Dalam sejumlah hadits disebutkan bahwa seorang wanita
dilarang melakukan perjalanan keluar rumah kecuali dengan ditemani suami atau
mahramnya. Satu hal yang perlu diketahui adalah bahwasanya Nabi juga pernah
menyatakan bahwa pada suatu saat, ketika Islam sedang jaya, seorang wanita
bahkan dengan rasa aman bisa melakukan perjalanan menuju kota Shan’a – yang
saat itu dikenal tidak aman – secara sendirian.
Apabila kita mengkompromikan dua hadits tersebut maka
kita menemukan bahwa esensi diperbolehkannya seorang wanita keluar rumah
sendirian adalah aman. Apabila aman (sekali lagi, dengan dugaan kuat atau
bahkan yakin), maka perjalanan sendirian tersebut diperbolehkan. Namun apabila
tidak aman, maka tidak boleh, kecuali dengan ditemani suami atau mahramnya,
dengan harapan terjaga keamanannya. Mengapa mahram? Jawabnya adalah agar tidak
terjadi khalwah. Apabila yang menemani bukanlah mahramnya (dan bukan
pula suaminya), namun tidak terjadi khalwah sebagaimana yang dijelaskan
pada bagian Khalwah diatas, maka – penulis berharap, la’alla –
hal itu diperbolehkan.
Secara lebih terperinci, marilah
kita perhatikan hadits-hadits yang terkait dengan masalah ini, kemudian kita
lakukan pembahasan secara lebih tajam.
- Dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar, Rasulullah bersabda,”Janganlah seorang wanita melakukan perjalanan selama tiga hari kecuali bersama (wa ma’aha) dzu mahram”.(Shahih Bukhari nomor 1086, 1087. Shahih Muslim nomor 3258, 3263, 3269)
- Dari Abu Bakr: Idem, hanya saja disebutkan “diatas tiga hari (fauqa tsalats). (Shahih Muslim 3259)
- Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,”Tidaklah halal bagi seorang wanita melakukan perjalanan tiga hari atau lebih, kecuali bersama ayahnya, atau anak laki-lakinya (ibnuha), atau suaminya, atau saudara laki-lakinya (akhuha), atau dzu mahram-nya”. (Shahih Muslim nomor 3270. Sunan Abu Dawud nomor 1726))
- Dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda,”Tidaklah halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk melakukan perjalanan sehari semalam tanpa ditemani hurmat (laisa ma’aha hurmat)” (Shahih Bukhari nomor 1088. Shahih Muslim nomor 3268. Sunan Abu Dawud nomor1724)
- Dari Abu Sai’id, dari Abu Hurairah, idem, hanya saja ditambahkan “di saat yang dingin (bariid[an]). (Sunan Abu Dawud nomor 1725)
- Dari Abu Hurairah, idem, hanya saja menyebutkan “perjalanan satu hari (masirat[a] yaum). (Shahih Muslim nomor 3267)
- Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda,”Tidaklah halal bagi wanita muslimah melakukan perjalanan satu malam (masirat[a] lailat), kecuali ditemani (wa ma’aha) seorang laki-laki (rajul) dzu hurmat-nya”. (Shahih Muslim nomor 3266. Sunan Abu Dawud nomor 1723)
- Dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar, Nabi berkata,”Tidaklah halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, melakukan perjalanan dua malam (masirat[a] layal), kecuali ditemani (wa ma’aha) dzu mahram”. (Shahih Muslim nomor 3260)
- Dari Ibn ‘Abbas, Nabi saw bersabda,”Janganlah seorang wanita melakukan perjalanan kecuali bersama dengan dzu mahram ....”. (Shahih Bukhari nomor 1862)
- Dari Ibrahim, dari ayahnya, dari kakeknya: Umar ra telah mengijinkan para isteri Nabi di akhir musim haji untuk berhaji. Maka Umar pun mengutus Utsman ibn ‘Affan dan Abdurrahman untuk menemani mereka”. (Shahih Bukhari nomor 1860)
- Dari Abu Sa’id: “Aku telah mendengar empat hal dari Rasulullah, dan aku merasa heran. Pertama, janganlah seorang wanita melakukan perjalanan dua hari (masirat[a] yaumain[i]) sementara dia tidak ditemani (laisa ma’aha) suaminya atau dzu mahram”. (Shahih Bukhari nomor 1864, 1995. Shahih Muslim nomor 3261, 3262)
- Idem. Menurut ‘Affan: “perjalanan dua malam (masirat[a] lailatain[i])” (Musnad Ahmad nomor 11314)
- Dari Abu Sa’id Al-Khudri: Nabi bersabda,”Janganlah seorang wanita melakukan perjalanan diatas tiga malam (fauqa layal), kecuali bersama dzu mahram”. (Shahih Muslim nomor 3264)
- Isnad idem, hanya saja dengan kalimat ”aktsar[a] min tsalats”. (Shahih Muslim nomor 3265)
- Dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar, bahwasanya beliau (Ibn ‘Umar) telah menemani budak perempuannya melakukan perjalanan ke Makkah. (Sunan Abu Dawud nomor 1728)
- Dari Abu Sa’id Al-Khudri, Rasulullah melarang seorang wanita melakukan perjalanan diatas tiga hari (fauqa tsalats), atau diatas tiga malam – perawi syakk – kecuali bersama dzu mahram. (Musnad Ahmad nomor 11429)
- Dalam QS Al-Qashash, Allah mengkisahkan dua wanita puteri Ya’qub yang sedang keluar rumah untuk memberi minum ternak-ternaknya. Keduanya harus keluar rumah melakukan hal tersebut karena ayah mereka telah lanjut usia sehingga tidak kuat lagi.
- Pada masa awal dakwah Nabi, Asma’ bint Abu Bakr harus melakukan perjalanan sendirian untuk menuntun hewan-hewan ternak yang bisa menghapus jejak Rasulullah dan Abu Bakr yang sedang menuju gua Tsur. Saat itu, kaum kafir Quraisy sedang mengejar-ngejar Nabi untuk dibunuh. (Harap dicek dalam Sirah Nabi)
- Sebuah hadits Nabi yang sampai saat ini penulis belum menemukan sumbernya, menyebutkan bahwasanya Nabi pernah meramalkan kejayaan Islam dengan indikasi bahwa seorang wanita akan aman melakukan perjalanan sendirian dari Hijaz ke Shan’a (di Yaman) karena kondisi saat itu sangat aman dan tenteram.
Dari berbagai dalil tekstual diatas,
kita bisa memahami beberapa hal sebagai berikut. Hadits ke-1 sampai
ke-16, semuanya melarang SEORANG wanita melakukan perjalanan (sendirian),
kecuali bersama suaminya atau mahramnya. Artinya, apabila yang bepergian itu
adalah dua orang wanita atau lebih, maka hal itu diperbolehkan. Benarkah? Lalu
mengapa Umar mengutus orang laki-laki, dan bukan wanita, untuk menemani
isteri-isteri Nabi yang sedang berhaji? Bukankah kalau dipikir-pikir, akan
lebih cocok kalau yang menemani itu wanita? Eh .... Lagipula para isteri
Nabi itu kan sudah bersama-sama (lebih dari satu)? Mengapa kemudian Umar
merasa perlu untuk mengutus orang laki-laki untuk mengawal mereka? Bukankah mereka
sudah lebih dari satu? Dari sini kita menyimpulkan bahwa jika yang bepergian
itu wanita saja, berapapun jumlahnya, pada dasarnya tetap perlu orang laki-laki
untuk menemaninya.
Beberapa hadits diatas menegaskan
bahwa yang menemani si wanita haruslah laki-laki. Pernyataan khusus ini
merupakan pengkhususan bagi pernyataan-pernyataan yang masih bersifat umum pada
hadits-hadits yang lain.
Berapa lamakah perjalanan wanita
yang dilarang itu? Hadits-hadits diatas mengemukakan durasi yang berbeda-beda.
Perbedaan itu terbagi atas dua hal. Pertama, siang atau malam. Dalam hal
ini ada yang menyebutkan malam saja, siang saja, dan siang malam sekaligus. Kedua,
berapa bilangannya. Ada yang menyebut satu, dua, tiga, dan lebih dari tiga.
Perbedaan bilangan hari bisa muncul
karena berbagai kemungkinan sebab. Kemungkinan pertama ialah karena
sang perawi lupa atau syakk. Adapun kemungkinan kedua ialah karena
hadits-hadits tersebut muncul pada waktu yang berbeda-beda atau ditujukan pada
orang yang berbeda-beda.
Kemungkinan perawi lupa agaknya
lemah, karena kebanyakan hadits-hadits tersebut berderajat shahih. Adapun
kemungkinan perawi syakk, agaknya lemah pula, karena ke-syakk-an
perawi biasanya diindikasikan dengan kata-kata ATAU, sementara dalam masalah
bilangan ini tidak terdapat kata-kata ATAU. Dengan demikian, kemungkinan yang
paling kuat adalah bahwasanya hadits-hadits tersebut disampaikan oleh Nabi pada
waktu /tempat yang berbeda-beda atau pada orang yang berbeda-beda.
Waktu/tempat yang berbeda ataupun
orang kedua (mukhathab) yang berbeda merupakan indikasi dari
situasi-kondisi yang berbeda. Terhadap situasi-kondisi yang berbeda, fatwa Nabi
pun bisa berbeda. Dalam hal mukhathab yang berbeda, kita bisa mencermati
jawaban Nabi yang berbeda-beda atas sebuah pertanyaan yang sama,”Amal apakah
yang paling utama?” Dalam hal waktu yang berbeda, kita bisa mencermati
fatwa Nabi yang berbeda (berubah) mengenai masalah ziarah kubur. Al-Qur’an pun
bersikap berbeda mengenai masalah perang antara sebelum hijrah dan sesudah
hijrah. Kesimpulannya, situasi-kondisi yang berbeda sangat memungkinkan
munculnya fatwa yang berbeda.
Masalahnya sekarang adalah kita
kesulitan untuk mendapatkan situasi-kondisi yang melatarbelakangi
munculnya hadits-hadits tersebut, akibat tidak adanya data historis. Suatu
dugaan yang barangkali bisa dikemukakan ialah bahwa perbedaan bilangan hari
berkaitan dengan kondisi keamanan yang berbeda-beda, menurut ukuran adat setempat.
Kondisi keamanan ini bisa berubah dengan berubahnya waktu, tempat, dan
lain-lain. Bilangan diatas tiga hari kemungkinan besar muncul pada kondisi
keamanan yang paling rawan, sementara bilangan satu hari muncul pada kondisi
yang jauh lebih aman. Adapun safar wanita sendirian seperti dalam hadits
Shan’a, tentunya adalah dalam konteks situasi yang betul-betul aman.
Setelah menyimpulkan bahwa
pertimbangan esensial dalam masalah safar wanita ialah keamanan, maka yang
harus dipertanyakan kemudian ialah apakah makna AMAN itu sendiri.
Karena kata AMAN disini dikaitkan
dengan WANITA, maka maknanya pun mesti berkaitan dengan posisi khas kaum
wanita. Sebagaimana diketahui, wanita tercipta sebagai makhluk yang lemah,
terutama secara fisik. Karena itu, kita tidaklah heran mengapa Allah
membebankan tanggung jawab nafkah kepada kaum laki-laki. Akibat kelemahan kaum
wanita ini jugalah, sejarah manusia telah menorehkan catatan-catatan suram
mengenai “penindasan” terhadap kaum wanita. Di zaman jahiliyah pra Islam, kaum
wanita dieksploitasi sedemikian rupa sehingga banyak hak-hak kemanusiaan mereka
tidak dapat terpenuhi. Apabila suatu masyarakat sudah demikian, maka mereka
tidak ubahnya seperti bangsa binatang saja.
Islam datang untuk mengangkat
kembali posisi kaum wanita. Islam datang untuk membentuk masyarakat yang
berperadaban (masyarakat madani). Dalam naungan Islam, wanita bisa hidup dengan
sangat terhormat, dibawah naungan fitrah kemanusiaan yang beradab.
Dalam perkembangannya, sebagian
manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat durhaka dan merobohkan sendi-sendi
keberadaban manusia. Mereka kembali saling menindas, dengan mengorbankan
pihak-pihak yang lemah. Wanita, dalam hal ini, merupakan pihak yang paling
potensial untuk ditindas, karena kelemahannya. Hanya dalam masyarakat yang
beradab sajalah, wanita bisa hidup dengan aman dan terhormat.
Dari berbagai gambaran diatas, kita menyimpulkan
bahwa makna AMAN yang dibutuhkan oleh wanita dalam kehidupan bermasyarakatnya
ialah aman dari penindasan dan eksploitasi. Tindakan-tindakan kekerasan dan
kejahatan amat rawan dilakukan terhadap wanita, jika tidak ada perlindungan.
Kejahatan itu bisa kasar dan bisa pula sepintas lalu halus. Kejahatan yang
kasar misalnya pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, pemukulan, dan sebagainya.
Kondisi fisik wanita, tentunya, tidak memungkinkan untuk menolak bahaya-bahaya
tersebut. Kejahatan yang sepintas lalu halus misalnya perzinaan dengan teman
atau orang dekat sendiri. Dikatakan halus karena tindakan ini sepertinya tidak
bersifat jahat apalagi kasar, bahkan cenderung menimbulkan kenikmatan, namun
pada hakikatnya tindakan ini merupakan kejahatan yang nyata terhadap wanita.
Dalam kasus perzinaan, kalau dicermati, wanita merupakan pihak yang menderita
amat banyak kerugian. Seluruh bentuk bahaya diatas, baik yang kasar ataupun
yang halus, harus dihindari dengan menciptakan suatu aturan bermasyarakat
tertentu.
Atas pertimbangan AMAN yang seperti
itulah, Islam melarang wanita melakukan perjalanan secara sendirian. Bagaimana
kalau ditengah perjalanan ia disakiti orang atau diperkosa? Apakah kondisi
fisiknya memungkinkannya untuk membela diri? Secara umum tidak! Tetapi anehnya,
di zaman kita ini justeru para wanita dengan enaknya melakukan perjalanan jauh
kesana kemari tanpa ditemani oleh siapapun, padahal zaman kita ini penuh dengan
orang jahat. Masyarakat zaman ini sudah sakit, akut sekali! Mereka tidak
segan-segan berbuat nekat! Mereka tidak malu-malu lagi berbuat jahat dihadapan
umum! Dalam keadaan semacam ini, sungguh memprihatinkan jika ada wanita yang
berani melakukan perjalanan jauh sendirian saja.
Keharusan wanita untuk ditemani
dalam perjalanan jauh tidak berarti membolehkan setiap orang untuk menemaninya.
Sebagaimana diungkapkan diawal, hendaknya yang menemani itu laki-laki karena ia
diharapkan bisa melindungi si wanita dari tindakan jahat orang lain.
Disamping itu, yang menemani haruslah suami atau mahramnya. Jika tidak,
dikhawatirkan akan terjadi kejahatan halus, zina. Andaikata laki-laki yang
menemani itu bukan suaminya dan bukan pula mahramnya, bagaimana bisa dijamin
bahwa wanita itu akan aman dari zina? Tidak ada jaminan.
Seharusnya kita patut merenung.
Kalau di zaman Rasulullah saja para wanita dilarang melakukan perjalanan jauh
sendirian, sementara masyarakat waktu itu cukup bahkan sangat relijius,
bagaimana mungkin kita akan membiarkan para wanita di zaman kita ini melakukan
perjalanan jauh sendirian saja sementara masyarakat kita adalah masyarakat yang
barbarian! Apalagi, hukum juga tidak tegak sama sekali!
Dari beberapa uraian diatas,
diharapkan kita memperoleh kejelasan tentang makna AMAN dalam kasus safar
wanita. Dari apa yang sudah kita pahami, kita akan bisa mengatakan bahwa selama
seorang wanita bisa aman dari segenap bahaya baik yang kasar maupun yang halus,
maka selama itu pula ia diperbolehkan melakukan perjalanan jauh. Seorang wanita
jompo diperbolehkan melakukan perjalanan bersama dengan seorang pemuda yang
dikenalnya baik meskipun pemuda tersebut bukan suaminya dan bukan pula
mahramnya. Namun, pemuda tadi bisa melindungi si wanita tua dari kejahatan
kasar orang lain. Wanita itu pun Insya Allah aman dari kemungkina zina dengan
sang pemuda, karena ia sudah tidak menarik sama sekali. Sebuah contoh ini
semoga bisa semakin memperkuat pemahaman kita. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar