Sholat tak harus di awal waktu
Beliau tidak
menjawab dengan “shalat di awal waktu”, karena shalat ada yang sunahnya
disegerakan dan ada pula yang diakhirkan. Shalat
Isya, misalnya, pelaksanaannya disunahkan untuk diakhirkan
sampai 1/3 malam. Bila para wanita di rumah
bertanya mana yang lebih utama, apakah
shalat Isya setelah adzan atau mengakhirkannya
sampai 1/3 malam? Jawabnya lebih utama
mengakhirkannya sampai 1/3 malam.
*****
Sudah sewajarnya
seorang muslim ingin mendapat sesuatu yang
paling utama, termasuk dalam masalah shalat. Di samping
memenuhi syarat, rukun, wajib, dan sunah
shalat, perlu diperhatikan kapan waktu utama
untuk melaksanakan shalat.
Waktu Shalat yang Utama
Ada rentang waktu
tertentu untuk bisa melakukan shalat tertentu. Di
antara waktu tersebut ada waktu yang paling utama untuk
melakukan shalat. Bagaimana menemukan waktu
shalat yang paling utama? Berikut jawaban dari Syaikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin, dalam kumpulan fatwanya.
“Paling sempurna
adalah bila shalat dikerjakan sesuai dengan waktu yang
dituntut syariat. Nabi pernah menjawab pertanyaan salah seorang sahabat tentang
amal yang paling dicintai Allah, “Shalat pada waktunya.”
(Al-Bukhari no. 504 dan Muslim no. 85 dari Abdullah bin
Mas‘ud)
Beliau tidak
menjawab dengan “shalat di awal waktu”, karena shalat ada yang sunahnya
disegerakan dan ada pula yang diakhirkan. Shalat
Isya, misalnya, pelaksanaannya disunahkan untuk diakhirkan
sampai 1/3 malam. Bila para wanita di rumah
bertanya mana yang lebih utama, apakah
shalat Isya setelah adzan atau mengakhirkannya
sampai 1/3 malam? Jawabnya lebih utama
mengakhirkannya sampai 1/3 malam.
Nabi pada suatu malam terlambat
mendatangi jamaah Isya, para sahabat berkata, “Wahai
Rasulullah anak-anak dan para wanita telah
tidur.” Rasulullah kemudian keluar rumah untuk
shalat Isya bersama mereka, beliau berkata,
“Sebenarnya sekaranglah
waktu Isya, seandainya aku tidak khawatir memberatkan umatku.”
(Riwayat
Muslim no. 638 dari Aisyah)
Jadi, bagi wanita yang shalat di
rumahnya lebih utama untuk mengakhirkan shalat Isya. Demikian pula
halnya, jika laki-laki tengah dalam perjalanan.
Lebih baik melaksanakan shalat Isya di
awal waktu atau mengakhirkannya? Lebih baik
mengakhirkan, kecuali jika malah memberatkan.
Untuk jenis
shalat selain Isya’ lebih utama menyegerakannya,
kecuali ada sebab tertentu. Udara panas
yang menyengat, misalnya. Shalat Zhuhur
yang mulanya dilaksanakan di awal siang pun
diakhirkan menunggu cuaca teduh hingga mungkin
mendekati waktu Ashr. Sebagaimana sabda Nabi ,
“Jika cuaca panas menyengat, maka
shalatlah ketika teduh, karena panas yang menyengat itu merupakan uap
neraka Jahannam.” (Riwayat al-Bukhari no.
510 dan Muslim no.615 dari Abu Hurairah)
Riwayat lain
menceritakan bahwa ketika Nabi dalam perjalanan, Bilal
bergegas ingin mengumandangkan adzan (saat sudah masuk
Zhuhur). Nabi (mencegahnya dan) berkata, “Tunggu sampai
teduh!” (Beberapa saat) kemudian Bilal berdiri lagi hendak
mengumandangkan adzan. Nabi (kembali mencegahnya
seraya) berkata, “Tunggulah sampai teduh.” (Beberapa
saat) kemudian Bilal berdiri lagi hendak mengumandangkan adzan,
Rasulullah pun mengizinkannya. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah)
Juga termasuk
alasan untuk mengakhirkan shalat adalah bila
menyegerakannya justru shalat secara berjamaah
tidak dapat dilaksanakan. Mengakhirkan shalat dalam kondisi
demikian justru lebih utama. Misalnya seseorang yang
memasuki waktu shalat saat dalam perjalanan.
Bila dia mengakhirkan shalatnya akan bisa
ikut berjamaah saat tiba di tempatnya. Apakah sebaiknya
dia shalat sendiri ketika waktu shalat telah tiba
atau mengakhirkannya agar bisa shalat berjamaah? Tentu lebih
utama baginya untuk mengakhirkannya agar bisa shalat
berjamaah. Bahkan bisa jadi wajib mengakhirkannya karena (tuntutan syariat)
yang menekankan untuk shalat berjamaah.”
[Majmu
Fatawa Wa Rasail Fadhilah asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin XII/212-214]
Shalat Sebelum
Waktunya
Kasus lain
kadang, bahkan sering, terjadi orang mengerjakan
shalat sebelum waktunya. Karena menentukan waktu
adzan dengan jadwal yang disusun berdasarkan
rumus prediksi waktu, sering orang melakukan
shalat sebelum waktunya. Melakukan shalat Zhuhur
sebelum tergelincirnya (zawal) matahari, misalnya,
atau shalat Shubuh sebelum fajar shadiq tiba.
Bagaimana status
shalat yang dilakukan sebelum waktunya? Dari
kitab yang sama akan diperoleh jawabannya.
“Shalat yang dilakukan sebelum
masuk waktunya belum bisa menggugurkan faridhah (kewajiban).
Allah berfirman, “Sesungguhnya shalat itu adalah
kewajiban yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman.” (An-Nisa:103)
Nabi pun telah
menjelaskan waktu-waktu tersebut seperti dalam sabdanya, “Waktu zhuhur jika
tergelincir matahari,…dst.”
Jadi orang yang melaksanakan
shalat sebelum waktunya tidak menggugurkan
kewajibannya melaksanakan faridhah (ibadah wajib). Adapun shalat yang
telah dikerjakan (di luar waktu tersebut) akan
dihitung sebagai nafilah (ibadah tambahan).
Pelakunya akan mendapatkan pahala karena telah
mengerjakannya, tetapi tetap berkewajiban
mengulangi shalat tersebut setelah masuk
waktunya.”
[Majmu
Fatawa Wa Rasail Fadhilah asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin XII/215]
Waktu Shalat saat Belajar
Bagi yang pernah
kuliah tentu pernah merasakannya. Mulai kuliah jam 11.00, satu jam
kemudian masuk waktu Zhuhur, padahal kuliah baru
kelar jam 14.00. Tidak harus kuliah, yang
sekolah pun tentu pernah mengalami. Bagaimana menyikapi
kondisi demikian? Bolos, protes ke dosen, mengakhirkan
shalat, atau bagaimana?
Syaikh Utsaimin
masih memberikan jawabannya, berikut.
“Waktu dua jam
belum mengeluarkannya dari waktu
shalat Zhuhur, karena waktu shalat
Zhuhur dimulai saat tergelincirnya matahari sampai masuk
waktu Ashr, ada lebih dari dua jam. Sehingga
masih sangat mungkin baginya melaksanakan shalat Zhuhur
seusai jam pelajaran. Hal ini jika tidak
memungkinkan untuk melakukan shalat pada jam pelajaran tersebut.
Jika memungkinkan, maka itu lebih terjaga. Kalaupun jam
pelajaran belum usai hingga masuk waktu Ashr,
sementara keluar di tengah pelajaran akan
menimbulkan problem yang menyulitkan, maka boleh
menjamak shalat Zhuhur dengan Ashr, shalat
Zhuhur diakhirkan pada waktu Ashr. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan
Ibnu Abbas , “Nabi ketika di Madinah menjamak
shalat Zhuhur dengan Ashr, Maghrib dengan Isya
tanpa ada (sebab) yang dikhawatirkan maupun hujan.”
Ketika Ibnu Abbas ditanya mengapa demikian,
beliau menjawab, “Nabi tidak ingin memberatkan
umatnya.”(Riwayat Muslim)
Perkataan Ibnu Abbas
ini menunjukkan bolehnya menjamak dua shalat pada
salah satu waktu jika ada kesulitan atau sesuatu yang memberatkan.
Yang demikian termasuk kemudahan beragama
yang Allah berikan kepada umat ini,
berdasarkan firman-Nya, “Allah menghendaki kemudahan
bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”
(Al-Baqarah:185)
dan firman-Nya, “Allah
tidak hendak menyulitkan kamu” (Al-Maidah:6)
juga firman-Nya, “Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj:78)
Rasulullah pun menegaskan,
“Sesungguhnya agama itu mudah.” (Riwayat al-Bukhari no. 39)
Masih banyak dalil
lain yang menunjukkan kemudahan syariat ini.
Hanya saja, kaidah agung ini tidak boleh
kemudian (digunakan untuk) mengikuti hawa nafsu
dan kepuasan, (harus tetap dalam koridor) untuk
mengikuti syariat. Tidak semua yang dikira manusia mudah dan
gampang merupakan bagian dari syariat. Karena
mereka yang ‘suka menggampangkan’ dan tidak
peduli dengan agamanya acapkali menganggap susah
sesuatu yang mudah. Mereka pun menuntut agar syariat
disesuaikan atau dicocokan dengan hawa nafsunya
dengan menggunakan kaidah tadi. Hal ini tentu merupakan
pemahaman yang salah. Agama itu mudah seluruh
syariatnya, bukan mudah menurut hawa nafsunya. Seandainya
kebenaran mengikuti hawa nafsu niscaya kerusakanlah yang akan
terjadi di langit, di bumi, dan apa
yang ada di antara keduanya.
[Majmu
Fatawa Wa Rasail Fadhilah asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin XII/216-217]
0 komentar:
Posting Komentar