia harus mencegahnya,” tegasnya.

Anak kecil, kendati bebas dari hukum, namun setiap orangtua berkewajiban untuk mendidiknya agar tidak lewat di hadapan orang yang shalat.

Dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, berkata,  “Nabi SAW pernah mengerjakan shalat menghadap ke dinding sebagai arah kiblat, sedang kami berada di belakangnya. Lalu datang seekor hewan berjalan di hadapan beliau. Beliau berusaha untuk mengusirnya sampai menempelkan perutnya ke dinding dan hewan itu berjalan di belakangnya.” (HR Ahmad).

Berjalan di hadapan orang yang sedang mengerjakan shalat, juga akan mengurangi nilai shalatnya. Apabila tidak memungkinkan baginya untuk mencegah orang yang lewat di depannya, maka shalatnya tetap sempurna.

Sementara itu, Sayyid Sabiq dalam kitabnya “Fiqh as-Sunnah” menyatakan haram hukumnya seorang berdiri atau melintas di depan orang yang sedang shalat. Bahkan, kata Sayyid Sabiq, ada yang menyatakan perbuatan tersebut sebagai dosa besar.

Dari Busr bin Said, dia berkata, Zaid bin Khalid pernah diutus menghadap Abu Juhaim untuk menanyakan tentang apa yang didengarnya dari Rasulullah SAW berkaitan dengan hukum melintas di depan orang yang sedang shalat.Setiap umat Islam yang akan mendirikan shalat, hendaknya memasang garis pemisah atau tirai, agar orang tidak lewat di hadapannya.

Abu Juhaim menjelaskan bahwa Rasul SAW bersabda, “Seandainya orang yang melintas di depan orang yang sedang shalat mengetahui apa (dosa) yang ditanggungnya (lantaran melintasi itu), niscaya dia berdiri (atau behenti untuk menunggu) selama empat puluh (hari atau bulan atau tahun, Busr kelupaan), lebih baik baginya daripada berjalan di depan orang yang sedang mengerjakan shalat.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad, Nasai, Ibnu Majah, dan Abu Daud).

Sementara itu, yang diriwayatkan dari Zaid bin Khalid oleh Bazzar dengan sanad yang sahih, maksud 40 dalam hadis di atas adalah musim gugur (tahun).

Tirai pembatas

Karena itu, setiap umat Islam yang akan mendirikan shalat, hendaknya memasang garis pemisah atau tirai, orang tidak lewat di hadapannya. Tirai ini bisa dengan dinding, bisa pula dengan batas tempat sujud atau yang umum di Indonesia adalah sajadah.

Dan jika sudah ada pembatas, namun masih juga di lewati, dia harus mencegahnya. Para ulama memberikan petunjuk cara mencegah orang lewat di depannya. Yakni dengan menjulurkan salah satu tangannya ke depan sebagai tanda agar orang tidak boleh lewat di depannya. Atau dengan maju ke depan supaya tidak dilewati, atau dengan mendorong lehernya.

“Jika salah seorang di antara kalian shalat dengan memasang tirai yang menjadi pembatas agar orang lain tidak melintas di depannya, kemudian ada orang yang tetap melintasinya, hendaknya dia mencegahnya.”

“Jika dia enggan dan tetap bermaksud melintasinya, maka bunuhlah dia. Sebab, sebenarnya orang itu adalah setan.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Said al-Khudri RA). Wallahu a’lam.

Shalat Jumat Kurang dari 40 Jamaah?

Shalat Jumat Kurang dari 40 Jamaah? (1)REPUBLIKA.CO.ID, Jumlah jamaah shalat Jumat minimal 40 orang termasuk masalah khilafiyah.

Setiap Muslim laki-laki diwajibkan menunaikan shalat Jumat secara berjamaah pada waktu Dzuhur.  Kewajiban shalat Jumat itu tercantum  dalam Alquran dan Hadis.

Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah al-Jumu'ah ayat 9, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, dan itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui." (QS 62: 9).

Rasulullah SAW pun menegaskan kembali kewajiban itu dalam hadisnya. Nabi SAW bersabda, “Hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau kalau tidak, Allah akan menutup hati mereka kemudian mereka akan menjadi orang yang lalai." (HR. Muslim).

Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW bersabda, “Shalat Jumat itu wajib bagi tiap-tiap Muslim, dilaksanakan secara berjamaah terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang yang sakit.” (HR Abu Daud dan Al-Hakim)

Berdasarkan hadis di atas, shalat Jumat harus dilakukan secara berjamaah. Lalu berapa jumlah minimum jamaah yang harus menunaikan shalat Jumat?  Terlebih di Indonesia banyak desa yang terpencil yang jumlah penduduk Muslimnya kurang dari 40 orang.  Apa hukumnya jika jamaah shalat Jumat kurang dari itu?

Pertanyaan seperti itu kerap dilontarkan umat Muslim di Indonesia. Guna menjawab pertanyaan itu, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan ulama Nahdlatul Ulama (NU) telah menetapkan fatwa terkait hukum shalat Jumat yang jamaahnya kurang dari 40 orang.

Dalam fatwanya, ulama Muhammadiyah menegaskan bahwa jumlah jamaah shalat Jumat minimal 40 orang termasuk masalah khilafiyah (tak ada kesepakatan) di kalangan mazhab, sebagai syarat sahnya shalat Jumat.

“Ulama Hanafiyah mensyaratkan sahnya shalat Jumat adalah tiga orang jamaah, selain iman,” ungkap fatwa Muhammadiyah itu. Menurut Mazhab Hanafiyah, meski yang mendengarkan khutbah Jumat hanya seorang saja dan saat melangsungkan shalat, makmum berjumlah tiga orang adalah sah.
Ulama Malikiyah berpendapat jamaah shalat Jumat itu paling sedikit 12 orang, selain imam.

Mazhab ini berpendapat, seluruh anggota jamaah shalat Jumat itu haruslah orang-orang yang berkewajiban melakukannya.

“Tidak sah kalau di antara 12 jamaah itu, salah satunya terdapat wanita atau musafir atau anak kecil,” kata fatwa Muhammadiyah tersebut.

Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah mensyaratkan shalat Jumat itu harus terdiri dari 40 jamaah, bahkan sebagian ulama Hambaliyah mengharuskan 50 jamaah.

Menurut ulama Muhammadiyah, perbedaan pendapat soal jumlah minimal  jamaah Jumat itu didasarkan pada arti kata jamak “cukuplah tiga”, dan ada pula yang mendasarkan pada riwayat Jabir.

Jabir mengungkapkan bahwa berdasarkan sunah yang telah berjalan, kalau terdapat 40 orang atau lebih, dirikanlah shalat Jumat. Namun, Al-Baihaqi menyatakan bahwa riwayat Jabir itu tak bisa dijadikan hujjah.

Ada pula riwayat Ka’ab bin Malik yang menyatakan bahwa shalat Jumat pertama di Baqi dikerjakan oleh 40 orang. Menurut ulama Muhammadiyah, dalam riwayat itu tak ditegaskan jumlah minimal jamaah shalat Jumat, namun hanya menceritakan jumlah orang yang menunaikan Jumat pertama.

“Yang jelas bahwa shalat Jumat itu sebagaimana disepakati ulama harus dilakukan secara berjamaah,” ungkap Majelis Tarjih dan Tajdid  PP Muhammadiyah. Hal itu didasarkan pada hadis riwayat Abu dawud dari Thariq bin Syihab.

“Mengenai batas minimum tak disebutkan dalam hadis, sehingga melangsungkan shalat Jumat tidak dibatasi jumlah minimal dan maksimalnya, yang penting berjamaah,” demikian fatwa ulama Muhammadiyah untuk menjawab pertanyaan yang kerap bergulir di kalangan umat.

Lalu bagaimana ulama NU menanggapi masalah ini?  Masalah ini telah dibahas dalam Muktamar ke-4 NU di Semarang pada 19 September 1929. Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan, jika jumlah jamaah pada sebuah desa kurang dari 40 orang, maka mereka boleh bertaklid kepada Abu Hanifah.

“Dengan ketentuan harus menunaikan rukun dan syarat menurut ketentuan Abu Hanifah. Tetapi lebih utama supaya bertaklid kepada Imam Muzan dari golongan Mazhab Syafi’i,” demikian kesepakatan ulama NU terkait masalah jumlah minimal jamaah shalat Jumat.

Selaian itu, ulama NU  juga membolehkan penyelenggaraan shalat Jumat di kantor-kantor. Syaratnya, shalat Jumat itu diikuti oleh orang-orang yang tinggal menetap sampai bilangan yang menjadi syarat sahnya shalat Jumat terpennuhi. Selain itu, tidak terjadi penyelanggaraan Jumat lebih dari satu.  

Ketika Wanita Berhias di Salon


Ketika Wanita Berhias di SalonREPUBLIKA.CO.ID, Agama Islam menentang kehidupan yang bersifat kesengsaraan dan menyiksa diri, sebagaimana yang telah dipraktikkan oleh sebagian dari pemeluk agama lain dan aliran tertentu.

Agama Islam pun menganjurkan bagi umatnya untuk selalu tampak indah dengan cara sederhana dan layak, yang tidak berlebih-lebihan.

Bahkan, Islam menganjurkan di saat hendak mengerjakan ibadah, supaya berhias diri di samping menjaga kebersihan dan kesucian tempat maupun pakaian.

Allah SWT berfirman, "... pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid…" (QS. Al-A'raaf: 31).

Bila Islam sudah menetapkan hal-hal yang  indah, baik bagi laki-laki maupun wanita, maka terhadap wanita, Islam lebih memberi perhatian dan kelonggaran, karena fitrahnya, sebagaimana  dibolehkannya memakai kain sutera dan perhiasan emas, di mana hal itu diharamkan bagi kaum laki-laki.

Adapun hal-hal yang dianggap oleh manusia baik, tetapi membawa  kerusakan  dan  perubahan  pada tubuhnya, dari yang telah diciptakan oleh Allah SWT, di mana perubahan itu  tidak layak  bagi  fitrah  manusia,  tentu  hal  itu pengaruh dari perbuatan setan yang hendak memperdayakan.

Oleh karena  itu, perbuatan tersebut dilarang. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Allah melaknati pembuatan tato, yaitu menusukkan jarum ke kulit dengan warna yang berupa tulisan, gambar bunga, simbol-simbol dan sebagainya; mempertajam gigi, memendekkan atau menyambung rambut dengan rambut orang lain, (yang bersifat palsu, menipu dan sebagainya)." (Hadis shahih).

Sebagaimana riwayat Said bin Musayyab, salah seorang sahabat Nabi SAW, ketika Muawiyah berada di Madinah setelah dia berpidato, tiba-tiba  mengeluarkan  segenggam  rambut  dan berkata, "Inilah  rambut  yang dinamakan Nabi SAW az-zur yang artinya  al-washilah  (penyambung),  yang  dipakai  oleh wanita  untuk menyambung rambutnya, hal itulah yang dilarang oleh Rasulullah SAW.”

“Dan tentu hal itu adalah perbuatan orang-orang Yahudi. Bagaimana dengan Anda, wahai para ulama, apakah kalian tidak melarang hal itu? Padahal, aku telah mendengar sabda Nabi,  'Sesungguhnya terbinasanya orang-orang Israil itu karena para wanitanya memakai itu (rambut palsu) terus-menerus'." (H.r. Bukhari).

Nabi SAW menamakan perbuatan itu sebagai suatu bentuk kepalsuan, supaya tampak hikmah sebab dilarangnya  hal  itu bagi kaum wanita, dan karena hal itu juga merupakan sebagian dari tipu muslihat.

Bagi wanita yang menghias rambut atau lainnya di salon-salon kecantikan, sedang yang menanganinya (karyawannya) adalah kaum laki-laki. Hal itu jelas dilarang, karena bukan saja bertemu  dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, tetapi lebih dari itu, sudah pasti itu haram, walaupun dilakukan di rumah sendiri.

Bagi wanita Muslimat  yang tujuannya taat kepada agama dan Tuhannya, sebaiknya berhias diri di rumahnya sendiri  untuk suaminya, bukan di luar rumah atau di tengah jalan untuk orang lain. Yang demikian itu adalah tingkah laku kaum Yahudi yang menginginkan cara-cara modern dan sebagainya.

Hukum Bank ASI

Hukum Bank ASI (1)REPUBLIKA.CO.ID, Bank ASI di satu sisi memiliki manfaat, tetapi juga mendatangkan mudarat. Karenanya, para ulama tidak bersepakat tentang hukumnya.

Kebutuhan akan air susu ibu (ASI) telah disadari banyak kalangan. Kesadaran ini muncul, bahkan diiringi dengan ide untuk mendirikan bank ASI.

Bank ASI memberi kesempatan penampungan air susu dari para pendonor atau mereka yang sengaja mengambil imbalan atas ASI yang mereka salurkan di tempat itu. ASI tersebut lalu didistribusikan bagi mereka yang membutuhkan. Sebagiannya diawetkan untuk masa tertentu.

Tak ada catatan pasti sejak kapan ide dan eksekusi pendirian bank ASI itu muncul. Tetapi, menurut Prof Ismail Marhaba dalam bukunya yang berjudul “Al-Bunuk Ath-Thibbiyyah Al-Basyariyyah Wa Ahkamuha Al-Basyariyyah”, asumsi kuat kemunculan pertama kali bank ASI adalah sejak berakhirnya perang dunia pertama.

Inggris disebut-sebut negara pertama yang mengoperasikan bank ASI pada 1943. Fenomena ini kemudian menjalar di berbagai negara.

Seiring perjalanan waktu, risiko dan dampak negatif bank ASI pun terungkap ke publik. Penelitian semakin menguatkan urgensi proses penyusuan secara alami, berikut manfaatnya pula bagi ibu dan balitanya.

Namun, di sisi lain, ada kalangan perempuan yang ASI-nya kering. Sementara, sebagian ibu memiliki ASI yang melimpah. Ini ditambah dengan segudang alasan lain seperti meningkatnya kelahiran prematur yang menuntut asupan ASI yang cukup bagi bayi.

Tarik ulur antara manfaat dan bahaya bank ASI memicu diskusi hangat di kalangan ulama, terutama para cendekiawan masa kini. Ini mengingat persoalan bank ASI merupakan isu kontemporer yang belum muncul di kajian fikih klasik.

Prof Ismail mengatakan, para ulama mempunyai penyikapan yang berbeda. Menurut kubu yang pertama, hukum pendirian dan pengoperasian bank ASI diperbolehkan. Pendapat ini adalah pandangan yang antara lain dikemukakan oleh Syekh Ahmad Huraidi dan Syekh Athiyah Shaqar.

Kedua pendapat tokoh itu tertuang di Kompilasi Fatwa Lembaga Fatwa Mesir. Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga berpendapat sama. Ada sederet nama lain seperti Syekh Khalid al-Madzkur, Izzuddin Tuni, Mahmud al-Makadi, dan Abdul Halim Uwais.

Kelompok kedua mengatakan, pendirian dan pengoperasian bank halal tidak diperbolehkan. Ini merupakan pandangan dari sejumlah tokoh ternama, di antaranya ialah Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Mukhtar as-Sulamy, Rajab at-Tamimiy, Bakar bin Abdullah Abu Zaid, Ahmad Abd al-Aziz al-Haddad. Abdurrahman an-Najjar, dan Muhammad Husamuddin.
 
Pada Desember 1985, Komite Fikih Islam memutuskan hukum larangan pendirian dan pengoperasian bank ASI.

Prof Ismail mengatakan, di pihak lain ada tokoh yang menyatakan abstain dan memilih tidak berkomentar soal bank ASI.

Ia menyebut dua nama, yaitu Syekh Abdul Aziz Isa dan Abdul Halim al-Jundi. Menurut Ismail, adanya silang pendapat ini menepis anggapan yang beredar selama ini bahwa ulama telah berkonsensus hukum bank ASI adalah haram.

Kubu yang pertama mengutarakan argumen-argumennya. Menurut mereka, pendirian bank ASI tidak termasuk larangan syariat. Ini karena aktivitas menyusui dari instansi tersebut tidak dikategorikan menyebabkan status mahram. Dua syarat sah persusuan, yaitu menyusui dan memberikan asupan langsung ke bayi, tidak terpenuhi dalam praktik bank ASI.

Kelompok ini memandang, melalui bank ASI, maka para ibu yang ASI-nya bermasalah bisa mendapatkan ASI bagi balita mereka dari bank ASI. Dengan demikian, ini akan melindungi balita dari konsumsi risiko susu pabrik.

Menurut pihak ini pula, mereka menganologikan (qiyas) hukum bank ASI dengan diperbolehkannya perempuan lain menyusui menggantikan ibu kandung. Ini sejalan pula dengan hadis Nabi SAW yang menegaskan pentingnya pelaksanaan prinsip kemudahan dibanding kesulitan.

Argumentasi kelompok kedua adalah lawan dari alasan yang dipaparkan kubu pertama. Menurut pandangan pihak kedua, aktivitas menyusui dari bank ASI tetap bisa mengakibatkan mahram. Ini rawan pula dengan perkara yang diharamkan. Kelompok ini beralasan, anggapan kelompok pertama tentang risiko dan dampak jika tidak ada bank ASI bagi bayi dinilai terlalu berlebihan.

Dan, dalam kaidah fikih ditegaskan, 'Ad dharar la yazalu bi ad dharar', menghindari bahaya bukan dengan cara mendatangkan petaka yang baru. Kaidah lain juga berlaku di sini, yaitu menjauhi petaka lebih dikedepankan dibandingkan dengan mendatangkan manfaat. 

Tiada Manusia yang Imannya Sempurna

REPUBLIKA.CO.ID, Tiada manusia yang sempurna, karena setiap orang  mempunyai kelemahan.

Seseorang yang beriman, tentu mempunyai kesalahan dan memiliki sifat buruk yang sukar dihilangkan. Tiada orang Mukmin yang murni atau sempurna.

Pandangan orang jarang ditujukan pada hal-hal yang berada di pertengahan antara dua hal yang berdekatan. 

Bagi seseorang sesuatu itu warnanya putih saja, sebagian yang lain hitam saja, mereka lupa adanya warna yang lain, tidak putih dan tidak pula hitam.

Nabi SAW pernah bersabda kepada Abu Dzar RA, "Engkau seorang yang masih ada padamu sifat Jahiliyah." 

Abu Dzar adalah seorang sahabat yang utama, termasuk dari orang-orang pertama yang beriman dan berjihad, akan tetapi masih ada kekurangannya.

Juga di dalam Shahih Bukhari diterangkan oleh Nabi SAW, "Barangsiapa yang meninggal bukan karena melakukan jihad dan tidak dirasakannya (tidak ingin) dalam jiwanya maksud  akan berjihad, maka dia mati dalam keadaan sedikit ada nifaknya."

Abdullah bin Mubarak meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA yang mengatakan sebagai berikut:

"Seorang Mukmin itu permulaannya tampak sedikit putih dalam kalbunya; setiap kali iman bertambah, maka bertambah putihlah kalbu itu. Begitu seterusnya, hingga kalbunya menjadi putih semua.”

“Begitu juga kemunafikan, pertama ada tanda-tanda hitam dalam kalbunya; dan setiap melakukan kemunafikan, maka bertambah pula hitamnya, sampai hatinya menjadi hitam semua. Demi Allah, jika dibuka hati seorang Mukmin, maka tentu tampak putih sekali. Dan jika dibuka hati orang kafir, maka tentu tampak hitam sekali."

Ini berarti seseorang tidak dapat sekaligus menjadi sempurna imannya atau menjadi munafik, tetapi kedua hal itu bertahap, yakni sedikit demi sedikit.

Empat Pangkal Kebahagian Hidup


REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr A Ilyas Ismail

Pada suatu hari, para sahabat sedang duduk bersama Nabi SAW. Tiba-tiba terdengar seperti bunyi lebah di sekitar wajah Nabi. Lalu Nabi menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa, “Ya Allah, tambahkan kami dan jangan Engkau kurangkan. Muliakan, jangan Engkau hinakan. Berikan, jangan Engkau halangi. Prioritaskan, jangan Engkau abaikan.”

Para sahabat pun bertanya-tanya, apa gerangan yang telah menimpa Nabi SAW? Rasulullah SAW menjelaskan bahwa baru saja turun wahyu kepada beliau. “Siapa bisa menegakkannya, ia bakal masuk surga.” Lalu beliau membaca ayat, “Qad aflaha al-Mu`minun”  sampai ayat ke-11 surah al-Mu'minun. (HR Tirmizi dan Ahmad dari Umar bin Khattab).

Dalam kisah ini, terlihat dengan jelas bahwa para sahabat sangat antusius menyimak dan mendengarkan wahyu Allah. Mereka siap siaga menerima perintah. Keadaan mereka, demikian komentar Sayyid Quthb, mirip prajurit yang setiap saat siap siaga menerima perintah sang komandan.

Menurut Nabi SAW, ayat-ayat dari surah al-Mu`minun itu merupakan kunci atau jalan keberuntungan (thariq al-falah). Dalam 11 ayat tersebut terkandung setidak-tidaknya empat prinsip nilai yang menjadi pangkal kebahagiaan.

Pertama, prinsip iman (akidah). Keberuntungan diberikan Allah SWT hanya kepada orang-orang yang beriman. Namun, iman di sini, seperti dikemukakan Sayyid Quthb, bukan hanya kata-kata  (kalimatun tuqal), melainkan kebenaran (haqiqah) yang memiliki tugas-tugas (dzatu takalif). Komitmen yang kuat kepada kebenaran disertai tindakan nyata, inilah iman yang sebenarnya.

Kedua, prinsip ibadah dan amal saleh yang ditunjukkan melalui ibadah shalat dan zakat. Shalat dan zakat merupakan bentuk taklif dari iman. Shalat bersifat vertikal dan memperkuat hubungan dengan Allah. Zakat berdimensi sosial dan memperkuat hubungan dengan sesama manusia. Dalam konteks ini, shalat menjadi pembuka semua ibadah (ayat ke-2) dan menjadi penutupnya sekaligus (ayat ke-9).

Ketiga, prinsip moral dan akhlak karimah yang ditunjukkan dengan sikap tepat janji, memelihara kehormatan diri, dan menjaga amanah. Dalam Islam, moral (akhlak) menjadi bagian integral dari iman. Rasul bersabda, “Manusia yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling mulia akhlaknya (ahsanuhum khuluqan).” (HR Tirmizi).

Keempat, prinsip disiplin dalam bekerja, sehingga produktif dan kompetitif. Orang yang beruntung adalah orang yang mampu menghindarkan diri dari kesia-siaan (al-laghwu). Menurut pakar tafsir Zamachsyari, lagha berarti sesuatu yang tak bernilai (ma la ya`ni-ka) atau yang tak masuk hitungan (ma la yu`taddu bih) baik berupa kata (laghw al-kalam) atau perbuatan (laghw al-`amal).

Disiplin kerja dilakukan dengan memanfaatkan seluruh waktu untuk kebaikan dan amal saleh. Mereka tidak pernah menyia-nyiakan waktu, tetapi mengelolanya (time management), bahkan menguasai (time mastery) dengan sebaik-baiknya.

Inilah jalan keberuntungan yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Mu`minun [23]: 10-11). Wallahu a`lam.

Minggu, 02 September 2012

Strategi Memerangi Kemunkaran

Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Islam menjadikan "amar makruf nahi munkar" sebagai kewajiban dasar yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim sesuai dengan kadar kemampuannya masing-masing. Bahkan kedua spirit tersebut menjadi  asas keutamaan, sumber kebaikan dan ciri khusus umat Islam yang membedakannya dari umat manusia lainnya. 


Allah SWT berfirman, "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, yang menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110).

Dalam kaitannya dengan amar makruf (menyuruh kepada kebaikan), hampir semua kalangan mengetahui strategi dan prinsip yang harus diterapkan. Diantaranya metode penyampaian yang baik, tidak menyakiti pihak lain, menjauhkan diri dari isu SARA, dan melakukan perdebatan dengan kepala dingin (QS. An-Nahl: 125).

Namun, dalam kaitannya dengan nahi munkar (mencegah kemunkaran) tidak semua kalangan memahami syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan tindakan. Padahal, pemenuhan syarat-syarat tersebut berkaitan erat dengan hasil yang akan di dapat, khususnya agar tindakan mencegah kemunkaran tidak melahirkan kemunkaran baru yang lebih besar, tidak menimbulkan tindakan balas dendam, dan tidak dikecam pihak lain karena dipandang sebagai tindakan yang tidak memiliki dasar kuat (illegal).

Dr Yusuf Al-Qardhawi mensyaratkan beberapa hal dalam pelaksanaan nahi munkar sebagaimana tersebut dalam hadis shahih riwayat Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah merubahnya dengan tangan (kekuasaan)nya. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka hendaklah merubahnya dengan lisannya. Barang siapa yang tidak mampu melaksanakannya, maka hendaklah merubahnya dengan hatinya. Yang terakhir itu adalah iman yang paling lemah."

Pertama, hendaknya kemunkaran tersebut disepakati kemunkarannya. Artinya kemunkaran yang diperangi masuk dalam kategori perbuatan haram, bukan makruh atau meninggalkan yang sunah/mustahab.

Kedua, hendaknya kemunkaran tersebut nyata dan kasat mata. Adapun seandainya kemunkaran tersebut tersembunyi dari pandangan manusia, maka dilarang memata-matainya dengan berbagai alat dan perangkat apa pun, karena Islam hanya membolehkan pemberian sanksi terhadap munculnya kemunkaran yang nyata dan kasat mata, bukan yang tersembunyi.

Ketiga, memiliki kemampuan (kekuatan) yang diyakini dapat membasmi (memerangi) kemunkaran dengan mudah dan elegan. Kekuatan di sini berarti fisik dan nonfisik serta berwenang atau memiliki otoritas dalam melakukan tindakan memerangi kemunkaran.

Keempat, tidak ada kekhawatiran bahwa kemunkaran yang diperangi akan melahirkan kemunkaran baru yang lebih besar sehingga menyebabkan fitnah, pertumpahan darah, merugikan pihak lain, makin tersebarnya kemunkaran, menimbulkan kekacauan dan kerusakan di bumi.

Ibnu Qayyim meriwayatkan bahwa suatu hari Ibnu Taimiyah RA berkata, "Pada masa pendudukan pasukan Tartar (Mongolia), aku bersama para sahabatku berjalan melewati kumpulan masyarakat yang meneguk minuman keras dengan nyata. Sebagian sahabatku mencela tindakan tersebut dan hendak melarangnya, namun aku mecegahnya kukatakan kepada mereka, ‘Sungguh, Allah SWT mengharamkan minuman keras karena ia dapat membuat orang lupa kepada Allah dan lupa shalat. Adapun pasukan Tartar itu dengan meminum khamr justru membuat mereka lupa dari membunuh manusia, menawan orang dan merampas harta. Maka biarkanlah mereka’."

Demikian penting landasan ilmu pengetahuan dalam "amar makruf nahi munkar" sehingga tindakan mulia tersebut tidak semata-mata bertumpu pada hasil, melainkan juga bertumpu pada kemaslahatan yang lebih besar dan tidak munculnya kemunkaran baru yang lebih dahsyat. Wallahu a'lam.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes