Hadits Online

Hadis (Bahasa Arab: الحدي, transliterasi: Haidits), [ adalah perkataan dan perbuatan serta ketetapan dari Nabi Muhammad. Hadis sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.

Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadis. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadis tersebut dalam bukunya (kitab hadis) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadis bersangkutan adalah
Read More

Rabu, 25 Januari 2012

Memberikan Ucapan Salam Kepada Orang Sholat

Mengucapkan salam kepada orang yang sedang sholat pun disyari’atkan, sebagaimana pendapat mayoritas para ‘ulama`. Marilah kita simak dan pelajari hadits-hadits berikut ini.

Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu yang mengatakan : “Saya pernah mengucapkan salam pada Rasulullah, sedangkan beliau sedang mendirikan sholat. Lantas beliau menjawab salamku. Ketika kami hendak pulang, saya pun mengucapkan salam pada Rasulullah yang sedang sholat, tapi kali ini beliau tdk menjawabnya. Kemudian Nabi bersabda :Sesungguhnya dalam sholat itu ada kesibukan tersendiri.” (HR Bukhari no.1141,1158. HR Muslim no.538 dan HR Abu Dawud 3/191)

Masih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : “Saya pernah mendatangi Rasulullah yang sedang sholat, lalu saya ucapkan salam dan beliau menjawabnya. Kemudian saya mendatangi lagi sambil salam kepadanya dan dia dlm keadaan sholat, tapi dia tidak menjawab salamku. Ketika selesai sholat, beliau memberi isyarat kepada shohabatnya dan bersabda, Sesungguhnya Allah adalah yang diajak dialog oleh kita ketika sholat, berarti janganlah kalian berbicara kecuali hanya dzikir kepadaNya dan (hanya dzikir) yang sepatutnya kalian kerjakan. Dan agar kalian mendirikan sholat karena Allah dalam keadaan tunduk.” (HR An Nasa`i 3/19, lafadh An Nasa`i asalnya ada pada shahihain, HR Abu Dawud 3/193)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Suatu ketika Rasul pergi menuju mesjid Quba dan sholat di dalamnya. Maka berdatanganlah orang2 Anshar dan memberikan salam kepada Rasulullah yang sedang sholat. Saya bertanya kepada Bilal : Apa yang kau lihat manakala beliau menjawab salam mereka ? Bilal menjelaskan : Rasulullah cukup melambaikan telapak tangannya dan Ja’far bin Aun melambaikan tangannya pula . Dia menjadikan telapak tangan bagian dalamnya lebih bawah dan punggung telapak tangnanya berada di atas.” (HR Abu Dawud 3/195, HR Tirmidzi 2/204, HR Ibnu Majah 1/324, At Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih).

Hadits Ibnu Umar dari Shuhaib, radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata : “Saya berjalan melewati Rasulullah dan ia sedang melakukan sholat, lalu aku ucapkan salam padanya. Beliau pun menjawabnya dengan isyarat. Ibnu Umar berkata : Yang saya tahu tentang isyaratnya Nabi, adalah apa yang dikatakan oleh Shuhaib, Beliau mengisyaratkan dengan jari-jarinya.” (HR Abu Dawud 3/194, HR An Nasa`i 3/5, HR Tirmidzi 2/363)

Dalil-dalil di atas mengindikasikan dibolehkannya mengucapkan salam kepada orang yang sedang sholat.

Ketika hukum berbicara di dalam sholat sudah tidak diperbolehkan lagi (bersamaan dgn pulangnya kaum muslimin dari hijrah yang kedua, yaitu waktu ke Habasyah), Ibnu Mas’ud-seperti kebiasaannya- mengucapkan salam kepada Rasul yang sedang sholat, Rasul tetap diam dan tidak menjawab dengan lisannya melainkan hanya dengan isyarat. Rasul menjelaskan bahwa sebab dilarangnya berbicara dengan lisan ketika sholat adalah karena orang yang sedang sholat itu disibukkan dengan dzikir kepada Allah, mengucapkan do’a dan lain2 yang berhubungan dengan munajat seorang hamba kepada Rabbnya. Seandainya mengucapkan salam kepada orang yang sedang sholat tidak diperbolehkan, pasti Rasul sudah melarangnya dan tidak menjawab salam dgn isyarat.

Asy Syaukani berkata : Sebenarnya tidak ada perbedaan di antara keduanya, kita boleh menggunakan isyarat dengan jari-jari tangan dan juga boleh menggunakan tangan. Kemungkinan maksud dari kata-kata tangan dalam hadits di atas adalah jari-jarinya. (Nailul Authar 2/370)

Dalam hadits yang lain disebutkan dengan cara menganggukkan kepala sebagai jawaban atas salam yang diucapkan kepada orang yang sedang sholat. Hal ini terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud ,… maka Rasul pun menganggukkan kepalanya. Dalam riwayat lain Ibnu Mas’ud mengatakan dengan menggunakan kepalanya, yakni ketika membalas salam. (HR Al Baihaqi 2/260).

Dari riwayat-riwayat tersebut, berarti Rasulullah pernah mengamalkan yang satu dan dalam kesempatan yang lain pernah mengamalkan isyarat yang lain, itu semuanya boleh dilakukan.
(Dikutip dari: Kitab Zaadul Ma’ad Bab As Salam ‘alaa Musholli 2/413).

Adab Berjalan ke Masjid

Hadits Pertama. Dari Abu Qatadah, ia berkata : Tatkala kami sedang shalat bersama Nabi SAW, tiba-tiba beliau mendengar suara berisik orang-orang (yang datang). Maka ketika Nabi telah selesai shalat, ia bertanya : Ada apa urusan kamu tadi (berisik) ?. Mereka menjawab : Kami terburu-buru untuk turut (jama`ah), Nabi SAW berkata : Janganlah kamu berbuat begitu !. Apabila kamu mendatangi shalat, hendaklah kamu berlaku tenang ! Apa yang kamu dapatkan (dari shalatnya Imam), maka shalatlah kamu (seperti itu) dan apa yang kamu ketinggalan, sempurnakanlah ! (Hadits riwayat : Ahmad, Muslim dan Bukhari).
 
Hadits Kedua. Dari Abu Hurairah dari Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam  beliau bersabda: Apabila kamu mendengar iqamat, maka pergilah kamu ke tempat shalat itu, dan kamu haruslah berlaku tenang dan bersikap sopan/terhormat, dan janganlah kamu tergesa-gesa, apa yang kamu dapatkan (dari shalatnya Imam), maka shalatlah kamu (seperti itu) dan apa yang kamu ketinggalan sempurnakanlah. (Hadits riwayat : Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa`i & Ahmad).

Kedua hadits ini mengandung beberapa hukum :

Kita diperintah berlaku tenang dan bersikap sopan/terhormat apabila mendatangi tempat shalat/masjid. Kita dilarang tergesa-gesa/terburu-buru apabila mendatangi tempat shalat, seperti berlari-lari, meskipun iqamat telah dikumandangkan. Kita dilarang berisik apabila sampai di tempat shalat, sedang shalat (jama`ah) telah didirikan. Ini dapat mengganggu orang-orang yang sedang shalat jama`ah. Imam masjid perlu menegur (memberikan pelajaran/nasehat) kepada para jama`ah (ma`mum) yang kelakuannya tidak sopan di masjid, seperti berisik, mengganggu orang shalat, melewati orang yang sedang shalat, shaf tidak beres, berdzikir dengan suara keras, yang dapat mengganggu orang yang sedang shalat atau belajar atau lain-lain.

Apa yang kita dapatkan dari shalatnya Imam, maka hendaklah langsung kita shalat sebagaimana keadaan shalat Imam waktu itu. Setelah Imam selesai memberi salam ke kanan dan ke kiri, barulah kita sempurnakan apa-apa yang ketinggalan.

Diantara hikmahnya kita diperintahkan tenang dan sopan serta tidak boleh tergesa-gesa, Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam  pernah bersabda: Karena sesungguhnya salah seorang diantara kamu, apabila menuju shalat, maka berarti dia sudah dianggap dalam shalat. (Hadits riwayat : Muslim).

Periksa : Shahih Muslim 2 : 99,100. Shahih Bukhari 1 : 156. Subulus Salam (syarah Bulughul Maram) 2 : 33, 34. Nailul Authar (terjemahan) 2 : 781. koleksi hadits hukum, Ustadz Hasbi 4 : 27. Fiqih Sunnah.

Hadits Ketiga. …..Kemudian muadzin adzan (Shubuh), lalu Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam keluar ke (tempat) shalat (masjid), dan beliau mengucapkan: ALLAHUMMAJ `AL FI QALBY NUURAN dan seterusnya (yang artinya) : Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya, dan didalam ucapakanku cahaya, dan jadikanlah pada pendengaranku cahaya, dan jadikanlah pada penglihatanku cahaya, dan jadikanlah dari belakangku cahaya dan dari depanku cahaya, dan jadikanlah dari atasku cahaya, dan dari bawahku cahaya, ya Allah berikanlah kepadaku cahaya. (Hadits riwayat : Muslim & Abu Dawud).

Keterangan :
 
Hadits ini diriwayatkan dari jalan Ibnu Abbas ra yang menerangkan tentang shalat Nabi SAW diwaktu malam (shalat ul-lail).
Hadits ini menyatakan : Disukai kita mengucapkan do`a di atas di waktu pergi ke Masjid.
Periksa : Tuhfatudz Dzakirin hal : 93, Imam Syaukani. Al-Adzkar hal : 25, Imam Nawawi. Fathul Bari` 11 : 16, Ibnu hajar. Aunul Ma`bud (syarah Abu Dawud) 4 : 232. Syarah shahih Muslim 5 : 51, Imam Nawawi.

Hadits Keempat. Dari Abi Humaid atau dari Abi Usaid, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam  : Apabila salah seorang kamu masuk masjid, maka ucapkanlah : ALLAHUMMAF TAHLI ABWAABA RAHMATIKA (Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu). Dan apabila keluar (dari masjid), maka ucapkanlah : ALLAHUMMA IN-NI AS ALUKA MIN FADLIKA (Ya Allah, sesungguhnya aku minta kepada-Mu dari karunia-Mu). (Hadits riwayat : Muslim, Ahmad & Nasa`i).
Hadits ini menyatakan : Disunatkan kita mengucapkan do`a di atas apabila masuk ke masjid dan keluar dari padanya.
Periksa : Shahih Muslim 2 : 155. Sunan Nasa`i 2 : 41. Fathur Rabbani 3 : 51,52 Nomor hadits 314. Al-Adzkar hal : 25.

Hadits Kelima. Dari Abdullah bin Amr bin Ash dari Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam, bahwasanya Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam, apabila masuk masjid, beliau mengucapkan : `AUDZU BILLAHIL `AZHIMI WABIWAJHIHIL KARIIMI WA SULTHANIHIL QADIIMI MINASY SYAITHANIR RAJIIM (Aku berlindung kepada Allah yang Maha Agung dan dengan wajah-Nya yang Mulia serta kekuasaan-Nya yang tidak mendahuluinya, dari (gangguan) syaithan yang terkutuk). Nabi SAW berkata : Apabila ia mengucapkan demikian (do`a di atas), syaithanpun berkata : Dipeliharalah ia dari padaku sisa harinya. (Hadits riwayat Abu Dawud).

Hadits ini menyatakan : Disunatkan kita membaca do`a mohon perlindungan kepada Allah dari gangguan syaithan apabila memasuki masjid. Periksa : Sunan Abu Dawud Nomor hadits : 466, Aunul Ma`bud Nomor hadits : 462. Minhalul `Adzbul Mauruud (syarah Abu Dawud) 4 : 75, Imam As-Subki. Adzkar hal : 26. Tafsir Ibnu Katsir 3 : 294.

Hukum Mengangkat Kedua Tangan dalam Berdo’a Khutbah Jum’at

Do’a adalah ibadah. Ibadah hukum asalnya haram kecuali ada dalil yang memerintahkannya. Supaya ibadah diterima oleh Allah maka harus memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas dan mutaba’ah. Termasuk  berdo’a harus mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Ketahuilah bahwa mengangkat kedua tangan ketika khatib berdo’a dalam khutbah jum’atnya adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan. Baik itu bagi khatib sendiri maupun bagi jama’ahnya. Karena ada keterangan dari Ammarah bin Ruaibah, bahwa ia telah melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya di atas mimbar. Lalu Ammarah berkata : ” Semoga Allah menjelekkan kedua tangan itu, sesungguhnya saya telah melihat Rasulullah ketika berdo’a selalu dengan tangannya, begini.” Yaitu dengan mengisyaratkan jari telunjuknya. Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Pada hari Jum’at.” (HR Muslim no.874).

An Nawaawi berkata : “Dalam hadits itu ada penjelasan bahwa yang namanya sunnah adalah tidak mengangkat kedua tangannya ketika berkhutbah. Ini adalah pendapatnya Imam Malik, sahabat-sahabatnya, dan selain mereka. Al Qadhi menceritakan dari beberapa orang terdahulu dan dari sebagian pengikut Imam Malik, bahwa mengangkat tangan adalah boleh, dengan dalil karena nabi pernah mengangkat kedua tangannya dalam khutbah Jum’at ketika meminta turun hujan. Tapi pendapat ini dijawab oleh pendapat yang mengatakan tidak boleh, bahwa beliau mengangkat kedua tangan karena adanya sebuah alasan. ” (Syarah Muslim oleh An Nawawi 5/411).

Asy Syaukani berkata : “Hadits ini menunjukkan ttg dibencinya perbuatan mengangkat tangan sewaktu berada di atas mimbar dan ketika berdo’a dan bahkan itu adalah bid’ah. (Nailul Authar 3/308). Dinukil dari Hasyiah Ar Raudhah dari Al Majd bin Taimiyyah bahwa mengangkat kedua tangan dalam keadaan seperti itu adalah bid’ah. (Hasyiah Ar Raudh oleh Ibnu Qosim 2/458 dan lihat Syarh Tsalaatsiyat Musnad Al Imam Ahmad)

Dalam Al Ba’its, Abu Syamah mengatakan ketika menjelaskan macam-macam bid’ah yang terjadi sekitar sholat Jum’at, “Adapun mengangkat tangan ketika berdo’a adalah bid’ah yang sudah lama.” Pendapat ini diikuti oleh As Suyuthi dalam kitabnya Al Amru bi Al Ittiba’ wa An Nahyu ‘an Al Ibtida’. (Al Ba’its hal : 142 dan Al Amru bi Al Ittiba’ hal : 247).

Ibnu Taimiyyah dalam Ikhtiyaraat-nya meyebutkan, “Hukumnya makruh bagi sang imam untuk mengangkat kedua tangan ketika berdo’a dalam khutbahnya dan ini jawaban yang paling shahih dari dua pilihan yang ada pada sahabat-sahabat kami, karena nabi selalu memberikan isyarat dengan jari telunjuknya apabila berdo’a . Adapun dalam do’a istisqo`, beliau mengangkat kedua tangannya, yaitu sewaktu minta hujan dan di atas mimbar. (Al Ikhtiaraat hal : 80 dan lihat Fathul Bari 2/412). Wallaahu a’lam.

(Rujukan: Shahih Muslim, Syarh Tsalaatsiyat Musnad Al Imam Ahmad dan Fathul Bari)

Kewajiban Sholat Ber-Jamaah di Masjid

Banyak dari kalangan umat Islam saat ini yang meremehkan shalat berjamaah. Sebagian diantara mereka tidak mengetahui hukum-hukum Sholat Berjama’ah karena memang kurangnya sumber Ilmu yang terpercaya dan sebagian lagi karena tidak pernah peduli dengan ajaran Islam itu sendiri.

Pada kesempatan kali ini, marilah kita yang belum mengetahui perkara ini dengan sebab apapun untuk menundukkan hati kita, untuk mempelajari Syariat Islam dengan baik dan benar serta diamalkan sekuat daya upaya yang kita miliki.Tulisan ini berusaha menjelaskan mengenai hukum-hukum tentang wajibnya shalat berjama’ah, karena sekali lagi kita ingatkan diri kita bahwa sebenarnya masalah ini adalah masalah yang teramat penting sebagaimana masalah-masalah lainnya yang terdapat dalam web site ini. Wallahu A’lam

Alloh Subhanallohu wa Ta’ala banyak menyebut kata “shalat” dalam Al Qur’anul Karim. Ini menandakan begitu penting perkara ini. Alloh Subhanallohu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”(QS. Al Baqarah: 43)

Ayat mulia ini merupakan nash tentang kewajiban shalat berjamaah. Dan dalam surat An- Nisa’ Alloh Subhanallohu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemu-dian apabila mereka (yang shalat besertamu) su-jud (telah menyempurnakan serekat), maka hen-daklah mereka dari belakangmu (untuk meng-hadapi musuh) dan hendaklah datang golongan kedua yang belum shalat, lalu bershalatlah me-reka denganmu , dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata…” (QS. An Nisa’: 102)

Pada ayat diatas Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mewajibkan shalat berjamaah bagi kaum muslimin dalam keadaan perang. Bagaimana bila dalam keadaan damai ?!. Telah disebutkan diatas bahwa “..dan hendaklah datang segolongan kedua yang belum shalat, lalu bershalatlah bersamamu…”. Ini adalah dalil bahwa shalat berjamaah adalah fardhu ‘ain, bukan fardu kifayah, ataupun sunnah. Jika hukumnya fardhu kifayah, pastilah gugur kewajiban berjamaah bagi kelompok kedua karena penunaian kelompok pertama. Dan jika hukumnya adalah sunnah, pastilah alasan yang paling utama adalah karena takut.

Dan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Seorang laki-laki buta datang kepada Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai pe-nuntun yang akan menuntunku ke Masjid. ” Ma-ka dia minta keringanan untuk shalat dirumah, maka diberi keringanan. Lalu ia pergi, Beliau memanggilnya seraya berkata: “Apakah kamu mendengar adzan? Ya, jawabnya. Nabi berkata:”Kalau begitu penuhilah (hadirilah)!”  (HR. Muslim)

Didalam hadits ini Rasululloh shallallahu ‘alaihi wassallam tidak memberikan keringanan kepada Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu untuk shalat dirumahnya (tidak berjamaah) kendati ada alasan, diantaranya:
Keadaan beliau buta.
Tidak adanya penuntun ke Masjid.
Jauh rumahnya dari Masjid.
Adanya pohon-pohon kurma dan lain-lain yang ada diantara rumah beliau dan Masjid.
Adanya binatang buas di Madinah.
Tua umurnya dan telah lemah tulang-tulang-nya.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam telah bersabda, yang artinya: “Aku berniat memerintahkan kaum muslimin untuk mendirikan shalat. Maka aku perintahkan seorang untuk menjadi imam dan shalat bersama. Kemudian aku berangkat dengan kaum muslimin yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak mau ikut shalat berjamaah, dan aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadits diatas telah menjelaskan bahwa tekad Rasululloh shallallahu ‘alaihi wassallam untuk membakar rumah-rumah disebabkan mereka tidak keluar untuk shalat berjamaah di masjid. Dan masih banyak lagi hadits yang menerangkan peringatan keras Rasulullah terhadap orang-orang yang tidak hadir ke masjid untuk berjamaah bukan semata-mata karena mereka meninggalkan shalat, bahkan mereka shalat di rumah-rumah mereka.

Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini telah menerangkan bahwa shalat berjamaah adalah fardhu ‘ain, karena kalau shalat berjamaah itu hanya sunnah saja, Rasulullah tidak akan berbuat keras terhadap orang-orang yang meninggalkannya, dan kalau fardhu kifayah pastilah telah cukup dengan pekerjaan beliau dan yang bersama beliau.”

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Engkau telah melihat kami, tidak sese-orang yang meninggalkan shalat berjamaah, kecuali ia seorang munafik yang diketahui nifaknya atau seseorang yang sakit, bahkan seorang yang sakitpun berjalan (dengan dipapah) antara dua orang untuk mendatangi shalat (shalat berjamaah di masjid). “Beliau menegaskan : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam mengajarkan kita jalan-jalan hidayah, dan salah satu jalan hidayah itu adalah shalat di masjid (shalat yang diker-jakan di masjid).” (Shahih Muslim)

Ibnu Mas’ud juga mengatakan: “Barang siapa mau bertemu dengan Alloh Subhanallohu wa Ta’ala di hari akhir nanti dalam keadaan MUSLIM, maka hendaklah memelihara semua shalat yang diserukan-Nya. Alloh Subhanallohu wa Ta’ala telah menetapkan jalan-jalan hidayah kepada para Nabi dan shalat termasuk salah satu jalan hidayah. Jika kalian shalat dirumah maka kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian, dan kalian akan sesat. Setiap Lelaki yang bersuci dengan baik, kemudian menuju masjid, maka Alloh Subhanallohu wa Ta’ala menulis setiap langkahnya satu kebaikan, mengangkatnya satu derajat, dan menghapus satu kejahatannya. Engkau telah melihat dikalangan kami, tidak pernah ada yang meninggalkan shalat (berjamaah), kecuali orang munafik yang sudah nyata nifaknya. Pernah ada seorang lelaki hadir dengan dituntun antara dua orang untuk didirikan shaf.”

Ibnu Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Barangsiapa yang mendengar adzan kemudian dia tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya.”
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum berkata: “Tidak ada tetangga masjid kecuali shalat di masjid.” Ketika ditanyakan kepada beliau: “Siapa tetangga masjid ?” Beliau menjawab: “Siapa saja yang mendengar panggilan adzan.” Kemudian kata beliau: “Barangsiapa mendengar panggilan adzan dan dia tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali dia mempunyai udzur.

Meningggalkan shalat berjamaah merupakan salah satu penyebab untuk meninggalkan shalat sama sekali. Dan perlu diketahui bahwa meninggalkan shalat adalah kekufuran, dan ke-luar dari islam. Ini berdasar pada sabda Nabi, yang artinya: “Batas antara seseorang dengan kekufuran dan syirik adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim). “Janji yang membatasi antara kita dan orang-orang kafir adalah shalat. Barang siapa meninggalkannya, maka ia kafir.”

Setiap muslim wajib memelihara shalat pada waktunya, mengerjakan shalat sesuai dengan yang disyariatkan Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, dan mengerjakan secara berjamaah di rumah-rumah Alloh Subhanallohu wa Ta’ala. Setiap muslim wajib taat kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala  dan Rasul-Nya, serta takut akan murka dan siksa Alloh Subhanallohu wa Ta’ala.
Tidak bisa dipungkiri shalat berjamaah mempunyai beberapa hikmah serta kemaslahatan. Hikmah yang tampak adalah:
      • Akan timbul diantara sesama muslim akan sa-ling mengenal dan saling membantu dalam kebaikan, ketaqwaan, dan saling berwasiat de-ngan kebenaran dan kesabaran.
      • Saling memberi dorongan kepada orang lain yang meninggalkannya, dan memberi penga-jaran kepada yang tidak tahu.
      • Menumbuhkan rasa tidak suka/membenci kemunafikan.
      • Memperlihatkan syiar-syiar Alloh Subhanallohu wa Ta’ala ditengah-tengah hamba-Nya.
      • Sarana dakwah lewat kata-kata dan perbuatan.
Hadits mengenai wajibnya shalat berjamaah dan kewajiban melaksanakannya di rumah Alloh Subhanallohu wa Ta’ala sangat banyak Oleh karena itu setiap muslim wajib memperhatikan, dan bersegera melaksanakannya. Juga wajib memberitahukan hal ini kepada anak-anaknya, keluarga, tetangga, dan seluruh teman-teman seaqidah agar mereka melaksanakan perintah Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dan agar mereka takut terhadap larangan Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dan agar mereka menjauhkan diri dari sifat-sifat orang munafik yang tercela, diantaranya malas mengerjakan shalat

(Sumber Rujukan: Ahammiyatus Shalatil Jamaah, Syarah Muslim oleh Imam Nawawi, Tafsir lbnu Katsir)

Tata Cara Ber-Wudhu’ Secara Praktis

Amalan apakah yang dianjurkan ketika berwudhu’, dan apakah doa yang mesti diucapkan setelahnya?. Tatacara wudhu’ menurut syariat adalah sebagai berikut: Menuangkan air dari bejana (gayung) untuk mencuci telapak tangan sebanyak tiga kali. Kemudian menyiduk air dengan tangan kanan lalu berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya sebanyak tiga kali. Kemudian membasuh wajah sebanyak tiga kali.

Kemudian mencuci kedua tangan sampai siku sebanyak tiga kali. Kemudian mengusap kepala dan kedua telinga sekali usap. Kemudian mencuci kaki sampai mata kaki sebanyak tiga kali. Ia boleh membasuhnya sebanyak dua kali atau mencukupkan sekali basuhan saja. Setelah itu hendaknya ia berdoa: “Asyhadu allaa ilaaha illallah wahdahu laa syarikalahu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu, Allahummaj ‘alni minat tawwabiin waj’alni minal mutathahhiriin.”Artinya: Saya bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak disembah dengan benar selain Alloh semata tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Yaa Alloh jadikanlah hamba termasuk orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri.”

Adapun sebelum berwudhu hendaklah ia mengucapkan ‘bismillah’ berdasarkan hadits yang berbunyi: “Tidak sempurna wudhu’ yang tidak dimulai dengan membaca asma Alloh (bismillah).” (HR: At-Tirmidzi No:56)

Lalu adakah Adakah disyariatkan do’a saat berwudhu’?
 
Tidak ada hadits yang shahih dari Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wassalam yang menetapkan doa saat mencuci atau membasuh anggota-angota wudhu’. Sementara doa-doa yang disebutkan dalam masalah ini adalah tidak ada asalnya dalam Syariat Islam dan merupakan perkara yang harus kita hindarkan.

Shalat dengan Mengenakan Baju Ketat

Memakai pakaian yang ketat dan sesak tidak dianjurkan (makruh) baik dari sudut pandang syari’ah maupun dari sudut pandang kesehatan. Ada sebagian jenis baju ketat membuat orang yang mengenakannya sulit melakukan sujud. Jika baju seperti ini menyebabkan si pemakai sukar mengerjakan shalat atau bahkan menyebabkan dia meninggalkan shalat, maka jelas hukum memakai baju seperti ini adalah haram.

Asy-Syaikh al Albaniy berkata bahwa celana ketat itu mendatangkan dua macam musibah: Musibah pertama, bahwa orang yang memakainya menyerupai orang-orang kafir. Sedangkan Kaum Muslim memang memakai celana, akan tetapi model celana yang lebar dan longgar. Model seperti ini masih banyak dipakai di daerah Suriah dan Libanon. Ummat Islam baru mengenal celana ketat setelah mereka dijajah bangsa eropa. Pengaruh buruk itulah yang diwariskan oleh kaum penjajah kepada ummat Islam. Akan tetapi karena kebodohan dan ketololan ummat Islam sendiri, mereka mengambil tradisi buruk tersebut. Musibah kedua, celana ketat menyebabkan bentuk aurat terlihat dengan jelas. Memang benar bahwa aurat pria adalah anggota badan antara pusar dan lutut. Namun seorang hamba yang sedang melakukan shalat dituntut untuk berbuat lebih dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat (dalam masalah busana ini, lihat Al Qur’an Surah 7:31-pen-). Tidak pantas dia melakukan maksiat kepada Alloh subhanahu wa ta’ala ketika sedang sujud bersimpuh di hadapan-Nya. Ketika dia mengenakan celana ketat, maka kedua pantatnya akan terbentuk dengan jelas. Bahkan lebih dari itu, bagian tubuh yang membelah keduanya juga terlihat nyata !

Bagaimana seorang hamba melakukan shalat dan menghadap Rabb Semesta Alam dalam keadaan seperti ini ?! Yang lebih aneh lagi adalah mayoritas pemuda Muslim biasanya menentang keras apabila kaum wanita Muslimah memakai baju ketat. Alasan mereka bahwa baju ketat yang dipakai wanita bisa menunjukkan bentuk tubuhnya secara jelas. Akan tetapi pemuda ini lupa akan dirinya sendiri. Dia tidak sadar bahwa dia telah mengerjakan suatu hal yang dia sendiri membencinya.

Jika demikian, tidak ada bedanya antara wanita yang memakai baju ketat sehingga terlihat lekuk tubuhnya dengan pria yang memakai celana ketat (jeans dan semacamnya-pen-) sehingga terlihat bentuk kedua pantatnya. Ketika pantat pria dan wanita dianggap sebagai aurat, maka hal menggunakan baju ketat bagi mereka itu sama saja hukumnya, yakni dilarang. Sebenarnya para pemuda wajib menyadari musibah yang telah melanda mayoritas mereka.

Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam telah melarang kaum pria shalat dengan memakai celana tanpa gamis (kemeja). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan al Hakim. Sanad hadits ini sendiri berkualitas hasan. Lihat Shahiih al Jaami’ al Shaghiir nomor 6830 dan juga diriwayatkan oleh al Thahawiy dalam Syarh Ma’aaniy al Atsaar (I/382).

Adapun jika model celana yang dikenakan ketika shalat tidak ketat dan berukuran longgar, maka sah shalat yang dikerjakan. Yang lebih baik adalah dirangkap dengan gamis yang bisa menutup anggota tubuh antara pusar dan lutut. Akan tetapi lebih baik lagi apabila panjang gamis itu sampai setengah betis atau sampai mata kaki (asalkan tidak sampai menutupi mata kaki –pen). Hal seperti ini adalah cara menutup aurat yang paling sempurna (mungkin pakaian seperti ini di daerah kita agak sukar didapatkan di pasaran, namun cukup banyak sarung yang bisa menggantikan fungsinya –pen-). (Al Fataawaa I/69, tulisan Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdullah bin Baz).

Dengan latar belakang inilah Komite Tetap Pembahasan Masalah ‘Ilmiyyah dan fatwa Saudi Arabia (semacam MUI di Indonesia -pen-) menjawab pertanyaan mengenai hukum Islam tentang shalat memakai celana. Jawaban yang dirumuskan adalah sebagai berikut: “Jika pakaian tersebut tidak menyebabkan aurat terbentuk dengan jelas, karena modelnya longgar dan tidak bersifat transparan sehingga anggota aurat tidak bisa dilihat dari arah belakang, maka boleh dipakai ketika shalat. Namun apabila busana itu terbuat dari bahan yang tipis sehingga memungkinkan aurat yang memakai dilihat dari belakang, maka shalat yang dikerjakan batal hukumnya. Jika sifat busana yang dipakai hanya mempertajam atau memperjelas bentuk aurat saja, maka makruh mengenakan busana tersebut ketika shalat. Terkecuali jika tidak ada busana lain yang dapat dikenakan.

Meluruskan dan Merapatkan Shaf

Tujuan pokok dari diutusnya Rasululloh ShalAllohu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia adalah untuk menyeru kepada tauhidullah yaitu mengesakan Alloh pada segenap bentuk peribadatan dan menjauhi segala bentuk kesyirikan. Disamping itu Beliau ShalAllohu ‘alaihi wa sallam dibebani tugas untuk menyampaikan syari’at Islam kepada umatnya sehingga umat manusia hidup dalam petunjuk (wahyu) dari Alloh ‘Azza wa Jalla.

Di antara syari’at yang diajarkan Rasululloh ShalAllohu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya adalah meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat berjamaah. Barangsiapa yang melaksanakan syari’at, petunjuk dan ajaran-ajarannya dalam meluruskan dan merapatkan shaf, sungguh dia telah menunjukkan ittiba’ nya (mengikuti) dan kecintaannya kepada Rasululloh ShalAllohu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Alloh Subhaanahu wa ta’ala di dalam Al Qur’an, yang artinya: “Katakanlah: “Jika kamu benar-benar mencintai Alloh, ikutilah aku, niscaya Alloh mencintai dan mengampuni dosa-dosamu”. Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS: Ali Imran: 31).

Dan dia juga melaksanakan perintah Rasululloh ShalAllohu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, yang artinya: “Shalatlah kalian sebagaimana kamu melihat aku shalat”

Adapun hadits-hadits yang memerintahkan untuk meluruskan dan merapatkan shaf diantaranya sabda Rasululloh ShalAllohu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Apakah kalian tidak berbaris sebagaimana berbarisnya para malaikat di sisi Tuhan mereka ?” Maka kami berkata: “Wahai Rasululloh , bagaimana berbarisnya malaikat di sisi Tuhan mereka ?” Beliau menjawab : “Mereka menyempurnakan barisan-barisan [shaf-shaf], yang pertama kemudian [shaf] yang berikutnya, dan mereka merapatkan barisan” (HR: Muslim, An Nasa’I dan Ibnu Khuzaimah).

Dari Anas bin Malik berkata: Rasululloh ShalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Luruskan shaf-shaf kalian, dan dekatkan (jarak ) antar shaf-shaf, dan sejajarkan bahu-bahu kalian !. Demi jiwaku yang ada di tanganNya, sesungguhnya aku melihat syaithan masuk dari celah-celah shaf seperti anak kambing” (HR: Abu Dawud, Ahmad dan lainnya).

Dalam hadits ini menjelaskan bahwa syaithan masuk dari celah-celah shaf atau sela-sela shaf yang tidak rapat, kemudian menghalangi antara seseorang dengan saudaranya dan menjauhkan antara keduanya, yang demikian itu akan membawa pada perselisihan di dalam hati-hati mereka (maqami’u asy syaithan:62)

Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari An Nu’man bin Basyir, Beliau berkata, yang artinya: “Dahulu Rasullullah ShalAllohu ‘alaihi wa sallam meluruskan shaf kami sampai seperti meluruskan anak panah, hingga beliau menganggap kami telah paham terhadap apa yang beliau perintahkan kepada kami (sampai shof kami telah rapi – pent), kemudian suatu hari beliau keluar (untuk shalat) kemudian beliau berdiri, hingga ketika beliau akan bertakbir, beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya, maka beliau bersabda:”Wahai para hamba Alloh, sungguh kalian benar-benar lurus dalam shaf kalian, atau Alloh akan memperselisihkan wajah-wajah kalian”. (HR: Muslim)

Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Anas, Beliau ShalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Tegakkan (luruskan dan rapatkan, – pent) shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari balik punggungku” (HR. Al Bukhari dan Muslim), dan pada riwayat Al Bukhari, Anas berkata: “Dan salah satu dari kami menempelkan bahunya pada bahu temannya dan kakinya pada kaki temannya”, sedangkan pada riwayat Abu Ya’la, berkata Anas: “Dan jika engkau melakukan yang demikian itu pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seolah-olah seperti keledai liar yaitu dia akan lari darimu”

Berkata Busyair bin Yasar dari Anas bin Malik: “Bahwasanya beliau (Anas) ketika datang ke Madinah, ada yang berkata kepada beliau: ” Tidakkah engkau mengingkari kami hingga hari ini sejak meninggalnya Rasululloh ?”. Maka Beliau menjawab: “Aku tidak mengingkari kalian kecuali kalian tidak menegakkan shaf”. (artinya beliau Anas bin Malik senantiasa mengingkari orang – orang yang tidak merapatkan dan meluruskan shafnya – pent)

Maka jelaslah dari hadits di atas bahwa menempelkan bahu dengan bahu dan kaki dengan kaki dalam shaf adalah sunnah yang telah dikerjakan oleh para sahabat Radhiyallhu ‘anhum di belakang Nabi ShalAllohu ‘alaihi wa sallam. Dan inilah maksud dari menegakkan shaf dan meluruskannya.

Dan perkataan Anas: “Dan jika engkau melakukan yang demikian itu pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seolah-olah seperti keledai liar”. Sesuai dengan kenyataan manusia pada zaman ini, kalau ada orang yang melaksanakan sunnah tsb terhadap mereka, niscaya mereka akan lari darinya seolah-olah mereka itu keledai liar. Maka menjadilah sunnah itu seolah-olah bid’ah (hal yang baru di dalam agama – pent) dalam pandangan mereka – kita berlindung kepada Alloh dari hal seperti ini –, Semoga Alloh memberi petunjuk kepada mereka dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk merasakan manisnya sunnah Nabi ShalAllohu ‘alaihi wa sallam.

Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar mengomentari perkataan Anas pada Hadits di atas: “Dan penjelasan ini mengandung faedah bahwa perbuatan tersebut dilakukan pada masa Nabi ShalAllohu ‘alaihi wa sallam. Maka dengan ini sempurnalah berhujjah dengan (perkataan Anas) tentang maksud dari menegakkan shaf dan meluruskannya”. (ahtha’ al mushallin: 207-208)

Berkata Syaikh Al Albani mengomentari hadits Anas dan An Nu’man yang telah lalu: “Dalam dua hadits ini mengandung beberapa faedah yang penting; Pertama: Wajibnya menegakkan shaf dan meluruskannya serta merapatkannya, karena diperintahkan yang demikian itu. Pada asalnya meluruskan shaf wajib kecuali ada qarinah, sebagaimana telah tetap pada ilmu ushul. Sedangkan qarinah disini menguatkan akan kewajibannya, yaitu sabda Nabi ShalAllohu ‘alaihi wa sallam: ”atau Alloh akan memperselisihkan wajah-wajah kalian”. Sesungguhnya ancaman semacam ini tidak dikatakan didalam perkara yang tidak diwajibkan, sebagaimana tidak samar lagi (pengertian seperti itu tidak samar dikalangan ahli ilmu – pent).

Kedua: Bahwasanya meluruskan shaf, sebagaimana yang tersebut dalam hadits itu adalah dengan menempelkan bahu dengan bahu dan hafah (kaki dengan kaki), karena inilah yang dilakukan oleh para sahabat ketika diperintahkan untuk menegakkan shaf”. (ahtha’ al mushallin: 208-209).

Dari hadits-hadits di atas menunjukkan betapa pentingnya meluruskan dan merapatkan shaf pada waktu shalat berjamaah, karena hal tersebut termasuk kesempurnaan shalat sebagaimana sabda Rasululloh ShalAllohu ‘alaihi wa sallam : “Luruskan shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat”. Bahkan sampai ada ulama yang mewajibkan hal itu, sebagaimana perkataan Syeikh Al Albani di atas. Akan tetapi sungguh amat sangat disayangkan, sunnah meluruskan dan merapatkan shaf ini telah diremehkan bahkan dilupakan, kecuali oleh segelintir kaum muslimin saja (semoga kita termasuk didalamnya – pent)

Berkata Syeikh Masyhur Hasan Salman: “Apabila jamaah shalat tidak melaksanakan sebagaimana yang dilakukan oleh Anas Radhiyallhu ‘anhu dan An Nu’man Radhiyallhu ‘anhu, maka akan selalu ada celah dan ketidaksempurnaan dalam shaf. Dan pada kenyataannya – kebanyakan – para jamaah shalat apabila mereka dapat merapatkan shaf maka akan luaslah shaf tsb [ sehingga akan menampung banyak jamaah, pent-] khususnya shaf pertama kemudian yang kedua dan yang ketiga. Maka apabila mereka tidak melakukannya, maka; 
Pertama: Mereka terjerumus dalam larangan syar’i, [yaitu tidak meluruskan dan merapatkan shaf -pent].  

Kedua: Mereka meninggalkan celah untuk syaithan dan Alloh ‘Azza wa Jalla akan memutuskan (hati – hati) mereka, sebagaimana hadits dari Umar bin Al Khaththab Radhiyallhu ‘anhu bahwasanya Nabi ShalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:“Tegakkan shaf-shaf kalian dan rapatkan bahu-bahu kalian dan tutuplah celah-celah dan jangan kalian tinggalkan celah untuk syaithan, barangsiapa yang menyambung shaf niscaya Alloh akan menyambungnya dan barangsiapa memutus shaf niscaya Alloh akan memutuskannya”. (HR: Abu Dawud dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim )  

Ketiga: Terjadi perselisihan dalam hati-hati mereka dan timbul banyak pertentangan di antara mereka, sebagaimana dalam hadits An Nu’man terdapat faedah yang menjadi terkenal dalam ilmu jiwa, yaitu: sesungguhnya rusaknya dhahir mempengaruhi rusaknya batin dan kebalikannya. Disamping itu bahwa sunnah meluruskan dan merapatkan shaf menunjukkan rasa persaudaraan dan saling tolong-menolong, sehingga bahu si miskin menempel dengan bahu si kaya dan kaki orang lemah merapat dengan kaki orang kuat, semuanya dalam satu barisan seperti bangunan yang kuat, saling menopang satu sama lainnya.

Keempat: Mereka kehilangan pahala yang besar yang dikhabarkan dalam hadits-hadits yang shahih, di antaranya sabda Nabi ShalAllohu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Sesungguhnya Alloh dan para malaikatnya bershalawat kepada orang yang menyambung shaf”. (HR: Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hiban dan Ibnu Khuzaimah).

Dan sabda Nabi ShalAllohu ‘alaihi wa sallam yang shahih, yang artinya: “Barangsiapa menyambung shaf niscaya Alloh akan menyambungnya”. (HR:Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
Dan sabda Nabi ShalAllohu ‘alaihi wa sallam yang lain, yang artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling lembut bahunya (mau untuk ditempeli bahu saudaranya -pent) ketika shalat, dan tidak ada langkah yang lebih besar pahalanya daripada langkah yang dilakukan oleh seseorang menuju celah pada shaf dan menutupinya”. (HR: Ath Thabrani, Al Bazzar dan Ibnu Hiban)

Demikianlah uraian ringkas tentang shaf dalam shalat berjama’ah ini, semoga dapat memberikan motifasi kepada kita semua untuk melaksanakan sunnah/ajaran Rasululloh ShalAllohu ‘alaihi wa sallam dalam shalat berjamaah. Amien

Penjelasan Singkat Shalat Ghaib

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam Kitab Zaadul Ma’aad (I/205-206) perihal shalat ghaib, “Bukan petunjuk dan sunnah Rasululloh ShalAllohu ‘alaihi wa sallam untuk mengerjakan shalat ghaib bagi setiap orang yang meninggal dunia.  Sebab, cukup banyak kaum muslimin yang meninggal dunia sedangkan mereka jauh dari Rasululloh, namun beliau tidak menshalatkan mereka dengan shalat ghaib.

Dan diriwayatkan secara shahih dari beliau bahwa beliau telah menshalatkan shalat jenazah atas an Najasyi. Lalu muncul perbedaan pendapat mengenai hal tersebut dalam tiga jalan:
 
Pertama, Yang demikian itu merupakan syari’at sekaligus sunnah bagi ummat Islam untuk mengerjakan shalat ghaib atas setiap muslim yang meninggal dunia di tempat yang jauh.  Dan hal itu merupakan pendapat asy Syafi’i dan Ahmad.
 
Kedua, Abu Hanifah dan Malik mengemukakan, ‘Yang demikian itu khusus baginya saja dan tidak untuk yang lainnya’.
 
Ketiga, Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, ‘Yang benar adalah bahwa orang yang bertempat tinggal jauh dan meninggal dunia di suatu negara yang tidak ada seorang pun yang menshalatkan di negara tersebut, maka dia perlu dishalatkan dengan shalat ghaib, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi ShalAllohu ‘alaihi wa sallam atas jenasah an Najasyi, karena dia meninggal di tengah-tengah orang-orang kafir dan tidak ada yang menshalatkannya.

Seandainya dia sudah dishalatkan di tempat dia meninggal dunia, maka dia tidak dishalatkan dengan shalat ghaib atas jenazahnya. Sebab, kewajiban itu telah gugur dengan shalatnya kaum muslimin atas dirinya.

Dan Nabi mengerjakan shalat ghaib dan meninggalkannya.  Sedang apa yang dikerjakan dan apa yang beliau tinggalkan merupakan sunnah.  Dan ini menempati porsinya masing-masing.  Hanya Alloh Yang Maha Tahu.  Dalam Madzhab Ahmad, terdapat tiga pendapat dan yang paling shahih diantaranya adalah rincian ini’”

Syaikh al Albani juga menjelaskan tentang hal yang  berkaitan dengan shalat ghaib dalam Ahkaamul Janaa-iz, “ …, maka jika ada seorang muslim meninggal di salah satu negara, lalu kewajiban shalat jenazah atas dirinya sudah ditunaikan, maka tidak perlu lagi orang lain yang berada di negara lain untuk mengerjakan shalat ghaib untuknya.  Dan jika dia mengetahui bahwa yang meninggal tersebut tidak dishalatkan karena adanya rintangan atau alasan yang menghalanginya, maka disunnahkan untuk menshalatkannya dan hal itu tidak boleh ditinggalkan karena jarak yang jauh”

(Sumber Rujukan: Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani)

Sabtu, 14 Januari 2012

Mengarahkan wajah dan mata kepada khotib

Kebanyakan kita setiap kali sholat jumat, tatkala khutbah sedang dimulai, banyak perilaku yang bisa kita lihat. Sebagian nya menutupkan mata, sebagian lagi menundukkan pandangan ke lantai, dan sebagian lagi “clingak-clinguk” ke mana ada yang menarik pandangannya dari jamaah yang hadir belakangan.Bagaimana yang benar? Jawabnya, arahkan mata kita ke arah khotib yang sedang berbicara, konsentrasi lah…………..mari kita simak hadist-hadist yang menunjukkan akan sunnah yang banyak ditinggalkan oleh manusia..
Al-Imam Bukhari dalam kitabnya membawakan judul bab “Bab Menghadapnya Imam kepada Kaum, dan Menghadapnya Manusia kepada Imam tatkala Khutbah dan Ibnu Umar dan Anas radhiallahu anhuma menghadapkan wajah mereka kepada Imam”, Al-Hafidz Ibnu Hajar dala Al-Fath mengatakan: Diantara hikmah menghadapkan wajah ke Imam adalah agar bisa konsentrasi mendengarkan ucapan khotib, juga melakukan adab yang baik ketika mendengar.Jika seseorang menghadapkan wajah kepada Imam kemudian bersikap badan yang baik serta berkonsentrasi maka akan memudahkan baginya untuk memahami pelajran yang disampaikan.Juga ini sesuai dengan disyariatkannya khotib untuk berdiri.
Al-Imam Albani rahimahulloh dalam Silsilah Shahihah No.2080 membawakan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Pertama
Sebagian sahabat Nabi shalallahu ‘alahi wasalam meriwayatkan bahwa: Apabila Nabi naik mimbar, kami hadapkan wajah-wajah kami kepadanya.
Kedua
Dari Abban bin Abdillah al-Bajili berkata:Saya melihat Uday bin Tsabit menhadap khotib tatkala berdiri untuk khutbah. Saya bertanya kepadanya: ”Saya melihat anda menghadapkan wajah kearah imam? Kata Uday bin Tsabit: ”Saya melihat demikian yang dilakukan para sahabat Nabi”
Ketiga
Dari Abdullah bin Mas’ud: “Ketika Rasululloh shalallahu ‘alaihi wasalam naik mimbar, kami hadapkan wajah-wajah kami kepada beliau” Dikeluarkan Imam Tirmidzi, dimana beliau berkata: ”Di bab yang sama ada riwayat dari Ibnu Umar dan Muhammad ibn Al-Fadhl. Berdasar pendapat para ulama dari kalangan sahabat Nabi shalalallahu ‘alaihi wasalam dan lainnya maka inilah yang patut diikuti. Mereka menganggap sunnah menghadapkan wajah kepada khotib di mimbar. Ini pula pendapat yang dianut Sufyan At-Tsauri, al-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Keempat
Dari Yahya bin Sa’id Al-Anshori berkata: ”Adalah sunnah apabila Imam duduk di mimbar di hari jumat,menghadapkan wajah kepadanya”
Kelima
Dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar biasa menyelesaikan tasbihnya sebelum imam datang. Apabila telah keluar, maka sebelum imam duduk, Ibnu Umar menghadapkan wajah ke arahnya.

Hukum Berwudhu’ Dengan Air Panas

Apa hukumnya berwudhu’ dengan menggunakan air panas? Apakah sah berwudu dengan menggunakan air panas atau apakah hukumnya?
Berwudhu’ dengan air panas tidaklah mengapa, namun jika terlalu panas hukumnya makruh kendati wudhu’nya tetap sah. Karena hal itu dapat merusak dan membakar kulit. Sejak dahulu permasalahan apakah air yang dipanaskan dapat mengangkat hadas memang terus diperselisihkan.
Namun yang benar dapat mengangkat hadas, bahkan menjadi kebutuhan utama di daerah-daerah dingin. Namun makruh hukumnya jika air itu dihangatkan dengan menggunakan bahan bakar yang najis. Wallahu A’lam.
(Sumber Rujukan: Al-Lu’lu’ Al-Makin kumpulan fatwa Syaikh Bin Jibriin hal 78)

Ziarah ke Masjid Nabawi

Ziarah atau mengunjungi Masjid Nabawi Asy-Syarif hukum-nya adalah sunnah mustahabah tidak dibatasi waktu dan tidak ada hubungannya dengan haji, dan bukan merupakan penyempurna ibadah haji atau bagian darinya. Apabila ada seseorang yang menunaikan Ibadah haji tetapi tidak memungkinkannya pergi ke Masjid Nabawi maka hajinya sempurna dan tetap sah.
Dalam ziarah ke Masjid Nabawi terdapat beberapa tata cara atau adab yang dilaksanakan, secara ringkas disebutkan sebagai berikut:
  • Hendaknya orang yang akan berziarah, niat untuk bepergian ke Madinah Nabwawiyah untuk ziarah Masjid Nabawi Asy-Syarif serta untuk shalat di dalamnya, sedangkan ziarah kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan lainnya sudah secara langsung masuk di dalamnya.
  • Jika masuk ke masjid hendaknya mendahulukan kaki kanannya dan membaca:
(( بِسْمِ اللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ الله، اللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ ذُنُوْبِيْ وَافْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ ))
“Dengan nama Alloh, semoga shalawat dan salam dilimpah-kan atas Rasululloh. Ya Alloh ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah untukku pintu-pintu rahmaMu.”
  • Mengerjakan shalat tahiyyatul masjid dua rakaat. Yang lebih utama dia mengerjakan shalat itu di Raudhah Asy-Syarifah yang berada di antara mimbar Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kamar beliau.
  • Berdiri sambil menghadap kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sopan dan khusyu’ sambil membaca:
السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا نَبِيَّ اللهِ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا خِيَرَةَ خَلْقِ اللهِ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، أَشْهَدُ أَنَّكَ عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّكَ بَلَّغْتَ الرِّسَالَةَ وَأَدَّيْتَ اْلأَمَانَةَ، وَنصَحْتَ اْلأَمَّةَ، وَجَاهَدْتَ فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ، فَجَزَاكَ اللهُ عَنْ أُمَّتِكَ أَفْضَلَ مَا جَزَى نَبِيًّا عَنْ أُمَّتِهِ
  • Kemudian bergeser ke kanan sedikit mengucapkan salam ke-pada Abu Bakar Ash-Shiddiq dan mendoakan semoga beliau mendapat ridhaNya lalu mengucapkan:
 السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَبَا بَكْرِ الصِّدِيْقِ صَفِيِّ رَسُوْلِ اللهِ وَصَاحِبِهِ فِي الْغَارِ، جَزَاكَ اللهُ عَنْ أُمَّةِ رَسُوْلِ اللهِ خَيْرًا
“Salam sejahtera atasmu ya Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat karib Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang menemani beliau di dalam gua. Semoga Allah membalas atas jasanya kepada umat Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kebaikan.”
  • Kemudian bergeser ke kanan sedikit, dan memberi salam kepada Umar bin Khatthab dan mendoakan semoga beliau mendapat ridhaNya lalu mengucapkan:
(( السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا عُمَرُ الْفَارُوْقُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، جَزَاكَ اللهُ عَنْ أُمَّةِ رَسُوْلُ اللهِ خَيْرًا ))
“Salam sejahtera atasmu ya Umar Al-Faruq, dan semoga Aloah memberikan rahmat dan berkahNya. Semoga Alloh membalas atas jasanya kepada umat Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kebaikan.”
  • Kemudian hendaknya ia meningalkan tempat itu.
  • Apabila ingin berdoa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala hendaknya ia menjauh dari kuburan dan menghadap kiblat lalu berdoa dengan doa-doa yang disukai dan mohon karuniaNya. Dengan demikian telah selesailah ia berziarah.
  • Disunnahkan bagi orang yang berziarah untuk shalat di Masjid Quba’ dan ziarah ke Baqi’ dan syuhada Uhud.
Hanya kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala kita mohon pertolongan. Wallohu a’lam bish showab.

Sholat Jama’ Dan Sholat Qashar

Shalat Jama’ adalah melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu, yakni melakukan shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu dinamakan Jama’ Taqdim, atau melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan Jama’ Takhir. Dan melaksanakan shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di waktu Magrib atau melaksanakannya di waktu Isya’. Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua shalat Fardhu kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijama’ dengan shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.

Sedangkan shalat Qashar maksudnya meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar.
Shalat jama’ dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Alloh, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, (QS: Annisa: 101), Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Alloh  yang disuruh oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menerimanya.” (HR: Muslim).

Shalat Jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang muslim untuk bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Dhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di Madinah. Imam Muslim menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan musafir”.

Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.
Dari sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjama’ shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk menjama’, (Al Albaniy,Irwa’, III/40).

Adapun batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat adalah tidak ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut kebiasaan maka ia boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya. Karena kalau ada ketentuan jarak yang pasti, Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mesti menjelaskannya kepada kita, (AlMuhalla, 21/5).

Seorang musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas menambahkan, Saya shalat Dhuhur bersama Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR: Bukhari Muslim).

Seorang yang menjama’ shalatnya karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini lebih afdhal bagi mereka yang musafir namun bukan dalam perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina. Walaupun demikian boleh-boleh saja dia menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika ia musafir seperti yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Tabuk. Tetapi ketika dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar shalat, karena yang demikian lebih ringan dan seperti yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’. Beliau tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari beliau mengqashar shalatnya (HR: Abu Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar shalatnya (Fiqhussunah I/241).

Bagi orang yang melaksanakan jama’ Taqdim diharuskan untuk melaksanakan langsung shalat kedua setelah selesai dari shalat pertama. Berbeda dengan jama’ ta’khir tidak mesti Muwalah (langsung berturut-turut). Karena waktu shalat kedua dilaksanakan pada waktunya. Seperti orang yang melaksanakan shalat Dhuhur diwaktu Ashar, setelah selesai melakukan shalat Dhuhur boleh saja dia istirahat dulu kemudian dilanjutkan dengan shalat Ashar. Walaupun demikian melakukannya dengan cara berturut –turut lebih afdhal karena itulah yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam.

Dan sunah bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah. Wallahu a’lam bis Shawaab.
(Sumber Rujukan: Fatawa As-Sholat, Asy-Syaikh Al Imam Abdul Aziz bin Baz dan Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wal kitab Al-Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi )

Mengeraskan Suara Dalam Berdo’a?

Sebagian orang ada yang berdoa dengan mengeraskan suara, padahal demikian itu bertentangan dengan sunnah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan seorang yang berdoa hendaknya melembutkan suaranya sebagaimana firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon padaKu” (QS: Al-Baqarah: 186)

Dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS: Al-A’raaf: 55)

Syaikh As-Sa’di berkata bahwa Alloh memerintahkan agar kita berdoa dengan berendah diri dan mengiba yang disertai rasa ketundukan serta dengan suara yang lembut sebagai bukti keikhlasan dalam berdoa. (Tafsir As-Sa’di 3/40).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa sunnah dalam berdoa dan berdzikir adalah dengan suara yang lembut kecuali ada sebab syar’i yang menganjurkan untuk mengeraskannya, berdasarkan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS: Al-A’raaf : 55)

Dan juga firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala tentang doa Zakaria, yang artinya: “Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut” (QS: Maryam : 3) [Majmu Fatawa 22/468-469]

Banyak di antara orang yang melakukan thawaf berdoa dengan mengeraskan suara, hal itu bertentangan dengan sunnah Nabi, sebab jika seandainya Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan doanya pada saat thawaf, niscaya kita akan mendapatkan riwayat tentang itu, tidak ada satu pun hadits yang menerangkan bahwa Rasululloh mengeraskan bacaan doa pada saag thawaf dan sa’i. Berarti yang benar adalah tidak diperbolehkan mengeraskan suara di dalam berdoa pada waktu thawaf dan sa’i.

(Sumber Rujukan: Jahalatun Nas Fid Du’a, Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih)

Ragu Dalam Sholat

Tidak jarang disaat kita melaksanakan sholat, baik dalam keadaan sholat, maupun sudah selesai salam, timbul rasa keraguan dalam hati kita. Keraguan tersebut bisa berupa lupa jumlah raka`at yang telah dikerjakan (tertambah ataupun terkurangi), lupa tasyahhud awal, ragu saat sholat sedang berada di raka`at keberapa dan lain sebagainya. Apabila hal ini terjadi pada kita, jangan risau maupun bingung apalagi mengada-adakan sesuatu ataupun mengarang-ngarangnya. Sebab telah ada sunnah yang telah dicontohkan Rasululloh Shalallahu alaihi wasallam kepada kita tentang hal ini. Mau tahu…? Silahkan simak penjelasannya di bawah ini…
Kasus 1
Apabila seseorang lupa dalam sholatnya, sehingga tertambah 1 kali ruku` atau 1 kali sujud atau 1 kali berdiri atau 1 kali duduk, maka orang tersebut harus meneruskan sholatnya sampai salam, untuk selanjutnya melaksanakan sujud sahwi (dua kali sujud), lalu salam kembali.
Contohnya:
Apabila seseorang melaksanakan sholat Dzuhur, kemudian dia berdiri untuk raka`at ke lima (ke-5), tiba-tiba ia ingat ataupun diingatkan orang lain, maka ia harus duduk kembali TANPA TAKBIR, lalu membaca tasyahhud akhir dan salam, kemudian ia sujud sahwi (dua kali sujud) lalu salam kembali.  Apabila orang tersebut mengetahuinya (tambahan tadi) setelah selesai sholat, maka ia tetap harus sujud sahwi dan salam kembali.
Kasus 2
Apabila seseorang salam sebelum sempurna sholatnya karena lupa, namun tidak lama berselang setelah salam tersebut tiba-tiba ia ingat ataupun diingatkan orang lain dengan catatan lama waktu ia teringat atau diingatkan tersebut kira-kira sama dengan lamanya dia sholat (mulai sholat sampai salam) maka ia harus menyempurnakan sholatnya yang tertinggal tadi kemudian salam dan setelah itu sujud sahwi (dua kali sujud) dan salam kembali.
Contohnya:
Apabila seseorang sholat Dzuhur, kemudian ia lupa dan langsung salam pada raka`at ke 3 (tiga), tiba-tiba ia ingat ataupun diingatkan orang lain, maka dia harus menyempurnakan raka`at ke 4 (empat) dan salam, lalu sujud sahwi (dua kali sujud) untuk seterusnya salam.
Jika orang tersebut sadar akan kekurangan raka`atnya tersebut DALAM JANGKA WAKTU YANG LAMA, maka ia harus mengulang sholatnya dari awal.
Kasus 3
Apabila seseorang meninggalkaan tasyahhud awal atau kewajiban lainnya dalam sholat KARENA LUPA, maka ia harus sujud sahwi (dua kali sujud) sebelum salam. Dan hal ini menjadi tidak mengapa baginya. Namun jika ia ingat bahwa ia belum membaca tasyahhud awal tersebut atau kewajiban lainnya itu sebelum berobah posisi-nya, maka hendaklah ia tunaikan (tasyahhud awal atau kewajiban lainnya tersebut). Dan hal demikian menjadi tidak mengapa baginya.
Jika ia ingat setelah perubahan posisi tetapi sebelum sampai pada posisi yang berikutnya, hendaklah ia kembali ke posisi yang pertama untuk menunaikan tasyahhud awal atau kewajiban lainnya tersebut.
Contohnya:
Apabila seseorang lupa tasyahhud awal dan ia langsung berdiri ke raka`at ke 3 (tiga) dengan sempurna maka ia tidak boleh kembali duduk dan wajib atasnya sujud sahwi sebelum salam. Apabila ia duduk tasyahhud tetapi lupa membaca tasyahhud, kemudian ingat sebelum berdiri, maka ia harus membaaca tasyahhud dan kemudian menyempurnakan sholatnya, TANPA SUJUD SAHWI. Demikian juga bila ia berdiri seblum tasyahhud kemudian ingat sebelum berdirinya sempurna, maka ia harus kembali duduk dan bertasyahhud untuk kemudian menyempurnakan sholatnya.
Catatan:
Tetapi para `Ulama menyatakan bahwa ia harus tetap sujud sahwi dikarenakan ia telah menambah satu gerakan yakni bangkit ketika hendak berdiri ke raka`at ke 3. Wallahu a`lam
Kasus 4
Apabila seseorang ragu dalam sholatnya apakah telah 2 raka`at atau sudah 3 raka`at dan ia TIDAK MAMPU menentukan yang paling rojih (kuat) diantara keduanya maka ia harus membangun di atas yaqin JUMLAH YANG TERKECIL kemudian sujud sahwi sebelum salam dan setelah itu ia memberi salam.
Contohnya:
Apabila ia sholat Dzuhur dan ragu pada raka`at ke 2 (dua), apakah ini masih berada di raka`at ke 2 (dua) atau sudah ke 3 (tiga) dan ia tidak mampu menentukan yang paling rojih (benar) diantara keduanya maka ia harus memilih yang 2 (dua) raka`at (jumlah terkecil). Kemudian ia sempurnakan sisanya lalu sujud sahwi (dua kali sujud) sebelum salam kemudian setelah itu memberi salam.
Kasus 5
Apabila seseorang ragu dalam sholatnya, apakah telah 2 (dua) raka`at atau sudah 3 (tiga) raka`at, namun walaupun demikian, ternyata ia MAMPU untuk menentukan yang paling rojih (benar), maka ia harus membangun diatas yang diyakininya itu (apakah yang 2 raka`at ataupun yang 3 raka`at) kemudian ia sempurnakan hingga salam lalu ia sujud sahwi kemudian salam kembali.
Contohnya:
Apabila seseorang sholat Dzuhur, kemudian ia ragu pada raka`at ke 2; apakah ia masih dalam raka`at ke 2 atau sudah masuk raka`at ke 3. Namun kemudian timbul keyakinan yang kuat dalam hatinya bahwa ia berada pada raka`at ke 3 maka ia harus membangun sholatnya di atas keyakinannya itu (raka`at ke 3) lalu ia sempurnakan sholatnya hingga salam, kemudian ia sujud sahwi untuk selanjutnya salam kembali.
Apabila keraguan datang kembali setelah ia selesai dari sholatnya, maka itu tidak dianggap atau ia tidak perlu memperdulikannya kecuali ia yakin sekali. Apabila ia sering ragu, maka keraguannya itu tidak dianggap atau ia tidak perlu memperdulikannya, karena itu hanyalah merupakan rasa was-was (dari syaiton).
Wallahu A’lam.
(Sumber Rujukan: RASAAI’IL FII AL-WUDHU’ WAL GHUSLI WA ASH-SHOLAH, Asy-Syaikh Muhammad Ibnu Sholih Al-’Utsaimin Rahimahullahu Ta`ala)

Tidak Cebok Setelah Buang Air Kecil

Saat ini, banyak umat Islam yang menyerupai orang-orang kafir dalam masalah kencing. Beberapa kamar kecil hanya dilengkapi dengan bejana air kencing permanen yang menempel di tembok dalam ruangan terbuka. Setiap yang kencing, dengan tanpa malu berdiri dengan disaksikan orang yang lalu lalang keluar kamar mandi. Selesai kencing ia mengangkat pakaiannya dan mengenakannya dalam keadaan najis.
 
Orang tersebut telah melakukan dua perkara yang diharamkan, pertama ia tidak menjaga auratnya dari penglihatan manusia dan kedua, ia tidak cebok dan membersihkan diri dari kencingnya.
Islam datang dengan membawa peraturan yang semuanya demi kemaslahatan umat manusia. Diantaranya soal menghilangkan najis, Islam mensyari’atkan agar umatnya melakukan istinja’ (cebok dengan air) dan istijmar (membersihkan kotoran dengan batu), lalu menerangkan cara melakukannya sehingga tercapai kebersihan yang dimaksud.

Sebagian orang menganggap enteng masalah menghilangkan najis. Akibatnya badan dan bajunya masih kotor. Dengan begitu, shalatnya menjadi tidak sah. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa perbuatan tersebut salah satu sebab dari azab kubur.

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Suatu kali Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati salah satu kebun di Madinah. Tiba-tiba beliau mendengar suara dua orang yang sedang di siksa di alam kuburnya. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Keduanya diazab, tetapi tidak karena masalah besar (dalam anggapan keduanya) lalu bersabda – benar (dlm riwayat lain: Sesungguhnya ia masalah besar) salah satunya tidak meletakkan sesuatu untuk melindungi diri dari percikan kencingnya dan yang satu lagi suka mengadu domba”. (HR: Bukhari, lihat Fathul Baari :1/317)

Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, yang artinya: “Kebanyakan azab kubur disebabkan oleh buang air kecil”. (HR: Ahmad, Shahihul Jami’ No. 1213)
Termasuk tidak cebok setelah buang air kecil adalah orang yang menyudahi hajatnya dengan tergesa-gesa sebelum kencingnya habis, atau sengaja kencing dengan posisi tertentu atau di suatu tempat yang menjadikan percikan air kencing itu mengenainya, atau sengaja meninggalkan istinja’ dan istijmar tidak teliti dalam melakukannya.

(Sumber Rujukan: Dosa-dosa Yang Dianggap Biasa oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid)

Hukum Membaca Al-Qur’an secara Bersama-sama

Alloh Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kitab-Nya yang mulia sebagai petunjuk bagi manusia, obat bagi kaum mukminin, membimbing kepada yang lebih lurus, menjelaskan jalan petunjuk. Namun demikian, saat ini banyak menusia yang meninggalkan kitab yang agung ini, tidak mengenalnya kecuali hanya pada saat tertentu saja, seperti: di antara mereka ada yang hanya membacanya pada saat bulan Ramadhanataupun yang hanya mengenalnya saat ada kematian, dan sejenisnya.
Kemudian telah berkembang pula perbuatan-perbuatan yang tidak ada tuntunannya dalam Syariat Islam ketika membaca Al-Qur’an, di antaranya: membaca bersama-sama denga satu suara dalam masjid atau di rumah, menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an di atas kertas kemudian dimasukan ke dalam air untuk diminum, membaca Al-Qur’an di atas kuburan dll.

Pada dasarnya membaca Al-Qur’an haruslah dengan tatacara sebagaimana Rasulullah ShallAllohu ‘alaihi wa sallam mencontohkannya bersama para shahabat beliau ShallAllohu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada satupun riwayat dari beliau dan para sahabatnya bahwa mereka membacanya dengan cara bersama-sama dengan satu suara. Akan tetapi mereka membacanya sendiri-sendiri atau salah seorang membaca dan orang lain yang hadir mendengarkannya.

Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunnah para Al-Khulafa’ur Rasyidun setelahku” [1]

Sabda beliau lainnya, yang artinya: “Barangsiapa mengada-adakan dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak berasal darinya, maka dia itu tertolak” [2]

Dalam riwayat lain disebutkan, yang artinya: “Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan tersebut tertolak” [3]

Diriwayatkan pula dari Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada Abdullah bin Mas’ud RadhiyAllohu ‘anhu untuk membacakan kepadanya Al-Qur’an. Ia berkata kepada beliau. “Wahai Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam, apakah aku akan membacakan Al-Qur’an di hadapanmu sedangkan Al-Qur’an ini diturunkan kepadamu?” Beliau ShallAllohu ‘alaihi wa sallam menjawab, yang artinya: “Saya senang mendengarkannya dari orang lain” [4]

BERKUMPUL DI MASJID ATAU DI RUMAH UNTUK MEMBACA AL-QUR’AN BERSAMA-SAMA.

Jika yang dimaksud adalah bahwasanya mereka membacanya dengan satu suara dengan ‘waqaf’ dan berhenti yang sama, maka ini tidak disyariatkan. Paling tidak hukumnya makruh, karena tidak ada riwayat dari Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam maupun para shahabat beliau ShallAllohu ‘alaihi wa sallam. Namun apabila bertujuan untuk kegiatan belajar dan mengajar, maka  kita berharap hal tersebut tidak apa-apa.

Adapun apabila yang dimaksudkan adalah mereka berkumpul untuk membaca Al-Qur’an dengan tujuan untuk menghafalnya, atau mempelajarinya, dan salah seorang membaca dan yang lainnya mendengarkannya, atau mereka masing-masing membaca sendiri-sendiri dengan tidak menyamai suara orang lain, maka ini disyari’atkan, berdasarkan riwayat dari Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda, yang artinya: “Apabila suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Alloh (masjid) sambil membaca Al-Qur’an dan saling bertadarus bersama-sama, niscaya akan turun ketenangan atas mereka, rahmat Alloh akan meliputi mereka, para malaikat akan melindungi mereka dan Alloh menyebut mereka kepada makhluk-makhluk yang ada di sisi-Nya” [5]

MEMBAGI BACAAN AL-QUR’AN UNTUK ORANG-ORANG YANG HADIR

Membagi juz-juz Al-Qur’an untuk orang-orang yang hadir dalam perkumpulan, agar masing-masing membacanya sendiri-sendiri satu hizb atau beberapa hizb dari Al-Qur’an, tidaklah dianggap secara otomatis sebagai mengkhatamkan Al-Qur’an bagi masing-masing yang membacanya. Adapun tujuan mereka dalam membaca Al-Qur’an untuk mendapatkan berkahnya saja, tidaklah cukup. Sebab Al-Qur’an itu dibaca hendaknya dengan tujuan ibadah mendekatkan diri kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan untuk menghafalnya, memikirkan dan mempelajari hukum-hukumnya, mengambil pelajaran darinya, untuk mendapatkan pahala dari membacanya, melatih lisan dalam membacanya dan berbagai macam faedah-faedah lainnya.[6]

Catatan Kaki:
[1] Diriwayatkan oleh Abu Daud no 407 dalam kitab Sunnah, bab Fii Luzuumis Sunnah ; Ibnu Majah no 42 dalam Al-Muqaddimah, bab Ittiba’ul Khulafa’ir Rasyidinal Mahdiyyin, dari hadits Al-Irbadh RadhiyAllohu anhu. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2676 dalam Al-Ilmu bab ‘Maa Jaa’al Fil Akhdzi bis Sunnati Wajtinabil Bida’, ia mengatakan: ‘Hadits ini hasan shahih. Al-Arna’uth berkata: ‘Sanadnya hasan. Lihat Syarhus Sunnah, 1/205 hadits no.102.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no, 2697 dalam Al-Shulh bab ‘Idza Isththalahu ‘ala Shulhin Juur Fash Shulh Mardud’ dan Muslim no 1718 dalam kitab Al-Uqdhiyah bab ‘Naqdhul Ahkamil Bathilan wa Raddu Muhdatsatil Umur’ dari hadits Aisyah RadhiyAllohu ‘anha.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1718 jilid 18, dalam kitab Al-Uqdhiyah bab Maqdhul Ahkamil Bathilan wa Raddu Muhdatsatil Umu’ dari hadits Aisyah RadhiyAllohu ‘anha.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5050, dalam Fadhailul Qur’an, bab ‘Barangsiapa mendengarkan Al-Qur’an dari orang selainnya’ dari hadits Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, ‘Rasululloh berkata kepada saya, bacakan Al-Qur’an untukku. Saya berkata, Wahai Rasululloh, apakah saya akan membacakannya sedangkan Al-Qur’an ini diturunkan kepadamu? Beliau menjawab, ‘Ya’ Maka sayapun membacakan surat An-Nisa hingga pada ayat, yang artinya: “Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)”. (QS: An-Nisa: 41). Beliau berkata, “Cukup”. Saya menoleh kepada beliau, ternyata kedua matanya sedang berlinang air mata.” [Lihat Fatwa Lajnah Da'imah no. 4394]
[5] Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim no. 2699 dalam kitab Dzikir dan Do’a, bab ‘Fadhlul Ijtima ‘Ala Tilawatil Qur’an wa ‘Aladz Dzikir dari hadits Abu Hurairah RadhiyAllohu ‘anhu.[Lihat juga Fatawa Lajnah Da'imah no. 3302]
[6] Lihat Fatwa Lajnah Da’imah no. 3861

(Sumber Rujukan: Penyimpangan Terhadap Al-Qur’an; Fatwa Lajnah Da’imah)

Keutamaan Berdo’a Pada Hari Jum’at

Hari Jum’at adalah hari yang paling utama dalam sepekan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mengkhususkan untuk kaum muslimin yang belum pernah diberikan kepada ummat-ummat sebelumnya sebagai karunia dan pemuliaan terhadap ummat ini. Pada hari tersebut terdapat ibadah-ibadah yang khusus (yang paling agung adalah Shalat Jum’at). Di bawah ini akan disampaikan dalil-dalil yang menyebutkan keutamaannya dan sunnah-sunnah serta kewajiban yang diperintahkan dalam rangka memuliakan hari Jum’at.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasululloh shalAllohu ‘alaihi wa sallam mengatakan, yang artinya: “Sebaik-baik hari yang terbit padanya matahari adalah hari Jum’at. Pada hari itu diciptakan Adam ‘alaihissalam, dimasukkan dan dikeluarkan dari surga pada hari itu dan kiamat akan terjadi pada hari Jum’at pula.” (HR: Muslim, Abu Dawud, Annasa’i, Tirmidzi dan dishahihkannya. Lihat Fiqhussunnah oleh Sayyid Sabiq bab Jum’ah).

Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa ibadah khusus yang mulia pada hari Jum’at adalah shalat Jum’at. Barangsiapa yang meninggalkannya tanpa ada alasan syar’i akan mendapatkan dosa besar adan akan diadzab dengan adzab yang pedih. Rasululloh shalAllohu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang suatu kaum yang meninggalkan shalat Jum’at, yang artinya: “Sungguh aku berkeinginan untuk memerintahakan seorang laki-laki shalat bersama dengan manusia kemudian aku membakar rumah-rumah mereka yang tidak melakukan shalat Jum’at.” (HR: Muslim, Ad Darimi dan Al Baihaqi).

Dalam suatu riwayat yang bersumber dari Muhammad bin Abdurrahman bin Zahrah, aku mendengar pamanku berkata, Rasululloh shalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Barangsiapa mendengan panggilan adzan pada hari Jum’at dan tidak mendatanginya, kemudian mendengar dan tidak mendatanginya, kemudian mendengar dan tidak mendatanginya, kemudian mendengar dan tidak mendatanginya, maka Alloh akan menutup hatinya dan menjadikan hatinya seperti hati orang munafik.” (HR: Al Baihaqi, Abu Ya’la, dishahihkan oleh Ibnu Hajar dan Ibnu Mundzir, hadits ini dihasankan oleh Masyhur Hasan Salman dalam Al Qulul Mubin fii Akhtha’il Mushollin).

Berikut ini beberapa hal yang disunnahkan berkenaan dengan keutamaan hari Jum’at:
  1. Disunnnahkan berdo’a karena berdo’a pada hari itu akan dikabulkan terutama pada waktu / saat mustajab (mudahj terkabul do’a). Hal ini terdapat hadits bersumber dari Jabir bin Abdillah. Dari Jabir bin Abdillah dari Rasululloh shalAllohu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata, yang artinya: “Pada hari Jum’at ada dua belas waktu. Tidak ditemukan seorang muslim yang sedang memohon sesuatu kepada Alloh ‘Azza wa jalla kecuali pasti Dia memberinya. Maka carilah waktu itu, yaitu akhir waktu setelah ‘Ashr.” (HR: Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, hadits 926 hal. 196)
    Do’a yang paling disukai oleh Rasululloh shallAllohu alaihi wasallam adalah meminta kebaikan di dunia dan akhirat dan meminta perlindungan dari neraka. Dalam suatu hadits disebutkan, yang artinya: “Barangsiapa yang meminta dimasukkan ke dalam surga, maka surga mengatakan: “Ya, Alloh, masukkan dia ke dalam surga”. Dan barangsiapa yang meminta perlindungan dari api neraka kepada Alloh subhanahu wata’ala, maka neraka akan berkata: “Ya Alloh, lindungilah dia dari neraka.” (HR: Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 6151/, lihat Shifatun Naar fil Kitab was Sunnah oleh Mahmud bin Khalifah Al Jasim).
  2. Disunnahkan memperbanyak bacaan shalawat Nabi. Aus bin Aus radliyAllohu ‘anhu berkata bahwa Rasululloh shallAllohu alaihi wasallam pernah bersabda, yang artinya: “Seutama-utama hari adalah hari Jum’at. Padanya diciptakan dan dimatikannya Adam ‘alaihissalam, ditiup sangkakala dan dibinasakannya manusia. Oleh karena itu perbanyaklah shalawat atasku pada hari itu karena shalawatmu akan sampai kepadaku.” Para sahabat bertanya: ”Bagaimana bisa sampai kepadamu sedangkan jasadmu telah dimakan tanah?” Rasululloh berkata: ”Alloh subhanahu wa ta’ala mengharamkan tanah untuk memakan jasad para Nabi.” (HR: Abu Dawud, Shahih, Lihat Shahih Sunan Abu Dawud hal. 196 hadits no. 925 oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani)
  3. Disunnahkan membaca Surat Al Kahfi pada siang atau malam harinya (Lihat Al Adzkar oleh Imam AnNawawi). Seorang muslim yang menghafal sepuluh atau tiga ayat pertama dari surat Al Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal. Juga barangsiapa yang membaca sepuluh ayat terakhir dan sepuluh ayat dari Surat Al Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal. Dalilnya adalah hadits dari Abu Darda’ radliyAllohu ‘anhu dari Nabi shallAllohu alaihi wasallam berkata, yang artinya: “Barangsiapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari Surat Al Kahfi terjaga dari fitnah Dajjal.” (HR: Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Tirmidzi). Pada lafadz Tirmidzi, yang artinya: “Barangsiapa menghafal tiga surat Al Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal .”  Dia berkata: “Hadits Hasan”.
    Pada hadits yang diriwayatkan dari Imam Ahmad dari Abu Darda’ radliyAllohu ‘anhu bahwa Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam berkata: “Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Al-Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal”. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim dari Nasa’i dari Qatadah radliyAllohu ‘anhu. Dan pada lafadz Nasa’i menyatakan, yang artinya: “Barangsiapa membaca sepuluh ayat (mana saja) dari surat Al Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal.”
    Pada hadits yang marfu’ (sanadnya bersambung sampai Rasululloh, ed.) dari Ali bin Abi Thalib, yang artinya: “Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at maka ia akan dijaga dari setiap fitnah sampai delapan hari walaupun Dajjal keluar ia akan tetap terjaga dari fitnahnya”. (Lihat tafsir Ibnu Katsir Surat Al Kahfi).
    Disunnahkan pula membaca surat Alif Laam Miim tanziil – assajdah dan Hal ata ‘alal insan pada shalat fajar (shubuh). Abu Hurairah radhiAllohu ‘anhu mengatakan, yang artinya: Rasululloh shallAllohu alaihi wasallam membaca surat Alif Laam Miim tanziil assajdah dan Hal ata ‘alal insan pada shalat subuh hari Jum’at. (Muttafaq ‘alaih)
    Menurut Thabrani dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi terus-menerus membaca kedua surat tersebut. Menurut riwayat dari Ibnu Abbas dan Abi Hurairah radliyAllohu’anhum berkata bahwa Rasululloh shalAllohu ‘alaihi wa sallam membaca Surat Al Jum’ah dan Munafiqun pada hari Jum’at. (HR: Muslim).
    Demikian pula Nabi membaca surat Sabbihisma dan Al Ghasyiah pada shalat Jum’at. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surat Al-A’la dan Al Ghasyiah). Allohu Ta’ala A’lam.
(Sumber Rujukan: Al Adzkar, Imam Nawawi tahqiq Abdul Qadir Al Arnauth; Fiqhussunnah, Sayyid Sabiq; Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqalani; Tamaamul Minnah, Muhammad Nashiruddin Al Albani;  Ikhtishar Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi; Tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Katsir; Taisiirul ‘Alllaam Syarhu ‘Umdatul Ahkam, Abdullah bin Abdirrahman bin Shalih Al Bassam; Subulussalam, Imam Ash-Shan’ani; Bulughul Maraam min Adillatil Ahkam, Ibnu Hajar Al Asqalani; Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah; Al Qaulul Mubin fii Akhtha’il Mushallin, Masyhur Hasan Salman; Shifatun Naar fil Kitab was Sunnah, Mahmud bin Khalifah Al Jasim; Shahih Sunan Abi Dawud, Muhammad Nashiruddin Al Albani)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes