Hadits Online

Hadis (Bahasa Arab: الحدي, transliterasi: Haidits), [ adalah perkataan dan perbuatan serta ketetapan dari Nabi Muhammad. Hadis sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.

Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadis. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadis tersebut dalam bukunya (kitab hadis) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadis bersangkutan adalah
Read More

Selasa, 15 Mei 2012

Kasus Kasus limbah Medis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Dalam upaya menigkatkan derajat kesehatan masyarakat, khususnya di kota-kota besar semakin meningkat pendirian rumah sakit (RS). Sebagai akibat kualitas efluen limbah rumah sakit tidak memenuhi syarat. Limbah rumah sakit dapat mencemari lingkungan penduduk di sekitar rumah sakit dan dapat menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini dikarenakan di dalam Limbah medis kebanyakan sudah terkontaminasi oleh bakteri, virus, racun dan bahan radioaktif yang berbahaya bagi manusia dan makhluk lain di sekitar lingkungannya dan dapat mengandung berbagai jasad renik penyebab penyakit pada manusia termasuk demam typoid, kholera, disentri dan hepatitis. Jadi limbah medis dapat dikategorikan sebagai limbah infeksius dan masuk pada klasifikasi limbah bahan berbahaya dan beracun. Untuk mencegah terjadinya dampak negatif limbah medis tersebut terhadap masyarakat atau lingkungan, maka perlu dilakukan pengelolaan secara khusus (BAPEDAL, 1999).
          Dampak negatif limbah medis terhadap masyarakat dan lingkungan terjadi akibat pengelolaan yang kurang baik. Limbah medis jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan patogen yang dapat berakibat buruk terhadap manusia dan lingkungan. Dalam artikel Suara Pembaruan disebutkan bahwa dari 107 rumah sakit di Jakarta, baru 10 yang memiliki insinerator.
Hampir di setiap tempat sampah ditemukan bekas dan sisa makanan (limbah organik), limbah infeksius, dan limbah organik berupa botol bekas infus. Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis, karena limbah nonmedis diperlakukan sama dengan limbah padat lainnya. Artinya, dikelola Dinas Kesehatan dan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah seperti di Bantar Gebang Bekasi. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis.
1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa permasalahan limbah medis secara umum di Indonesia?
1.2.2        Bagaimana cara penanganan limbah medis yang tepat?

1.3  Tujuan
1.3.1        Mengetahui permasalahan limbah medis secara umum di Indonesia.
1.3.2        Mengetahui cara penanganan limbah medis yang tepat.















BAB II
TEORI DASAR

2.1 Definisi dan Sumber Limbah Medis
Sampah dan limbah rumah sakit adalah semua sampah dan limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Secara umum sampah dan limbah rumah sakit dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu sampah atau limbah klinis dan non klinis baik padat maupun cair.
Jenis perawatan/aktivitas kesehatan yang dapat menghasilkan limbah adalah :
a. Rumah sakit dengan aktifitasnya:
·         Rumah sakit umum
·         Rumah sakit khusus
·         Sanotarium
·         Aktifitas spesifik dalam sebuah rumah sakit misalnya : paediatric, oncolagy, rehabilitasi, mata dan telinga, psychiatric, terbakar, orthopaedic, penyakit-penyakit pernafasan
b. Klinik:
·         Ruang dokter dan perawat
·         Pusat dialysis
·         Pusat penanganan kecanduan alcohol
·         Pusat penanganan kecanduan obat bius
·         Klinik bersalin
·         Klinik thrombosis.
c. Asrama dan sejenis:
·         Perawat
·         Rumah jompo
·         Rumah sakit jiwa
d. Kegiatan-kegiatan penunjang:
·         Bank darah
·         Apotik
·         Pusat pelatihan medis
·         Ruang mayat
·         Ruang steril
·         Ruang cuci pakaian
·         Ruang teknis
·         Laboratorium : klinis, pathology, haemathology, kimiawi, penelitian, termasuk untuk hewan maupun genetis.
Timbulan limbah dari kegiatan rumah sakit bervariasi dari satu institusi ke institusi sesuai dengan besarnya aktivitas. Sebagai gambaran, di bawah ini diberikan beberapa angka, yaitu (Kg/bed/hari):
·         Spanyol : 1,2 sampai 4,4
·         Inggris : 0,25 sampai 3,3
·         Belanda : 1,2 sampai 6,0
·         USA : 4,1 sampai 5,24
Penelitian yang dilakukan di RSHS Bandung oleh Jurusan Teknik Lingkungan ITB (1993) memberikan angka rata-rata sebesar 2,12 Kg/bed/hari.

2.2 Pengelompokkan Limbah Medis
Limbah rumah sakit merupakan campuran yang heterogen sifat-sifatnya. Seluruh jenis limbah ini dapat mengandung limbah berpotensi infeksi. Kadangkala, limbah residu insinerasi dapat dikagorikan sebagai limbah berbahaya bila insinerator sebuah rumah sakit tidak sesuai dengan kriteria, atau tidak dioperasikan sesuai dengan kriteria. Deskripsi umum tentang kategori utama limbah rumah sakit adalah:
·         Limbah umum: sejenis limbah domestik, bahan pengemas, makanan binatang noninfectious,limbah dari cuci serta materi lain yang tidak membutuhkan penanganan spesial atau tidak membahayakan pada kesehatan manusia dan lingkungan
·         Limbah patologis: terdiri dari jaringan-jaringan, organ, bagian tubuh, plasenta, bangkai binatang, darah dan cairan tubuh
·         Limbah radioaktif: dapat berfase padat, cair maupun gas yang terkontaminasi dengan radionuklisida, dan dihasilkan dari analisis in-vitro terhadap jaringan tubuh dan cairan, atau analisis in-vivo terhadap organ tubuh dalam pelacakan atau lokalisasi tumor, maupun dihasilkan dari prosedur therapetis
·         Limbah kimiawi: dapat berupa padatan, cairan maupun gas misalnya berasal dari pekerjaan diagnostik atau penelitian, pembersihan/pemeliharaan atau prosedur desinfeksi. Pertimbangan terhadap limbah ini adalah seperti limbah berbahaya yang lain, yaitu dapat ditinjau dari sudut: toksik, korosif, mudah terbakar (flammable), reaktif (eksplosif, reaktif terhadap air, dan shock sensitive), dilanjutkan dengan sifat-sifat spesifik seperti genotoxic (carcinogenic, mutagenic, teratogenic dan lain-lain), misalnya obat-obatan cytotoxic. Limbah kimiawi yang tidak berbahaya adalah seperti gula, asam- asam animo, garam-garam organik lainnya,
·         Limbah berpotensi menularkan penyakit (infectious): mengandung mikroorganisme patogen yang dilihat dari konsentrasi dan kuantitasnya bila terpapar dengan manusia akan dapat menimbulkan penyakit. Katagori yang termasuk limbah ini antara lain jaringan dan stok dari agen-agen infeksi dari kegiatan laboratorium, dari ruang bedah atau dari autopsi pasien yang mempunyai penyakit menular , atau dari pasien yang diisolasi, atau materi yang berkontak dengan pasien yang menjalani haemodialisis (tabung, filter, serbet, gaun, sarung tangan dan sebagainya) atau materi yang berkontak dengan binatang yang sedang diinokulasi dengan penyakit menular atau sedang menderita penyakit menular
·         Benda-benda tajam yang biasa digunakan dalam kegiatan rumah sakit: jarum suntik, syring, gunting, pisau, kaca pecah, gunting kuku dan sebagainya yang dapat menyebabkan orang tertusuk (luka) dan terjadi infeksi. Benda-benda ini mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi atau bahan citotoksik
·         Limbah farmasi (obat-obatan): produk-produk kefarmasian, obat-obatan dan bahan kimiawi yang dikembalikan dari ruangan pasien isolasi, atau telah tertumpah, daluwarsa atau terkontaminasi atau harus dibuang karena sudah tidak digunakan lagi
·         Limbah citotoksik: bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan obat citotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi citotoksik
·         Kontainer di bawah tekanan: seperti yang digunakan untuk peragaan atau pengajaran, tabung yang mengandung gas dan aerosol yang dapat meledak bila diinsinerasi atau bila mengalami kerusakan karena kecelakaan (tertusuk dan sebagainya).

Dari sekian banyak jenis limbah klinis tersebut, maka yang membutuhkan sangat perhatian khusus adalah limbah yang dapat menyebabkan penyakit menular (infectious waste) atau limbah biomedis. Limbah ini biasanya hanya 10 - 15 % dari seluruh volume limbah kegiatan pelayanan kesehatan. Jenis dari limbah ini secara spesifik adalah:
·         Limbah human anatomical: jaringan tubuh manusia, organ, bagian-bagian tubuh, tetapi tidak termasuk gigi, rambut dan muka
·         Limbah tubuh hewan: jaringan-jaringan tubuh , organ, bangkai, darah, bagian terkontaminasi dengan darah, dan sebagainya, tetapi tidak termasuk gigi, bulu, kuku.
·         Limbah laboratorium mikrobiologi: jaringan tubuh, stok hewan atau mikroorganisme, vaksin, atau bahan atau peralatan laboratorium yang berkontak dengan bahan-bahan tersebut. Limbah darah dan cairan manusia atau bahan/peralatan yang terkontaminasi dengannya. Tidak termasuk dalam katagori ini adalah urin dan tinja.
·         Limbah-limbah benda tajam seperti jarum suntik, gunting, pacahan kaca dan sebagainya.

Limbah reaktif yang berasal dari rumah sakit adalah senyawa-senyawa seperti:
·         Shock sensitive: senyawa-senyawa diazo, metal azide, nitro cellulose, perchloric acid, garam-garam perchlorat, bahan kimia peroksida, asam picric, garam-garam picrat, polynitroaromatic.
·         Water reactive: logam-logam alkali dan alkali tanah, reagen alkyl lithium, larutan- larutan boron trifluorida, reagen Grignard, hidrida dari Al, B, Ca, K, Li, dan Na, logam halida dari Al, As, Fe, P, S, Sb, Si, Su dan Ti, phosphorus oxychloride, phosphorus pentoxide, sulfuryl chloride, thionyl chloride.
·         Bahan reaktif lain: asam nitrit diatas 70%, phosphor (merah dan putih).



2.3 Pengelolaan Limbah Medis
Sasaran pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagaimana menangani limbah berbahaya, menyingkirkan dan memusnahkannya seekonomis mungkin, namun higienis dan tidak membahayakan lingkungan. Untuk limbah yang bersifat umum, penanganannya adalah identik dengan limbah kota yang lain. Daur ulang sedapat mungkin diterapkan pada setiap kesempatan. Bahan-bahan tajam yang terinfeksi harus dibungkus secara baik serta tidak akan mencelakakan pekerja yang menangani dan dapat dibuang seperti limbah umum, sedang bahan-bahan tajam yang terinfeksi diperlakukan sebagai limbah berbahaya.
Untuk memudahkan pengenalan berbagai jenis limbah yang akan dibuang, digunakan pemisahan dengan kantong-kantong yang spesifik (biasanya dengan warna yang berbeda atau dengan pemberian label). Beberapa contoh warna yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI adalah:
·         Kantong warna hitam: limbah sejenis rumah tangga biasa
·         Kantong warna kuning: semua jenis limbah yang harus masuk insinerator
·         Kantong warna kuning strip hitam: limbah yang sebaiknya ke insinerator, namun bisa pula dibuang ke landfill bila dilakukan pengumpulan terpisah dan pengaturan pembuangan
·         Kantong warna biru muda atau transparans strip biru tua : limbah yang harus masuk ke autoclave sebelum ditangani lebih lanjut.

Limbah yang harus dipisahkan dari yang lain adalah limbah patologis dan infektious. Limbah infectious beresiko tinggi perlu ditangani terlebih dahulu dalam autoclave sebelum menuju pengolahan selanjutnya atau sebelum disingkirkan di landfill. Limbah darah yang tidak terinfeksi dapat dimasukkan ke dalam saluran limbah kota dan dibilas dengan air, sedang yang terinfeksi harus diperlakukan sebagai limbah berbahaya. Kontainer-kontainer dibawah tekanan (aerosol dan sebagainya) tidak boleh dimasukkan ke dalam insinerator.
Limbah yang telah dipisahkan dimasukkan kantong-kantong yang kuat (dari pengaruh luar ataupun dari limbahnya sendiri) dan tahan air atau dimasukkan dalam kontainer-kontainer logam. Kantong-kantong yang digunakan dibedakan dengan warna yang seragam dan jelas, dan diisi secukupnya agar dapat ditutup degan mudah dan rapat. Disamping warna yang seragam, kantong tersebut diberi label atau simbol yang sesuai. Kontainer harus ditutup dengan baik sebelum diangkut. Bila digunakan kantong dan terlebih dahulu harus masuk autoclave, maka kantong-kantong itu harus bisa ditembus oleh uap sehingga sterilisasi dapat berlangsung sempurna. Limbah radioaktif juga harus mempunyai tanda-tanda yang standar dan disimpan untuk menunggu masa aktifnya terlampaui sebelum dikatagorikan limbah biasa atau limbah berbahaya lainnya.
Mobilitas dan transportasi limbah baik internal maupun eksternal hendaknya dipertimbangkan sebagai bagian menyeluruh dari sistem pengelolaaan dari institusi tersebut. Secara internal, limbah biasanya diangkut dari titik penyimpanan awal manuju area penampungan atau menuju titik lokasi insinerator. Alat angkutan atau sarana pembawa tersebut harus dicuci secara rutin dan hanya digunakan untuk membawa lim bah. Di rumah sakit modern, transportasi limbah ini
bisa menggunakan cara pneumatis dengan perpipaan, namun cara ini tidak boleh digunakan untuk limbah patologis dan infectious. Limbah yang akan diangkut ke luar, misalnya oleh Dinas Kebersihan setempat, harus tidak mengandung resiko terhadap kesehatan pengangkut tersebut. Limbah berbahaya dari rumah sakit yang akan diangkut, diatur seperti halnya aturan-aturan yang berlaku pada limbah berbahaya lain, misalnya jenis kontainer, tanda-tanda dan tata caranya.
Secara umum jenis pengolahan limbah rumah sakit adalah :
a. Limbah umum
·         Tidak diperlukan pengolahan khusus, dan dapat disatukan dengan limbah domestik
·         Seluruh makanan yang telah meninggalkan dapur pada prinsipnya adalah limbah bila tidak dikonsumsi dan sisa makanan dari bagian penyakit menular perlu di autoclave dulu sebelum dibuang ke landfill.
b. Limbah patologis
·         Pengolahan yang dilakukan adalah dengan sterilisasi, insinerasi dilanjutkan dengan landfilling
·         Insinerasi merupakan metode yang sangat dianjurkan, kantong-kantong yang digunakan untuk membungkus limbah juga harus diinsinerasi.
c. Limbah radioaktif
·         Bahan radioaktif yang digunakan dalam kegiatan kesehatan/medis ini biasanya tergolong mempunyai daya radioaktivitas level rendah, yaitu di bawah 1 megabecquerel (MBq)
·         Limbah radioaktif dari rumah sakit dapat dikatakan tidak mengandung bahaya yang signifikan bila ditangani secara baik
·         Penangan limbah dapat dilakukan di dalam area rumah sakit itu sendiri, dan umumnya disimpan untuk menunggu waktu paruhnya telah habis, untuk kemudian disingkirkan sebagai limbah non-radioaktif biasa
d. Limbah kimia
·         Bagi limbah kimia yang tidak berbahaya, penanganannya adalah identik dengan limbah lainnya yang tidak termasuk katagori berbahaya
·         Konsep penanganan limbah kimia yang berbahaya adalah identik dengan penjelasan sebelumnya yang terdapat dalam diktat ini tentang limbah berbahaya
·         Beberapa kemungkinan daur-ulang limbah kimiawi berbahaya misalnya :
-          Solven semacam toluene, xylene, acetone dan alkohol lainnya yang dapat diredistilasi
-          Solven organik lainnya yang tidak toksik atau tidak mengeluarkan produk toksik bila dibakar dapat digunakan sebagai bahan bakar
-          Asam-asam khromik dapat digunakan untuk membersihkan peralatan gelas di laboratorium, atau didaur-ulang untuk mendapatkan khromnya
-          Limbah logam-merkuri dari termometer, manometer dan sebagainya dikumpulkan untuk didaur-ulang; limbah jenis ini dilarang untuk diinsinerasi karena akan menghasilkan gas toksik
-          Larutan-larutan pemerosesan dari radioaktif yang banyak mengandung silver dapat direklamasi secara elektrostatis
-          Batere-batere bekas dikumpulkan sesuai jenisnya untuk didaur-ulang seperti : merkuri, kadmium, nikel dan timbal
·         Insinerator merupakan sarana yang paling sering digunakan dalam menangani limbah jenis ini, baik secara on-site maupun off-site; insinerator tersebut harus dilengkapi dengan sarana pencegah pencemaran udara, sedang residunya yang mungkin mengandung logam-logam berbahaya dibuang ke landfill yang sesusai.
·         Solven yang tidak diredistilasi harus dipisahkan antara solven yang berhalogen dan nonhalogen; solven berhalogen membutuhkan penanganan khusus dan solven non- halogen dapat dibakar pada on-site insinerator
·         Limbah cytotoxic dan obat-obatan genotoxic atau limbah yang terkontaminasi harus dipisahkan, dikemas dan diberi tanda serta dibakar pada insinerator; limbah jenis ini tidak di autoclave karena disamping tidak mengurangi toksiknya juga dapat berbahaya bagi operator
·         Beberapa jenis limbah kimia berbahaya juga dihasilkan dari bagian pelayanan alat-alat kesehatan, misalnya: disinfektan, oli dari trafo dan kapasitor atau dari mikroskop yang mengandung PCB dan sebagainya, sehingga perlu ditangani sesuai jenisnya
e. Limbah berpotensi menularkan penyakit (infectious)
Memerlukan sterilisasi terlebih dahulu atau langsung ditangani pada insinerator ; autoclave tidak dibutuhkan bila limbah tersebut telah diwadahi dan ditangani secara baik sebelum diinsinerasi.
f. Benda-benda tajam
Dikemas dalam kemasan yang dapat melindungi petugas dari bahaya tertusuk, sebelum
dibakar dalam insinerator
g. Limbah farmasi
Obat-obatan yang tidak digunakan dikembalikan pada apotik, sedangkan yang tidak dipakai lagi ditangani secara khusus misalnya diinsinerasi atau di landfilling atau dikembalikan ke pemasok.
h. Kontainer-kontainer di bawah tekanan: di landfilling atau didaur-ulang.

Limbah kimiawi berbahaya yang tidak dapat didaur-ulang segera dipisahkan sesuai dengan jenisnya dan pengolahannya, misalnya melalui sebuah insinerator, karena limbah jenis ini kadangkala toksik dan flammable, sehingga tidak boleh dibuang melalui sistem riolering.





BAB III
KASUS DAN PERMASALAHAN

3.1 Uraian Permasalahan
            Dalam profil kesehatan Indonesia, Departement Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh rumah sakit di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 Rumah Sakit di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 kg pertempat tidur perhari. Analisa lebih jauh menunjukkan produksi sampah (Limbah Padat) berupa limbah domestic sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infeksius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (Limbah Padat) Rumah Sakit sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi Rumah Sakit untuk mencemari lingkungan dan kemungkinan menimbulkan kecelakaan  serta penularan penyakit. Rumah Sakit menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar, beberapa diantaranya membahayakan kesehatan di lingkungannya. Di negara maju, jumlahnya diperkirakan 0,5-0,6 kg per tempat tidur rumah sakit perhari.
            Data P2M-PL menunjukkan, limbah alat suntik di Indonesia khusus untuk imunisasi diperkirakan sekitar 66 juta per tahun. Dari jumlah itu 36,8 juta di antaranya merupakan limbah alat suntik imunisasi bayi, imunisasi ibu hamil/wanita usia subur sekitar 10 juta, imunisasi anak sekolah (BIAS) sekitar 20 juta. Sedangkan limbah alat suntik secara kuratif sekitar 300 juta per tahun.
Selain permasalahan di atas, limbah Rumah Sakit juga mengandung bahan beracun berbahaya Rumah Sakit tidak hanya menghasilkan limbah organik dan anorganik, tetapi juga limbah infeksius yang mengandung bahan beracun berbahaya (B3). Dari keseluruhan limbah rumah sakit, sekitar 10 sampai 15 persen diantaranya merupakan limbah infeksius yang mengandung logam berat, antara lain mercuri (Hg). Sebanyak 40 persen lainnya adalah limbah organik yang berasal dari makanan dan sisa makanan, baik dari pasien dan keluarga pasien maupun dapur gizi. Selanjutnya, sisanya merupakan limbah anorganik dalam bentuk botol bekas infus dan plastik. Temuan ini merupakan hasil penelitian Bapedalda Jabar bekerja sama dengan Departemen Kesehatan RI, serta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selama tahun 1998 sampai tahun 1999. Secara terpisah, mantan Ketua Wahana Lingkungan (Walhi) Jabar, Ikhwan Fauzi mengatakan, volume limbah infeksius dibeberapa rumah sakit bahkan melebihi jumlah yang ditemukan Bapedalda. Limbah infeksius ini lebih banyak ditemukan di beberapa rumah sakit umum, yang pemeliharaan lingkungannya kurang baik (Pristiyanto. D, 2000).

3.2 Kasus Terkait
            Ada beberapa kasus mengenai buruknya penanganan limbah medis di Indonesia. Adanya kasus tersebut menggambarkan dampak negatif dari buruknya penanganan limbah medis di Indonesia. Berikut ini contoh-contoh kasus terkait limbah medis yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber.

Mengelola Limbah Medis

            Langkah sterilisasi merupakan kewajiban rumah sakit. Jika tidak disterilisasi, maka barang-barang itu berbahaya bila disentuh orang. Tak heran bila banyak perawat dan pegawai di RS berisiko tinggi terkena infeksi cemaran limbah ini di tempatnya bekerja.
            Rumah sakit (RS) merupakan tempat untuk menyembuhkan orang sakit. Namun, RS pun bisa menjadi sumber penyakit karena di sana banyak penderita berbagai penyakit, baik menular maupun tak menular. Karena itu, pengelolaan limbah di RS sangat diperlukan, terutama mekanisme agar buangan dari RS tak berdampak bagi para pekerja RS dan lingkungan sekitarnya.
Di RS sering kali terjadi infeksi silang (nosokomial). Sebagai contoh, limbah medis tajam seperti alat suntik. Karena berhubungan langsung dengan penderita, alat itu mengandung mikroorganisme, atau bibit penyakit. Bila pengelolaan pembuangannya tidak benar, alat suntik dapat menularkan penyakit kepada pasien lain, pengunjung RS dan puskesmas, petugas kesehatan, maupun masyarakat umum.
            Kasubdit Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL) Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2M-PL) Departemen Kesehatan, Samilan, mengatakan, pengelolaan limbah RS yang tak baik, sangat berbahaya bagi para pekerja di RS dan lingkungannya, katanya di Jakarta dalam seminar mengenai limbah RS, pekan lalu.

Limbah alat suntik
            Kasubdit Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL) Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2M-PL) Departemen Kesehatan, Samilan, mengungkapkan, RS merupakan tempat yang mudah bagi terjadinya infeksi silang, terlebih limbahnya sangat berbahaya. Salah satu contohnya adalah penggunaan ulang alat suntik. Penyuntikan yang tidak aman dapat menularkan berbagai penyakit terutama hepatitis B, hepatitis C, dan HIV/AIDS.
            Data P2M-PL menunjukkan, limbah alat suntik di Indonesia khusus untuk imunisasi diperkirakan sekitar 66 juta per tahun. Dari jumlah itu 36,8 juta di antaranya merupakan limbah alat suntik imunisasi bayi, imunisasi ibu hamil/wanita usia subur sekitar 10 juta, imunisasi anak sekolah (BIAS) sekitar 20 juta. Sedangkan limbah alat suntik secara kuratif sekitar 300 juta per tahun.
Menurut Soehatman Ramli SKM Dipl SM, staf ahli pusat kajian dan terapan keselamatan dan kesehatan kerja (PKJTK3), limbah RS dikategorikan atas berat, kepadatan, dan kandungannya.
Limbah padat berupa jarum suntik, jaringan, obat-obatan, kotoran manusia, dan lainnya. Juga terdapat limbah cair dan gas. Limbah dari laboratorium paling perlu diwaspadai. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses uji laboratorium tak bisa diurai hanya dengan aerasi atau activated pludge. Bahan-bahan itu mengandung logam berat dan inveksius sehingga harus disterilisasi atau dinormalkan sebelum dilempar menjadi limbah tak berbahaya. Untuk foto rontgen, misalnya, ada cairan tertentu yang mengandung radioaktif cukup berbahaya. Setelah bahan ini digunakan, limbahnya dibuang.
            Pengolahan limbah RS Pengelolaan limbah RS dilakukan dengan berbagai cara. Yang diutamakan adalah sterilisasi, yakni berupa pengurangan (reduce) dalam volume, penggunaan kembali (reuse) dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang (recycle), dan pengolahan (treatment).
Ada dua hal yang penting diperhatikan dalam pengelolaan limbah yaitu mutu dan keamanan. Langkah sterilisasi merupakan kewajiban rumah sakit. Jika tidak disterilisasi, maka barang-barang itu berbahaya bila disentuh orang. Tak heran bila banyak perawat dan pegawai di RS berisiko tinggi terkena infeksi cemaran limbah ini di tempatnya bekerja.
            Salah satu cara mengatasi limbah medis adalah insinerasi atau proses pembakaran. Namun, langkah itu tidak menyelesaikan masalah karena pembakaran hanya mengubah volume limbah menjadi lebih kecil. Belum lagi debu yang juga sangat berbahaya dan harus diimobilisasi atau ditentukan lagi tempat pembuangannya yang kedap air. Debu hasil insinerasi tak terurai dan materi tetap ada dan malah sangat berbahaya.
            Pembakaran barang-barang seperti plastik menghasilkan zat kimia bernama dioksin. ''Dioksin sangat berbahaya,'' kata Winata dari PT Hepasin Media Pratama.
Ada teknologi untuk mengatasi emisi dioksin, yaitu desorpsi suhu rendah sebagai metode pengganti insinerator. Prinsipnya menggunakan metode siklon dan aliran termal. Teknologi ini dikembangkan sendiri dengan sistem rotary carboruzer atau prinsip X-flow. Sistem ini menggunakan titanium oksida untuk mereduksi dioksin.
            Pembakaran, lanjut Eka, digunakan dengan pemanasan tak langsung bersuhu rendah (200 derajat Celsius hingga 350 derajat Celsius). Pemanasan ini tanpa oksidasi sehingga meminimalkan dioksin. Konsumsi bahan bakarnya menerapkan sistem hampa udara.
            Untuk limbah berupa jarum suntik, Presiden Direktur PT MediBest Indonesia, Arief Wibowo menjelaskan, saat ini banyak yang menerapkan disposable (jarum suntik sekali pakai). ''Namun, masih banyak kebiasaan yang sulit dihilangkan, seperti menggunakan kembali jarum tersebut, baru dibuang.''
            Ia mengatakan, tempat pembuangan untuk jarum dan limbah padat lain dari RS pun harus ada standarnya sendiri. Organisasi kesehatan dunia (WHO) mempunyai standar internasional untuk itu. ''Ketebalan, bentuk, dan jenis bahan dari tempat pembuangan sudah ada standarnya,'' lanjut Arief.
            Di Indonesia pada 2003 ada program yang mengembangkan proyek penanganan limbah tajam dengan metode insenerasi di 21 kabupaten dari enam provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Selatan) terutama di pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas). Diharapkan proyek tersebut bisa dikembangkan di seluruh Indonesia.
            Saat ini ada beberapa alat untuk mengatasi limbah berupa jarum suntik. Yaitu, alat pemisah jarum, alat penghancur jarum, tempat pembuangan jarum khusus (needle pit), syringe safety box, dan insinerator SICIM.




Limbah Medis Dibuang ke TPA
TASIKMALAYA, (PR). - Limbah medis, seperti jarum suntik dan jenis limbah infeksius lainnya, masih sering ditemukan bercampur dengan sampah umum atau lolos masuk ke TPA (tempat pembuangan akhir) sampah Ciangir Kota Tasikmalaya. Padahal jenis limbah infeksius yang termasuk kategori berbahaya atau B3 itu seharusnya mendapat perlakuan khusus sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (LH), tidak diperbolehkan dibuang bersama sampah umum.
            Berdasarkan informasi yang diperoleh, lolosnya limbah medis masuk ke TPA Ciangir tersebut telah beberapa kali melukai awak armada pengangkut sampah, pegawai Dinas LH, dan pelayanan kebersihan Kota Tasikmalaya.
            Akibat tusukan jarum suntik bekas itu, sekira empat orang awak armada sampah mengalami luka dan membengkak. Akhirnya mereka tidak bisa beraktivitas dalam rentang waktu lama karena harus mendapat perawatan cukup panjang.
            Namun demikian, belum diketahui secara pasti apakah lolosnya limbah medis tersebut ke TPA Ciangir itu ada unsur kesengajaan atau tidak. Begitupun tempat limbah berasal, belum diketahui secara pasti.
            Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pelayanan Kebersihan Kota Tasikmalaya, Nuryadi, membenarkan masuknya limbah medis itu ke TPA Ciangir. Meski volumenya tidak terlalu besar, namun kekhawatiran berdampak negatif pada lingkungan maupun petugas di lapangan tetap ada. Apalagi sesuai Kepmen LH, jenis limbah itu sudah masuk kategori B3. Limbah medis itu juga sempat beberapa kali mencederai petugas kebersihan di TPA. "Memang beberapa waktu lalu, pernah ada 3-4 kali kejadian. Petugas armada kebersihan terkena tusukan jarum suntik, ada yang kena tangan, ada pula yang kakinya. Asal sumbernya belum pasti, dugaan sih berasal dari rumah sakit," ujarnya.
            Menurut Nuryadi, agar peristiwa itu tidak terulang kembali, pihaknya telah meminta kepada instansi terkait agar tidak membuang limbah medis ke tempat sampah umum. "Kami sudah dua kali menyampaikan nota dinas ke rumah sakit yang ada di Kota Tasikmalaya, baik swasta maupun pemerintah dan pihak terkait lain untuk mengumpulkan dan memusnahkan dengan cara membakar limbah medis yang mereka hasilkan," katanya.
            Dengan surat itu, Nuryadi berharap pihak rumah sakit tidak lagi membuang limbah yang membahayakan masyarakat itu. "Permintaan kami mendapat respons yang baik dari pihak terkait, mudah-mudahan tidak terulang lagi atau ditemukan ada limbah medis di TPA," ungkapnya.

Malang Kebingungan Musnahkan Limbah Medis
Kamis, 02 Juli 2009 | 15:59 WIB
TEMPO Interaktif, Malang - Dinas Kesehatan Kabupaten Malang kebingungan mengatasi limbah medis dari sejumlah rumah sakit dan poliklinik. Terutama limbah padat bekas botol infus, jarum suntik dan peralatan medis serta limbah cair medis lainnya. Dari total sebanyak delapan rumah sakit swasta dan 30 an polklinik belum memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) serta pengolah limbah padat.
            Apalagi, limbah medis padat dikategorikan sebagai bahan berbahaya dan beracun. Sementara, saat ini hanya Rumah Sakit Daerah Kanjuruhan yang memiliki incenerator atau alat pemusnah limbah medis padat dan IPAL. Rata-rata setiap hari memusnahkan sebanyak seribu botol infus dan peralatan medis lainnya. "Itupun kapasitasnya hanya cukup untuk limbah Rumah Sakit Kanjuruhan," kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, Agus Wahyu Arifin, Kamis (2/7). Demikian juga dengan peralatan medis dan limbah padat dari 39 Puskesmas di Kabupaten Malang. Barang tersbeut dimusnahkan secara manual, karena tak memiliki alat pemusnah.
Para pengelola Rumah Sakit swasta ini kebingungan menangani limbah medis padat setelah sejumlah oknum petugas Rumah Sakit Syaiful Anwar Malang diperiksa karena menjual limbah medis seperti botol infus. Ia menduga selama ini, praktik serupa juga dilakukan di Rumah Sakit swasta lainnya. Akibatnya, mereka ketakutan akan dijerat dengan sangkaan hukum pidana yang sama.
            Untuk itu, kini Agus tengah meminta pendapat terhadap pakar lingkungan dan sanitasi. Apakah, limbah medis terhadap upaya penanganan limbah medis padat. Namun, sejauh ini belum ada jawaban yang tepat dan jelas mengenai masalah ini. "Pendapat pakar sanitasi ini akan dijadikan rujukan rumah sakit yang lain," jelasnya.
            Sedang, Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Malang, Subandiyah Aziz mengatakan belum ada aturan terbaru yang mengikat pengolahan limbah medis. Aturan sebelumnya, menyebutkan pengolahan limbah medis menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Namun, seiring bergulirnya reformasi pengolahan limbah medis diserahkan kepada daerah. Awalnya, limbah medis di Jawa Timur dikumpulkan di Pasuruan selanjutnya dimusnahkan di Cileungsi Jawa Barat. "Limbah medis gak boleh dibuang sembarangan, karena beracun dan berbahaya," jelasnya. Menurutnya, limbah medis sangat berbahaya dan berpotensi menularkan berbagai penyakit seperti HIV/IDS, Hepatitis B dan Hepatitis C. Untuk itu, harus dilakukan langkah pencegahan dengan memusnahkan seluruh limbah medis secara aman.
            Dikatakan, penanganan limbah medis memerlukan perlakuan khusus, tidak bisa dibuang langsung ke tempat sampah. Idealnya, limbah jenis ini dimusnahkan dengan cara dipanaskan dengan suhu tinggi sampai hancur. Pemkot Tasikmalaya saat ini sudah memiliki alat penghancur limbah seperti itu dan telah terpasang di lokasi sekitar TPA.
Bila sudah beroperasi, limbah medis dari rumah-rumah sakit bisa dimusnahkan dengan alat yang mampu menghasilkan panas hingga 1.600 - 1.800 C itu. "Sekarang alat pemusnah itu sudah terpasang, dan tidak lama lagi akan dioperasikan. Kami juga sudah mencapai kesepakatan dengan semua pihak penghasil limbah medis. Pemusnahan limbah nantinya akan menggunakan alat tersebut," ungkapnya.
( Sumber: www.pikiran-rakyat.com / 07 – 04 – 2005 )

Limbah Rumah Sakit Belum Dikelola dengan Baik
Gizi.net - Dari 107 RS di Jakarta, Baru 10 RS yang Punya Insinerator Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis.
            Kepala Pusat Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia Dr Setyo Sarwanto DEA mengutarakan hal itu kepada Pembaruan, Kamis pekan lalu, di Jakarta. Ia mengatakan, rata-rata pengelolaan limbah medis di rumah sakit belum dilakukan dengan benar. Limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi, limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium.
Limbah infeksius misalnya jaringan tubuh yang terinfeksi kuman. Limbah jenis itu seharusnya dibakar, bukan dikubur, apalagi dibuang ke septic tank. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuang-an seperti itu.
            Septic tank yang benar, ujar Setyo, terdiri atas dua bidang. Pertama, sebagai penampung, dan kedua sebagai tempat penguraian limbah. Setelah limbah terurai, disalurkan melalui pipa ke tanah yang di dalamnya berisi pasir dan kerikil. Tujuannya agar aman terhadap lingkungan.
Kenyataannya, banyak tangki pembuangan sebagai tempat pembuangan limbah yang tidak memenuhi syarat. Hal itu akan menyebabkan pencemaran, khususnya pada air tanah yang banyak dipergunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Setyo menyebutkan, buruknya pengelolaan limbah rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar.            Berdasarkan peraturan itu, limbah nonmedis dibungkus dengan plastik berwarna hitam, sementara limbah medis dibungkus dengan plastik berwarna seperti kuning, merah. Tetapi, karena harga plastik pun mahal, sudah tidak ada lagi pembedaan kemasan limbah rumah sakit, sehingga limbah medis pun bercampur dengan limbah nonmedis. Limbah nonmedis diperlakukan sama dengan limbah padat lainnya. Artinya, dikelola Dinas Kesehatan dan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah seperti di Bantar Gebang Bekasi.
"Percampuran limbah itu membuat sering ditemukan limbah medis di TPA, seperti botol infus, jarum suntik. Bagi pemulung plastik limbah medis, itu dianggap bisa didaur ulang, sehingga mereka mengumpulkan alat suntik itu. Sedangkan hewan di sekitar itu, misalnya kucing memakan limbah medis yang mengandung berbagai kuman yang akan berisiko pada manusia bila kucing tersebut menggigit. Itu membuat masalah limbah medis semakin besar," katanya. Ia menjelaskan, untuk limbah medis yang infeksius, berupa cairan, seharusnya dibakar dengan insinerator yang benar. Artinya, insinerator menggunakan suhu lebih dari 1.200 derajat Celsius, dan dilengkapi dengan pengisap pencemar/gas berbahaya yang muncul dari hasil pembakaran.
Abu dari hasil pembakaran distabilkan agar unsur logam dalam bentuk partikel yang terdapat pada abu tidak menjadi bahan toksik/karsinogen. Dengan perkataan lain, limbah infeksius diberlakukan sebagai limbah bahahan berbahaya (B3). Ia mencontohkan, tumor yang sudah diangkat dari pasien hendaknya dibakar dengan insinerator.
"Bukan dibakar dengan pembakaran biasa," ia menegaskan. Tetapi, pengelolaan abu dari pembakaran insinerator baru dapat dilakukan satu perusahaan swasta yang berlokasi di Cileungsi. Kondisi itu membuat permasalahan pengelolaan limbah medis infeksius di daerah. Untuk limbah radiologi, ujarnya, dilakukan oleh Badan Tenaga Atom Nasional (Batan). Setyo juga menjelaskan, dari sekitar 107 rumah sakit di Jakarta, baru sekitar 10 rumah sakit yang mempunyai insinerator, dan itu pun tidak semuanya insinerator yang benar.
            Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama Departemen Kesehatan pada 1997 pernah melakukan survei pengelolaan limbah di 88 rumah sakit di luar Kota Jakarta. Berdasarkan kriteria WHO, pengelolaan limbah rumah sakit yang baik bila persentase limbah medis 15 persen. Tetapi, di Indonesia mencapai 23,3 persen. Survei juga menemukan rumah sakit yang memisahkan limbah 80,7 persen, melakukan pewadahan 20,5 persen, pengangkutan 72,7 persen. Sedangkan pengelolaan limbah dengan insinerator untuk limbah infeksius 62 persen, limbah toksik 51,1 persen, limbah radioaktif di Batan 37
%.

Incinerator Medis Alat Pengolahan Sampah Klinik/Puskesmas/Rumah Sakit
            Dewasa ini limbah merupakan masalah yang cukup  serius, terutama dikota-kota besar. Sehingga banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah, swasta maupun secara swadaya oleh masyarakat untuk menanggulanginya, dengan cara mengurangi, mendaur ulang maupun memusnahkannya. Namun semua itu hanya bisa dilakukan bagi limbah yang dihasilkan oleh rumah tangga saja. Lain halnya dengan limbah yang di hasilkan dari upaya medis seperti Puskesmas, Poliklinik, dan Rumah Sakit. Karena jenis limbah yang dihasilkan termasuk dalam kategori biohazard  yaitu jenis limbah yang sangat membahayakan lingkungan, dimana disana banyak terdapat buangan virus, bakteri maupun zat zat yang membahayakan lainnya, sehingga harus dimusnahkan dengan jalan dibakar dalam suhu diatas 800 derajat celcius
Oleh karena itu penangannannya pun haruslah memakai alat khusus yang memiliki kriteria kriteria yang ditentukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang diantaranya adalah sebagai berikut:
·         Pengurangan sampah yang efektif
·         Lokasi jauh dari area penduduk
·         Adanya sistem pemisahan sampah
·         Desain yang bagus
·         Pembakaran sampah mencapai suhu 1000 derajat
·         Emisi gas buang memenuhi standar baku mutu.
·         Perawatan yang teratur/periodik
·         Pelatihan Staf dan Manajemen
            Namun umumnya alat ini didatangkan dari luar negeri yang harganya mencapai milyaran rupiah, serta membutuhkan tenaga operator maupun teknisi yang terdidik dan terlatih. Namun dalam pengoperasiannya cukup memakan biaya besar karena dalam proses pemusnahan limbah membutuhkan bahan bakar dan listrik yang cukup besar secara kontinyu. Selain itu komponen alat tidak mudah didapatkan di pasaran dalam negeri. Sehingga cukup merepotkan takala terjadi kerusakan.

BAB IV
PEMBAHASAN

            Limbah medis sangat penting untuk dikelola secara benar, hal ini mengingat limbah medis termasuk kedalam kategori limbah berbahaya dan beracun. Sebagian limbah medis termasuk kedalam kategori limbah berbahaya dan sebagian lagi termasuk kategori infeksius. Limbah medis berbahaya yang berupa limbah kimiawi, limbah farmasi, logam berat, limbah genotoxic dan wadah bertekanan masih banyak yang belum dikelola dengan baik. Sedangkan limbah infeksius merupakan limbah yang bisa menjadi sumber penyebaran penyakit baik kepada petugas, pasien, pengunjung ataupun masyarakat di sekitar lingkungan rumah sakit. Limbah infeksius biasanya berupa jaringan tubuh pasien, jarum suntik, darah, perban, biakan kultur, bahan atau perlengkapan yang bersentuhan dengan penyakit menular atau media lainnya yang diperkirakan tercemari oleh penyakit pasien. Pengelolaan lingkungan yang tidak tepat akan beresiko terhadap penularan penyakit. Beberapa resiko kesehatan yang mungkin ditimbulkan akibat keberadaan rumah sakit antara lain: penyakit menular (hepatitis, diare, campak, AIDS, influenza), bahaya radiasi (kanker, kelainan organ genetik) dan resiko bahaya kimia.

4.1 Limbah Infeksius
            Limbah infeksius yang dihasilkan dari rumah sakit biasanya berupa alat-alat kedokteran seperti perban, salep, serta suntikan bekas (tidak termasuk tabung infus), darah, dan sebagainya. Pada suatu penelitian, hampir di setiap tempat sampah di sebuah rumah sakit ditemukan bekas dan sisa makanan (limbah organik), limbah infeksius, dan limbah organik berupa botol bekas infus. Semua itu terdapat dalam tempat sampah yang sama. Berarti telah terjadi pencampuran antara limbah rumah tangga yang dihasilkan rumah sakit dengan limbah infeksius yang tingkat bahayanya lebih tinggi. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis.
            Rata-rata pengelolaan limbah medis di rumah sakit belum dilakukan dengan benar. Limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis. Limbah infeksius, misalnya jaringan tubuh yang terinfeksi kuman, seharusnya dibakar, bukan dikubur begitu saja, apalagi dibuang ke septic tank. Padahal septic tank di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah.
            Kenyataannya, banyak tangki pembuangan sebagai tempat pembuangan limbah yang tidak memenuhi syarat. Hal itu akan menyebabkan pencemaran, khususnya pada air tanah yang banyak dipergunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Buruknya pengelolaan limbah rumah sakit dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :
a.      pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit
b.      peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar

4.2 Jarum Suntik
            Salah satu dari limbah medis yang perlu diperhatikan penanganan limbahnya adalah jarum suntik. Jarum hipodermik atau jarum suntik  adalah jarum yang secara umum digunakan dengan alat suntik untuk menyuntikkan suatu zat ke dalam tubuh. Jarum ini juga dapat digunakan untuk mengambil sampel zat cair dari tubuh, contohnya mengambil darah dari urat darah halus pada venipuntur.
Jarum hipodermik digunakan untuk memasukkan obat, atau ketika zat yang disuntikkan tidak bisa ditelan, maupun karena tidak akan diserap (seperti insulin), atau karena akan melukai hati. 
            Namun, jika jarum ini pernah digunakan oleh orang yang mengidap HIV/AIDS, jarum yang pernah digunakan tersebut digunakan lagi oleh orang yang tidak terkena HIV/AIDS, maka orang tersebut akan terkena infeksi HIV. Jarum ini juga merupakan salah satu rute masuknya HIV ke tubuh manusia.
            Jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia tiap tahun semakin meningkat. Hal itu terbukti dari data jumlah estimasi kasus HIV/AIDS yang dimiliki Departemen Kesehatan, tahun 2004 sebanyak 1.196 kasus, tahun 2005 sebanyak 2.038 kasus, tahun 2006 sebanyak 2.373 kasus, dan tahun 2007 yaitu 2.547 kasus. Lima tahun terakhir, kasus AIDS terbanyak disebabkan karena penggunaan jarum suntik untuk narkoba. Kasus terbesar berada di wilayah Jakarta, dimana 80 persen orang yang memakai jarum suntik dan berbagi pemakaian secara bebas, 100 persennya dipastikan terkena AIDS. Tidak hanya di Jakarta, tetapi di beberapa daerah di Indonesia, seperti Malang,Cirebon,Jambi,Tasikmalaya, dan lain-lainnya, jarum suntik bekas telah menjadi penyebab utama penularan HIV-AIDS.
            Jarum suntik bekas juga hendaknya jangan secara sembarangan dibuang ke Tempat Pengolahan Akhir (TPA). Ada beberapa kasus yang menyebutkan bahwa beberapa pemulung terinfeksi penyakit akibat tertusuk jarum suntik bekas yang ditemukan di TPA, bahkan ada yang harus diamputasi tangannya. Jarum suntik yang dibuang ke TPA terkadang diambil kembali oleh beberapa orang dan dijual sebagai mainan di beberapa sekolah dasar. Hal ini tentu saja berbahaya mengingat kita tidak mengetahui ada zat atau penyakit apa yang ada di dalam jarum suntik tersebut.
            Dalam pengelolaan limbah padatnya, rumah sakit diwajibkan melakukan pemilahan limbah dan menyimpannya dalam kantong plastik yang berbeda beda berdasarkan karakteristik limbahnya. Limbah domestik di masukkan kedalam plastik berwarna hitam, limbah infeksius kedalam kantong plastik berwarna kuning, limbah sitotoksic kedalam warna kuning, limbah kimia/farmasi kedalam kantong plastik berwarna coklat dan limbah radio aktif kedalam kantong warna merah. Disamping itu rumah sakit diwajibkan memiliki tempat penyimpanan sementara limbahnya sesuai persyaratan yang ditetapkan dalam Kepdal 01 tahun 1995. Pengelolaan limbah infeksius dengan menggunakan incinerator harus memenuhi beberapa persyaratan seperti yang tercantum dalam Keputusan Bapedal No 03 tahun 1995. Peraturan tersebut mengatur tentang kualitas incinerator dan emisi yang dikeluarkannya. Incinerator yang diperbolehkan untuk digunakan sebagai penghancur limbah B3 harus memiliki efisiensi pembakaran dan  efisiensi penghancuran / penghilangan (Destruction Reduction Efisience) yang tinggi.

Baku Mutu DRE untuk Incinerator

No
Parameter
Baku Mutu DRE

1.
POHCs
99.99%
2.
Polychlorinated biphenil (PCBs)
99.9999%
3.
Polychlorinated dibenzofuran (PCDFs)
99.9999%
4.
Polychlorinated dibenzo-p-dioksin
99.9999%

            Disamping itu, persyaratan lain yang harus dipenuhi dalam menjalankan incinerator adalah emisi udara yang dikeluarkannya harus sesuai dengan baku mutu emisi untuk incinerator.
Baku Mutu Emisi Udara untuk Incinerator

No
Parameter
Kadar Maksimum (mg/Nm2)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12
13
14
Partikel
Sulfur dioksida (SO2)
Nitrogen dioksida (NO2)
Hidrogen Fluorida (HF)
Karbon Monoksida (CO)
Hidrogen Chlorida (HCl)
Total Hidrocarbon (sbg CH4)
Arsen (As)
Kadmiun (Cd)
Kromium (Cr)
Timbal (Pb)
Merkuri (Hg)
Talium (Tl)
Opasitas
50
250
300
10
100
70
35
1
0.2
1
5
0.2
0.2
10%

            Dalam penangan limbah medis ini rumah sakit dapat mengelolanya sendiri atau dikelola oleh rumah sakit lain atau pengelola lain yang sudah memperoleh izin dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
            Beberapa rumah sakit besar yang sudah menggunakan incinerator untuk mengolah limbah padat medisnya, incinerator menimbulkan masalah seperti asap yang menyebar luas ke daerah sekitar, bau yang menyengat, dan pembakaran yang tidak sempurna akan menghasilkan gas dioksin yang berbahaya. Kristal putih hasil pembakaran terbukti mengandung 300 senyawa berbahaya, di antaranya TCDD (tetra chloro difensopora dioksin) senyawa beracun. Sementara rumah sakit kecil yang tidak memiliki biaya untuk membeli incinerator hanya membuang limbah jarum suntik ke tempat sampah umum yang jelas sangat berbahaya apabila disalah gunakan oleh penduduk sekitar.
            Cara praktis untuk menangani limbah jarum suntik adalah dengan menggunakan alat needle destroyer. Cara penggunaannya dengan memasukkan jarum suntik bekas ke dalam lubang aluminium di dalam alat maka mesin akan melelehkan jarum dan menjadi steril.

            Penanganan limbah jarum suntik, salah satunya seperti yang dijalankan Rumah Sakit Hasan Sadikin saat ini adalah melakukan kerja sama dengan pihak ketiga,yaitu Perusahaan Rekayasa Hijau yang berlokasi di Bandung. Oleh PT.Rekayasa Hijau Indonesia sampah medis tersebut dibakar di RS Pasir Jung Hun, Pangalengan. Setiap tahun perusahaan tersebut melaporkan hasil pengukuran residu pembakaran. Ini untuk mengetahui incenerator yang digunakan masih baik dan tidak melewati ambang batas yang ditetapkan WHO mengenai incenerator. Bahkan, pihak RSHS juga setiap bulannya melakukan kunjungan ke lokasi untuk memastikan pengolahan limbah ditangani secara benar dan profesional. Beberapa rumah sakit lain juga melakukan kerjasama dengan PPLI setempat untuk pengolahan limbah B3 nya.

4.3 Limbah Farmasi
            Limbah cair, seperti limbah farmasi, yang dihasilkan dari sebuah rumah sakit umumnya banyak mengandung bakteri, virus, senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat sekitar rumah sakit tersebut. Banyak pihak yang menyadari tentang bahaya ini, namun lemahnya peraturan pemerintah tentang pengelolaan limbah rumah sakit mengakibatkan hanya sedikit rumah sakit yang memiliki IPAL khusus pengolahan limbah cairnya sampai saat ini.
            Idealnya obat-obatan dibuang dengan menggunakan insinerasi suhu tinggi (misalnya, lebih dari 1.200˚C). Fasilitas insinerasi seperti itu, yang dilengkapi dengan pengendali emisi yang memadai biasa ditemukan di negara-negara industri. Biaya pembuangan limbah farmasi dengan cara tersebut di Kroasia dan Bosnia dan Herzegovina berkisar antara US$ 2.2/kg hingga US$ 4.1/kg. Untuk menginsinerasi jumlah limbah farmasi yang ada di Kroasia akan membutuhkan biaya antara US$ 4.4 juta hingga US$ 8.2 juta.
Pengolahan limbah farmasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya :

a.      Imobilisasi limbah : enkapsulasi
            Enkapsulasi berarti peng-imobilisasi-an obat-obatan dengan memadatkannya dalam tong plastik atau besi. Sebelum dipergunakan, tong harus dibersihkan dan kandungan sebelumnya harus bukan berupa bahan yang mudah meledak atau berbahaya. Tong tersebut diisi hingga memenuhi 75% kapasitasnya dengan obat-obatan padat atau setengah padat, kemudian sisa ruang dipenuhi dengan menuangkan bahan-bahan seperti semen atau campuran semen dengan kapur, busa plastik atau pasir batu bara. Untuk memudahkan dan mempercepat pengisian, tutup tong harus dipotong hingga terbuka kemudian dilipat ke belakang.
            Penempatan obat-obatan ke dalam tong harus berhati-hati agar tidak terpotong. Bila tong telah terisi hingga 75% kapasitasnya, tambahkan campuran kapur, semen dan air dengan perbandingan 15:15:5 (berat) hingga tong terisi penuh. Untuk memperoleh cairan dengan konsistensi yang diinginkan, kadangkala diperlukan air yang lebih banyak. Kemudian tutup tong besi dilipat kembali ke tempatnya dan disegel, sebaiknya dengan dikelim atau pengelasan. Tong yang sudah disegel kemudian harus ditempatkan di dasar lubang pembuangan dan ditutupi dengan sampah padat rumah tangga. Agar mudah dipindahkan, tong dapat ditempatkan di atas pallet kemudian diletakkan ke pemindah pallet.

b.      Imobilisasi : insinerasi
            Inersiasi merupakan varian enkapsulasi yang meliputi pelepasan bahan-bahan pembungkus, kertas, karton dan plastik dari obat-obatan. Pil harus dilepaskan dari blisternya. Obat-obatan tersebut lalu ditanam kemudian ditambahkan campuran air, semen dan kapur hingga terbentuk pasta yang homogen. Pekerja perlu dilindungi dengan penggunaan pakaian pelindung dan masker terhadap risiko timbulnya debu. Pasta tersebut kemudian dipindahkan dalam keadaan cair dengan mempergunakan truk pengaduk konstruksi ke tempat pembuangan dan dituang ke dalam tempat pembuangan sampah biasa. Pasta akan berubah menjadi massa padat yang bercampur dengan limbah rumah tangga. Proses ini relatif murah dan dapat dilaksanakan tanpa peralatan canggih. Yang perlu disediakan adalah alat penggiling untuk menghancurkan obat-obatan, alat pengaduk konstruksi, serta sejumlah semen, kapur dan air.
Perbandingan berat yang digunakan adalah sebagai berikut:
Obat-obatan    : 65%
Kapur               : 15%
Semen             : 15%
Air                   : 5% atau lebih untuk mendapatkan konsistensi cairan yang sesuai.

c.       Pembuangan melalui saluran pembuangan air
            Beberapa obat-obatan cair seperti sirup dan cairan intravena dapat dilarutkan ke dalam air dan dibuang ke saluran pembuangan air sedikit demi sedikit selama periode tertentu tanpa memberikan dampak serius terhadap kesehatan masyarakat atau lingkungan. Air yang mengalir dengan deras dapat juga dipergunakan untuk membilas sejumlah kecil obat-obatan atau anti septik cair yang telah diencerkan dengan baik. Pada keadaan dimana terjadi kerusakan saluran pembuangan air, mungkin dibutuhkan bantuan dari ahli hidrogeologi atau ahli teknologi kesehatan.

d.      Pembakaran dalam wadah terbuka
            Obat-obatan tidak boleh dihancurkan dengan cara pembakaran bersuhu rendah dalam wadah terbuka karena polutan beracun dapat dilepaskan ke udara. Kemasan kertas dan karton jika tidak hendak didaur-ulang dapat dibakar. Plastik polivinil klorida (PVC) tidak boleh dibakar. Meskipun pembakaran limbah farmasi bukan merupakan metoda pembuangan yang disarankan, pada kenyataannya hal tersebut seringkali dilakukan. Sangat dianjurkan bahwa pembuangan limbah farmasi dengan cara ini hanya untuk jumlah yang sangat sedikit.
            Limbah padat obat-obatan harus dibuang di dasar tempat penimbunan sampah dan segera ditutupi dengan limbah rumah tangga yang baru. Tindakan pengamanan untuk mencegah pemulungan harus dilakukan. Obat-obatan yang tergolong bahan organik yang langsung mengalami biodegradasi dalam bentuk padat atau setengah padat, seperti vitamin juga dapat langsung dibuang ke tempat penimbunan sampah.
            Obat-obatan padat, setengah padat dan tepung harus dilepaskan dari kemasan luarnya namun tetap dalam kemasan bagian dalam kemudian ditempatkan pada tong plastik atau besi yang bersih untuk tindakan enkapsulasi. Pembuangan kemasan luar akan sangat mengurangi volume untuk metoda pembuangan secara enkapsulasi. Sejumlah kecil obat-obatan yang masih berada dalam kemasannya dapat langsung dibuang ke tempat penimbunan sampah seperti telah dijelaskan sebelumnya dan langsung ditutupi dengan sampah rumah tangga. Kemasan luar dibuang sebagai bahan bukan obat dan non kimia dengan cara didaur-ulang atau dibakar.
            Obat-obatan yang dapat digolongkan sebagai bahan organik yang langsung mengalami biodegradasi seperti vitamin cair ini dapat langsung diencerkan dan dibuang ke saluran pembuangan air. Berbagai larutan tidak berbahaya yaitu garam-garam tertentu, asam amino, lipid atau glukosa dalam berbagai konsentrasi juga dapat langsung dibuang ke saluran pembuangan air.
            Sejumlah kecil obat-obatan berbentuk cairan lainnya yang tidak termasuk zat pengendali, obat-obatan anti infeksi, atau anti keganasan dapat langsung dibuang ke saluran pembuangan air. Jika tidak terdapat saluran pembuangan air atau atau sistem pengolahan air limbah tidak berfungsi, obat-obatan cair dapat terlebih dahulu diencerkan dengan air dalam jumlah yang besar dan dituang ke aliran air yang besar dengan harapan obat-obatan tersebut akan segera bercampur dan diencerkan oleh air sungai yang mengalir.
            Limbah farmasi berbentuk cair dapat dibuang menggunakan prosedur enkapsulasi dengan semen, insinerasi suhu tinggi atau pembakaran semen. Pembuangan obat-obatan berbentuk cair, dilarutkan maupun tidak ke air permukaan yang mengalir lambat atau tidak mengalir tidak boleh dilakukan.
            Obat-obatan anti infeksi tidak boleh langsung dibuang. Obat-obatan tersebut biasanya tidak stabil dan sebaiknya diinsinerasi atau jika hal itu tidak mungkin dilakukan enkapsulasi atau inersiasi. Obat-obatan anti infeksi berbentuk cair dapat diencerkan dengan air, dibiarkan selama dua minggu baru dibuang ke saluran pembuangan air.
            Disinfektan biasanya tidak memiliki batas waktu penggunaan. Bahan tersebut dapat disimpan dan dipergunakan secara bertahan sepanjang waktu sehingga praktis tidak terdapat kebutuhan untuk membuangnya. Disinfektan dalam jumlah banyak tidak boleh dibuang ke saluran pembuangan air karena dapat mematikan bakteri dalam saluran tersebut dan menghentikan proses biologis dalam saluran pembuangan. Demikian juga halnya pembuangan ke aliran air karena disinfektan akan merusak kehidupan dalam air. Disinfektan yang telah dilarutkan dalam jumlah kecil dapat dibuang ke saluran pembuangan air asalkan diawasi oleh seorang ahli farmasi dan jumlahnya dikendalikan secara ketat. Pedoman ini menganjurkan 50 liter per hari, dan pembuangan dilakukan secara merata sepanjang hari.
            Jika memungkinkan, disinfektan sebaiknya dimanfaatkan, misalnya untuk pembersihan toilet di rumah sakit. Beberapa disinfektan yang memiliki kemampuan bakterisida dan anti viral yang kuat seperti Lisol (asam kresilat 50%) memiliki waktu kadaluarsa. Jika tanggal tersebut telah terlewati bahan-bahan tersebut masih dapat dipergunakan untuk disinfeksi secara umum dengan pengenceran tertentu yang dilakukan oleh seorang ahli kimia, atau dibuang ke fasilitas pembuangan limbah kimia atau tempat pembakaran semen. Banyak negara tidak memiliki fasilitas pembuangan limbah kimia sehingga bahan-bahan tersebut dapat dikirim ke luar negeri. Namun demikian hal itu merupakan cara yang mahal dan sulit dan sebaiknya baru dipikirkan hanya jika tidak ada alternatif lain.

4.4 Limbah Organ Tubuh
Limbah Patologis adalah limbah jaringan atau potongan tubuh manusia, contoh bagian tubuh, darah dan cairan tubuh yang lain termasuk janin. Limbah ini termasuk limbah infeksius, misalnya jaringan tubuh yang terinfeksi kuman. Limbah jenis itu seharusnya dibakar, bukan dikubur, apalagi dibuang ke septic tank. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti itu.
Namun insinerasi dan proses pembakaran itu juga tidak menyelesaikan masalah karena pembakaran hanya mengubah volume limbah menjadi lebih kecil. Belum lagi debu yang juga sangat berbahaya dan harus diimobilisasi atau ditentukan lagi tempat pembuangannya yang kedap air. Debu hasil insinerasi tak terurai dan materi tetap ada dan malah sangat berbahaya. Pembakaran barang-barang seperti plastik menghasilkan zat kimia bernama dioksin. ''Dioksin sangat berbahaya,'' kata Winata dari PT Hepasin Media Pratama. 
Kenyataannya, banyak tangki pembuangan sebagai tempat pembuangan limbah yang tidak memenuhi syarat. Hal itu akan menyebabkan pencemaran, khususnya pada air tanah yang banyak dipergunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari.
Sedangkan hewan di sekitar itu, misalnya kucing memakan limbah medis yang mengandung berbagai kuman yang akan berisiko pada manusia bila kucing tersebut menggigit. Itu membuat masalah limbah medis semakin besar," katanya. Ia menjelaskan, untuk limbah medis yang infeksius, berupa cairan, seharusnya dibakar dengan insinerator yang benar. Artinya, insinerator menggunakan suhu lebih dari 1.200˚C dan dilengkapi dengan pengisap pencemar/gas berbahaya yang muncul dari hasil pembakaran.



BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Meningkatnya jumlah Rumah Sakit guna meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat meningkatkan timbulan limbah medis yang kualitas efluennya harus diperhatikan pengelolaannya sebelum dibuang agar tidak membahayakan manusia maupun lingkungan. Limbah medis tergolong limbah infeksius karena mengandung bakteri, virus, bahan radioaktif.
Permasalahan limbah rumah sakit di Indonesia yakni limbah rumah sakit yang dihasilkan diperkirakan secara nasional produksi sampah (Limbah Padat) sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Angka ini sangat berpotensi limbah rumah sakit untuk mecemari lingkungan dan membahayakan manusia bila tidak dikelola dengan baik, seperti beberapa kasus limbah medis yang sudah terjadi di Indonesia akibat penanganan yang buruk. Buruknya pengelolaan limbah rumah sakit dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :
a.      pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit
b.      peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar
Sebelum ditangani limbah medis dan limbah nonmedis harus dipisahkan terlebih dahulu untuk menghindari pencampuran antara limbah medis dan nonmedis. Pengolahan limbah RS dilakukan dengan berbagai cara. Yang diutamakan adalah sterilisasi, yakni berupa pengurangan (reduce) dalam volume, penggunaan kembali (reuse) dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang (recycle), dan pengolahan (treatment). Sterilisasi dapat juga dilakukan dengan insenerator. Namun abu dari insenerator juga dapat membahayakan sehingga perlu dilakukan pengelolaan lanjutan.
Dalam pengelolaan limbah padatnya, rumah sakit diwajibkan melakukan pemilahan limbah dan menyimpannya dalam kantong plastik yang berbeda beda berdasarkan karakteristik limbahnya. Limbah domestik di masukkan kedalam plastik berwarna hitam, limbah infeksius kedalam kantong plastik berwarna kuning, limbah sitotoksic kedalam warna kuning, limbah kimia/farmasi kedalam kantong plastik berwarna coklat dan limbah radio aktif kedalam kantong warna merah. Disamping itu rumah sakit diwajibkan memiliki tempat penyimpanan sementara limbahnya sesuai persyaratan yang ditetapkan dalam Kepdal 01 tahun 1995. Pengelolaan limbah infeksius dengan menggunakan incinerator harus memenuhi beberapa persyaratan seperti yang tercantum dalam Keputusan Bapedal No 03 tahun 1995. Peraturan tersebut mengatur tentang kualitas incinerator dan emisi yang dikeluarkannya. Incinerator yang diperbolehkan untuk digunakan sebagai penghancur limbah B3 harus memiliki efisiensi pembakaran dan  efisiensi penghancuran / penghilangan (Destruction Reduction Efisience) yang tinggi.
5.2 Saran
Pengelolaan limbah di Rumah Sakit sangat diperlukan, terutama mekanisme agar buangan dari RS tak berdampak bagi para pekerja RS dan lingkungan sekitarnya. Dalam pengelolaan limbah Rumah Sakit perlu ditangani sesuai dengan kategorinya. Penanganan limbah medis memerlukan perlakuan khusus, tidak bisa dibuang langsung ke tempat sampah . Daur ulang sebisa mungkin diterapkan pada setiap kesempatan, bergantung pada potensi daur ulang limbah itu sendiri. Tempat pembuangan limbah dari Rumah Sakit pun harus mengikuti standar yang telah ditentukan. Untuk penanganan limbah yang infeksius dan limbah Rumah sakit berbahaya lainnya yang diharuskan diinsenerasi, diperlukan insinerator menggunakan suhu lebih dari 1.200 derajat Celsius, dan dilengkapi dengan pengisap pencemar atau gas berbahaya yang muncul dari hasil pembakaran.
 Untuk memudahkan pengenalan berbagai jenis limbah yang akan dibuang, digunakan pemisahan dengan kantong-kantong yang spesifik (biasanya dengan warna yang berbeda atau dengan pemberian label. Kontainer pengangkut limbah rumah sakit harus ditutup dengan baik sebelum diangkut. Bila digunakan kantong dan terlebih dahulu harus masuk autoclave, maka kantong-kantong itu harus bisa ditembus oleh uap sehingga sterilisasi dapat berlangsung sempurna. Mobilitas dan transportasi limbah baik internal maupun eksternal hendaknya dipertimbangkan sebagai bagian menyeluruh dari sistem pengelolaaan dari institusi tersebut.
Pengelolaan limbah Rumah sakit sebaiknya memikliki prosedur sebagai berikut :
a.      Pemisahan limbah
Limbah harus dipisahkan dari sumbernya. Semua limbah beresiko tinggi hendaknya diberi label jelas Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda, yang menunjukkan ke mana plastik harus diangkut untuk insinerasi atau dibuang. Di beberapa negara, kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai ganti dapat digunakan kantung kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal sehingga dapat diperoleh dengan mudah). Kantung kertas ini dapat ditempeli dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan di tong dengan kode warna dibangsal dan unit-unit lain
b.      Penyimpanan limbah
Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3 bagian. Kemudian diikat bagian atasnya dan diberi label yang jelas. Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga kalau dibawa mengayun menjauhi badan, dan diletakkan di tempat-temapt tertentu untuk dikumpulkan. Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang sama telah dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai. Kantung harus disimpan di kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak sebelum diangkut ke tempat pembuangannya
c.       Penanganan limbah
Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bile telah ditutup. Kantung dipegang pada lehernya. Petugas harus mengenakan pakaian pelindung, misalnya dengan memakai sarung tangan yang kuat dan pakaian terusan (overal), pada waktu mengangkut kantong tersebut. Jika terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan kantung baru yang bersih untuk membungkus kantung baru yang kotor tersebut seisinya (double bagging). Petugas diharuskan melapor jika menemukan benda-benda tajam yang dapat mencederainya di dalma kantung yang salah. Tidak ada seorang pun yang boleh memasukkan tangannya kedalam kantung limbah
d.      Pengangkutan limbah
Kantung limbah dikumpulkan dan seklaigus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah bagian bukan klinik misalnya dibawa ke kompaktor, limbah bagian klinik dibawa ke insinerator. Pengankutan dengan kendaran khusus (mungkin ada kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum) kendaraan yang digunakan untuk mengankut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan tiap hari, kalau perlu (misalnya bila ada kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.
e.      Pembuangan limbah
Setelah dimanfaatkan dengan kompaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat penimbunan sampah (land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insinerasi), jika tidak mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk. Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan ditanam. Langkah-langkah pengapuran (liming) tersebut meliputi yang berikut.
·         Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter
·         Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm
·         Tambahkan lapisan kapur
·         Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditambahkan sampai ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah
·         Akhirnya lubang tersebut harus ditutup dengan tanah









DAFTAR PUSTAKA

Prof Damanhuri, Enri. 2010. Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun. Progam Sarjana Teknik Lingkungan FTSP ITB
BAPEDAL. 1999. Peraturan tentang Pengendalian Dampak Lingkungan.
Depkes RI. 2002. Pedoman Umum Hygene Sarana dan Bangunan Umum.
Departemen Kesehatan RI. 1992. Peraturan Proses Pembungkusan Limbah Padat.
Departement Kesehatan RI. 1997. Profil Kesehatan Indonesia.
Sarwanto, Setyo. 2009. Limbah Rumah Sakit Belu Dikelolah Dengan Baik. Jakarta : UI Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1995. Pedoman Teknik Analisa Mengenai dampak Lingkungan Rumah Sakit.
Moersidik, S.S. 1995, Pengelolaan Limbah Teknologi Pengelolaan Limbah Rumah Sakit dalam Sanitasi Rumah Sakit, Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Depok.
www.pikiran-rakyat.com, diakses 11 April 2010

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes