“Yaa
ayyuhalladzina aamanuu idza qumtum ilash sholati faghsiluu wujuuhakum wa
aidiyakum ilal marafiq wamsahuu biru-usikum wa arjulakum ilal ka’bain”
Apakah niat merupakan syarat wudhu?
Perbedaan
pendapat :
Pendapat
I (Syafi’I, Malik, Ahmad, Abu Tsaur, Dawud ) : ya
Pendapat
II (Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri) : tidak
Sebab
perbedaan pendapat :
Para
fuqaha sepakat bahwa ibadah mahdhah (ibadah yang tidak bisa dilogika)
mempersyaratkan adanya niat, namun tidak untuk ibadah ghairu mahdhah (ibadah
yang bisa dilogika). Dalam hal ini, para fuqaha berbeda pendapat tentang wudhu
itu ibadah mahdhah ataukah ghairu mahdhah, sebab wudhu itu agak samar sifatnya
antara ritual dan tindakan higienis / sanitatif.
Pendapat
Sayyid Sabiq :
Niat
adalah wajib dalam wudhu sebagaimana ia wajib dalam setiap amalan, sesuai
dengan hadits Nabi : Innamal a’maalu bin niyyaat …
Apakah sikut
termasuk yang wajib dibasuh?
Perbedaan
pendapat :
Pendapat
I (Jumhur, Malik, Syafi’I, Abu Hanifah) : ya
Pendapat
II ( sebagian zhahiriyah, sebagian pengikut Malik yang belakangan, Thabari) :
tidak
Sebab
perbedaan pendapat :
1. Perbedaan pendapat
mengenai makna kata “ilaa” (sebagaimana disebutkan dalam Ayat Wudhu), karena
“ilaa” terkadang bermakna “sampai” (ghaayah) dan terkadang bermakna “termasuk”
(ma’a).
2. Perbedaan pendapat
mengenai makna “al-yad” , karena ia dipakai oleh orang Arab dengan salah satu
dari tiga makna : “hand”, “dari ujung jari sampai siku”, dan “dari ujung jari
sampai bahu”.
Pendapat
Sayyid Sabiq :
Sikut
termasuk yang wajib dibasuh. Tidak ada riwayat dari Nabi saw yang mengemukakan
bahwa beliau meninggalkannya.
Kadar menyapu
rambut
Perbedaan
pendapat :
Pendapat
I (Malik) : seluruh rambut wajib diusap
Pendapat
II (Syafi’I, Abu Hanifah, sebagian sahabat Malik) : hanya wajib mengusap
sebagiannya
Yang dimaksud dengan sebagian ialah :
- Syafi’I : tidak ada
batasan tertentu
- Abu Hanifah : sesuai
dengan ukuran telapak tangan
- Sebagian sahabat
Mlaik : sepertiga atau dua pertiga bagian dari kepala
Sebab
perbedaan pendapat :
Para
fuqaha berbeda pendapat mengenai makna kata “bi” ( sebagaimana disebutkan dalam
Ayat Wudhu ) :
·
Ada
yang mengatakan bahwa “bi” dalam ayat tersebut adalah “bi zaidah” yang
berfungsi untuk men-ta’kid. Implikasi : pendapat I
·
Yang
lain mengatakan bahwa “bi” dalam ayat tersebut adalah untuk “tab’idh”
(menyatakan makna “sebagian” ). Implikasi : pendapat II
Pendapat
Sayyid Sabiq :
Mengusap
kepala tidaklah harus keseluruhannya. Sesuai dengan riwayat-riwayat dari
Nabi, mengusap kepala bisa dilakukan dengan tiga cara :
1. Mengusap
keseluruhannya
2. Mengusap serbannya
saja
3. Mengusap ubun-ubun
dan serban
Masalah jumlah
basuhan dan sapuan
Para
fuqaha sepakat bahwa basuhan wajib dilakukan minimal satu kali, dan sunnah jika
dilakukan dua atau tiga kali.
Namun
para fuqaha berbeda pendapat tentang jumlah usapan :
Pendapat
I (Syafi’I) : jika ia membasuh tiga-tiga kali maka ia pun mengusap tiga-tiga
kali.
Pendapat
II (Jumhur) : tidak ada tuntunan untuk mengulang usapan lebih dari satu kali.
Sebab
perbedaan pendapat
: pertentangan antar hadits.
Pendapat
Sayyid Sabiq :
Menurut
riwayat yang paling banyak, mengusap kepala adalah satu kali saja.
Hukum menyapu dua telinga, demikian
juga dengan air baru atau tidak?
Perbedaan
pendapat :
Pendapat
I (sebagian sahabat Malik) :
menyapu dua telinga adalah wajib
(karena ia termasuk kepala), dilakukan dengan air baru.
Pendapat
II ( Abu Hanifah) :
menyapu dua telinga adalah wajib,
tetapi tidak dengan air baru.
Pendapat
III (Syafi’I) :
menyapu dua telinga adalah sunnah,
dilakukan dengan air baru.
Sebab
perbedaan pendapat :
1. Pertentangan antar
hadits
2. Pertentangan mengenai
apakah dua telinga termasuk kepala ataukah tidak.
Pendapat
Sayyid Sabiq :
Mengusap
dua telinga adalah sunnah wudhu.
Komentar
:
Dalam
Silsilatul Ahadits Al-Shahihah karya Syaikh
Nashiruddin Al-Albani Jilid I Bagian I terdapat hadits “Dua
telinga termasuk kedalam kepala”.
Dua kaki
dibasuh ataukah diusap?
Sahabat
Nabi berijma’ bahwa kedua tumit wajib dibasuh (hadits Ibnu Umar, muttafaq
‘alaih). Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai selain tumit.
Perbedaan
pendapat :
Pendapat
I ( jumhur) : wajib dibasuh
Pendapat
II : wajibnya adalah diusap
Pendapat
III : boleh pilih antara dibasuh dan diusap
Sebab
perbedaan pendapat
: perbedaan qira’at :
·
Qira’at
I : nashb, athaf terhadap bagian yang dibasuh. Implikasi : pendapat I
·
Qira’at
II : khifdh, athaf terhadap bagian yang diusap. Implikasi : pendapat II
Pendapat
Sayyid Sabiq :
Dua
kaki adalah dibasuh, sebagaimana tumit juga dibasuh.
Masalah tartib
Perbedaan
pendapat :
Pendapat
I :
tartib adalah sunnah
Pendapat
II :
tartib
adalah wajib untuk perbuatan-perbuatan yang wajib (rukun wudhu), sedangkan
untuk sunnah-sunnah wudhu maka tartib adalah mustahab / sunnah.
Pendapat
III :
tartib
adalah wajib secara mutlaq. Artinya : melakukan perbuatan-perbuatan sunnah
tidak secara urut adalah bid’ah yang tercela.
Sebab
perbedaan pendapat :
·
Perbedaan
pendapat mengenai makna kata “wa” (sebagaimana tersebut dalam Ayat Wudhu)
Pendapat madzhab nahwu Bashrah : “wa” tidak menunjukkan
tartib
Pendapat madzhab nahwu Kufah : “wa” menunjukkan tartib
·
Perbedaan
pendapat mengenai perbuatan rasulullah dalam kasus ini menunjukkan wajib
ataukah sunnah.
Pendapat
Sayyid Sabiq :
Tartib
termasuk wajib wudhu, sesuai dengan keumuman hadits nabi saw,”Dahulukanlah
apa-apa yang didahulukan oleh Allah”. Demikian pula tidak ada riwayat yang
mengemukakan bahwa Nabi berwudhu dengan tidak tertib. Sementara itu, wudhu
adalah ibadah. Dan dalam urusan ibadah, sikap kita adalah ittiba’.
Masalah muwaalaah (kontinyuitas)
Perbedaan
pendapat :
Pendapat
I (Malik) : muwaalaah adalah wajib dalam keadaan ingat dan mampu.
Pendapat
II (Syafi’I, Abu Hanifah) : muwaalaah tidaklah wajib.
Sebab
perbedaan pendapat :
·
Perbedaan
pendapat mengenai makna “wa”
·
Pertentangan
hadits
Pendapat
Sayyid Sabiq :
Muwaalaah
termasuk sunnah wudhu.
Tentang hal-hal yang membatalkan wudhu
:
Masalah keluarnya zat-zat dari tubuh
manusia
Perbedaan
pendapat :
Pendapat
I (Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Sufyan Tsauri, Ahmad ) :
keluarnya segala najis dari bagian
tubuh yang mana saja adalah membatalkan wudhu
Pendapat
II ( Sya’fi’i dan sahabat-sahabatnya ) :
keluarnya
sesuatu dari dubur dan qubul adalah membatalkan wudhu.
Pendapat
III ( Malik dan sahabat-sahabatnya) :
keluarnya
sesuatu yang lazim dari dubur dan qubul dalam kedaan sehat adalah membatalkan
wudhu.
Sebab
perbedaan pendapat :
Ketika
para fuqaha sepakat berdasarkan zhahir Qur’an dan Sunnah bahwa buang air besar,
buang air kecil, buang angin, dan mengeluarkan madzi serta wadi adalah
membatalkan wudhu, maka mereka menarik beberapa kemungkinan :
·
Kemungkinan
pertama : hukum ini hanya berhubungan dengan zat-zat yang secara eksplisit
disebutkan dan tidak meliputi yang lainnya. Implikasi : pendapat III
·
Kemungkinan
kedua : hukum ini berhubungan dengan zat-zat tersebut dari sisi bahwa itu
semua termasuk najis yang keluar dari badan. Implikasi : pendapat I
·
Kemungkinan
ketiga : hukum ini berhubungan dengan zat-zat tersebut dari sisi bahwa itu
semua keluar dari dubur dan qubul. Implikasi : pendapat II
Komentar
:
·
Pendapat
I dan II masuk dalam bab khaashsh tetapi yang diinginkan adalah
‘aamm.
·
Pendapat
III masuk dalam bab khaashsh yang diterapkan hanya pada
kekhususannya.
Pendapat
Sayyid Sabiq :
Diantara
hal-hal yang membatalkan wudhu ialah keluarnya setiap zat dari dua jalan (dubur
dan qubul) . Lalu beliau memerinci bahwa zat-zat tersebut ialah : kencing,
berak, kentut, madhi, dan wadi.
Masalah tidur
Perbedaan
pendapat :
Pendapat
I :
tidur
membatalkan wudhu, baik sebentar ataupun pulas.
Pendapat
II :
tidur
tidak membatalkan wudhu sama sekali kecuali yang bersangkutan benar-benar yakin
bahwa ia telah berhadats (buang angin, buang air, keluar madzi ).
Pendapat
III ( jumhur ) :
tidur
yang pulas membatalkan wudhu, namun tidur yang sebentar saja (tidak sampai
pulas) tidak membatalkan wudhu.
Tentang
posisi tidur :
·
Malik : tidur sambil berbaring atau bersujud membatalkan wudhu,
baik tidur sebentar atau lama. Tidur sambil duduk tidak membatalkan wudhu
kecuali tidurnya itu lama.
·
Syafi’I : tidur dalam semua posisi, kecuali dalam posisi duduk,
adalah membatalkan wudhu.
·
Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya : tidur yang
membatalkan wudhu hanyalah tidur dalam posisi berbaring.
Sebab
perbedaan pendapat :
pertentangan
antar hadits :
1.Hadits-hadits
yang menunjukkan bahwa tidur tidak mengharuskan wudhu’
2.Hadits-hadits
yang menunjukkan bahwa tidur merupakan hadats
Istinbath
para fuqaha :
Metode
tarjih : ada dua kemungkinan antara pendapat I dan pendapat II
Metode
jam’u wa taufiq : menghasilkan pendapat III
Komentar
:
Menurut
jumhur ushuliyyun, metode jam’u wa taufiq lebih utama daripada metode tarjih,
apabila memungkinkan.
Pendapat
Sayyid Sabiq :
Tidur
yang membatalkan wudhu ialah tidur yang pulas, yang tidak menyisakan kesadaran,
dan juga yang tidak dalam posisi duduk.
Masalah menyentuh wanita
Perbedaan
pendapat :
Pendapat
I (Syafi’iyah) :
Menyentuh tanpa penghalang, termasuk
didalamnya mencium, adalah membatalkan wudhu, baik menikmati ataupun tidak
menikmati.
Terkadang dibedakan antara yang
menyentuh dan yang disentuh. Wudhu batal bagi yang menyentuh tetapi tidak bagi
yang disentuh.
Terkadang dibedakan pula antara
menyentuh isteri dan menyentuh mahram. Wudhu batal jika menyentuh isteri tetapi
tidak jika menyentuh mahram.
Pendapat
II (Malik dan sebagian besar sahabatnya) :
Menyentuh
dengan menikmati ataupun dengan maksud menikmati, dengan penghalang atau tanpa
penghalang, adalah membatalkan wudhu; kecuali mencium maka ia membatalkan wudhu
meskipun tidak menikmati.
Pendapat
III (Abu Hanifah) :
Menyentuh wanita tidak membatalkan
wudhu
Sebab
perbedaan pendapat
: isytirak makna “lams” dalam ayat yang ada :
1.Sebagian
memaknai “lams” dengan makna majazi yang berarti jima’. Mereka juga
mengemukakan berbagai hadits yang mendukung :
·
Nabi
menyentuh Aisyah dengan tangan saat bersujud.
·
Nabi
mencium sebagian isteri beliau lalu sholat tanpa wudhu lagi.
2.Sebagian
yang lain memaknai “lams” dengan makna haqiqi yang berarti menyentuh. Mereka
pun mengatakan bahwa jika ada keraguan antara makna haqiqi dan makna majazi
maka harus diambil makna haqiqi sampai ada dalil yang menguatkan makna majazi.
Yang mengambil makna haqiqi pun terbagi
dua :
2.a.Yang memasukkannya dalam bab ‘aamm tetapi yang dimaksudkan adalah khaashsh : sehingga mempersyaratkan adanya kenikmatan saat menyentuh.
2.b.Yang memasukkannya dalam bab ‘aamm dengan maksud ‘aamm : sehingga tidak mempersyaratkan adanya kenikmatan saat menyentuh.
2.a.Yang memasukkannya dalam bab ‘aamm tetapi yang dimaksudkan adalah khaashsh : sehingga mempersyaratkan adanya kenikmatan saat menyentuh.
2.b.Yang memasukkannya dalam bab ‘aamm dengan maksud ‘aamm : sehingga tidak mempersyaratkan adanya kenikmatan saat menyentuh.
Komentar
:
Kita
gunakan kaidah : “jika ada keraguan antara makna haqiqi dan makna majazi maka
harus diambil makna haqiqi sampai ada dalil yang menguatkan makna majazi”.
Dalam hal ini telah ada dalil-dalil berupa hadits-hadits yang menguatkan makna
majazi. Sehingga kita pilih pendapat III.
Pendapat
Sayyid Sabiq :
Menyentuh
wanita, meskipun tanpa penghalang, tidaklah membatalkan wudhu, karena banyaknya
hadits shahih yang menyatakannya dan tidak adanya dalil shahih yang
menentangnya.
Masalah menyentuh kemaluan
Perbedaan
pendapat :
Pendapat
I (Syafi’iyah, Ahmad, Dawud) :
Membatalkan
wudhu bagaimanapun menyentuhnya.
Pendapat
II (Hanafiyah) :
Tidak
membatalkan wudhu sama sekali.
Pendapat
III (Malikiyah) :
Berbeda-beda
hukumnya tergantung pada bagaimana menyentuhnya.
- Jika menyentuhnya dengan menikmati maka itu membatalkan wudhu, tetapi jika tidak maka tidak.
- Jika menyentuhnya dengan telapak tangan maka itu membatalkan wudhu, tetapi jika tidak maka tidak (Bisa dipahami bahwa hal ini karena sentuhan dengan telapak tangan merupakan sebab adanya kenikmatan)
- Jika menyentuhnya dengan sengaja maka itu membatalkan wudhu tetapi jika dalam keadaan lupa atau tidak sengaja maka tidak apa-apa.
- Jika menyentuhnya secara langsung (tanpa penghalang) maka itu membatalkan wudhu, tetapi jika dengan penghalang maka tidak apa-apa.
Pendapat
IV (diriwayatkan dari Malik) :
Wudhu
karena menyentuh kemaluan adalah sunnah dan bukan wajib.
Sebab
perbedaan pendapat
: pertentangan antar hadits :
Hadits
yang mewajibkan wudhu :
Dari Basrah, Rasulullah bersabda,”Jika
salah seorang kalian menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudhu”.
(Dishahihkan oleh Yahya ibn Mu’in, Ahmad ibn Hanbal, Ibnus Sakan, didha’ifkan
oleh ahli Kufah, dan tidak pernah diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim)
Hadits
yang tidak mewajibkan wudhu :
Dari
Thalq ibn ‘Ali : Kami datang kepada Rasulullah dan ketika itu beliau sedang
bersama seorang laki-laki yang sepertinya seorang Badui. Laki-laki itu
berkata,”Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapat Anda tentang orang yang
menyentuh kemaluannya setelah ia berwudhu?” Maka Rasulullah menjawab,”Bukankah
kemaluan itu juga bagian dari tubuhnya?” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi,
dishahihkan oleh banyak sekali ahli ilmu [ahli hadits] baik Kufah maupun yang
lainnya).
Istinbath
para fuqaha :
1.Metode
tarjih / naskh :
- Bagi yang merajihkan hadits Basrah atau menganggapnya naasikh bagi hadits Thalq, maka implikasinya : pendapat I
- Bagi yang merajihkan hadits Thalq maka implikasinya : pendapat II
2.Metode
jam’u wa taufiq :
Implikasinya
: pendapat III (tergantung bagaimana menyentuhnya) atau pendapat IV (hadits
Basrah menunjukkan sunnahnya wudhu sedangkan hadits Thalq menunjukkan tidak
wajibnya wudhu).
Pendapat
Sayyid Sabiq :
Beliau
lebih condong kepada pendapat bahwa menyentuh kemaluan secara langsung (tanpa
kain dsb) adalah membatalkan wudhu. Pendapat ini didapatkan dengan cara
melakukan takhshish terhadap nash-nash yang bersifat ‘aamm. Namun demikian,
beliau juga menyebutkan pendapat Hanafiyah bahwa menyentuh kemaluan sama sekali
tidak membatalkan wudhu, tanpa memberikan komentar lebih jauh.
0 komentar:
Posting Komentar