BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas merupakan akar dari semua persoalan bangsa kita dewasa ini. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka harus diambil langkah-langkah jangka panjang seperti, membangun dan mengembangkan mental SDM yang mandiri, dan berjiwa kompetitif. Pendidikan merupakan salah satu sarana mewujudkan upaya pengembangan SDM tersebut. Oleh sebab itu pemerintah perlu menjadikan aspek pendidikan sebagai prioritas utama dalam merencanakan program kerja pembangunan kedepan. Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menaikkan anggaran pelaksanaan pendidikan di wilayah-wilayah yang sedang berkembang serta melakukan evaluasi terhadap program pendidikan yang telah dilaksanakan, guna menemukan kelemahan pelaksanaan pendidikan masa sekarang dan menemukan jalan terang terhadap penyusunan kebijakan pengembangan pendidikan ke depan.
Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas merupakan akar dari semua persoalan bangsa kita dewasa ini. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka harus diambil langkah-langkah jangka panjang seperti, membangun dan mengembangkan mental SDM yang mandiri, dan berjiwa kompetitif. Pendidikan merupakan salah satu sarana mewujudkan upaya pengembangan SDM tersebut. Oleh sebab itu pemerintah perlu menjadikan aspek pendidikan sebagai prioritas utama dalam merencanakan program kerja pembangunan kedepan. Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menaikkan anggaran pelaksanaan pendidikan di wilayah-wilayah yang sedang berkembang serta melakukan evaluasi terhadap program pendidikan yang telah dilaksanakan, guna menemukan kelemahan pelaksanaan pendidikan masa sekarang dan menemukan jalan terang terhadap penyusunan kebijakan pengembangan pendidikan ke depan.
Selama ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya meningkatkan
mutu pendidikan, antara lain meliputi penyempurnaan kurikulum, pengadaan
buku ajar, peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan, pengadaan
fasilitas pendidikan seperti perpustakan, laboratorium, serta perbaikan
dan peningkatan manajemen pendidikan, namun berbagai indikator
menunjukkan mutu pendidikan masih belum meningkat secara signifikan.
Menurut laporan UNDP tentang human development index (HDI) negara
Indonesia disebutkan bahwa posisi Indonesia berada pada urutan ke-105
pada tahun 1998. Posisi ini kemudian merosot menjadi ke-109 pada tahun
1999 bahkan berada di bawah Vietnam (Kompas, edisi 2 Mei 2001).
Bukti tentang kebenaran laporan UNDP ini dapat dilihat dari tingginya
angka drop out pendidikan di Indonesia. Untuk tahun 2001, dari sekitar
38,4 juta yang terdaftar di SD dan Madrasah, hanya 9,4 juta yang masuk
ke SLTP, 5,6 juta kemudian masuk ke SLTA dan akhirnya hanya sekitar 1,6
juta yang bisa meneruskan ke perguruan tinggi (Kompas, edisi 4
Oktober2001). Angka ini belum termasuk mereka yang kemudian drop out di
tengah jalan.
Yang membuat masalah ini semakin memprihatinkan adalah bahwa lulusan
pendidikan pada semua tingkatan dan mereka yang drop out sebagian besar
tidak mampu diserap oleh lapangan kerja yang ada, sehingga angka
pengangguran terdidik cenderung meningkat. Salah satu penyebabnya
adalah, karena para lulusan atau mereka yang drop out tadi tidak
memiliki keterampilan (skill) memadai yang dibutuhkan oleh lapangan
kerja yang tersedia. Mereka juga enggan memanfaatkan lapangan kerja
yang masih terbuka lebar di daerah mereka. Mereka lebih memilih mengadu
nasib dengan mencari pekerjaan di kota besar yang melalui pola
urbanisasi.
Potret memprihatinkan tentang rendahnya SDM juga terdapat di Jawa
Timur, khususnya Bangkalan disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial dan
budaya yang kurang mendukung terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan.
Keterbelakangan ekonomi telah mendorong penduduk usia sekolah memasuki
lapangan kerja, yang pada gilirannya meningkatkan angka drop out
pendidikan. Bagi sebagian besar masyarakat yang status ekonominya lemah,
seorang anak yang telah mampu baca tulis sudah layak untuk mencari
kerja sendiri. Di lain pihak, karena faktor yang sama pulalah sebagian
masyarakat di kabupaten Bangkalan lebih memilih lembaga pondok pesantren
sebagai tempat pendidikan anak-anaknya daripada lembaga pendidikan
formal karena biayanya cenderung lebih murah. Padahal, memasukkan anak
ke dalam pondok pesantren belum menjamin bahwa anak-anak tersebut akan
memiliki kualitas mental yang bagus, dan mampu untuk bersaing di dalam
dunia kerja setelah anak-anak tersebut menyelesaikan pendidikan pondok
mereka.
Keberadaan pesantren yang masih diragukan sebagai lembaga ideal untuk
mencetak generasi muda yang berkualitas ini didasarkan pada fakta bahwa
sampai saat ini pesantren di kabupaten Bangkalan masih belum banyak
berubah dari paradigma awal yang lebih berfokus pada pendidikan agama.
Padahal di era globalisasi dengan persaingan yang terlalu ketat dewasa
ini, membangun SDM tidaklah cukup dengan membentuk budi pekerti saja,
melainkan diperlukan pula berbagai pengetahuan dan ketrampilan (skill)
yang selama ini masih kurang mampu dipenuhi oleh pondok pesantren,
karena berbagai faktor seperti masih tertutupnya para kyai untuk
menerima perkembangan dan kurangnya sarana prasarana. Akibatnya, lulusan
maupun mereka yang drop out dari pondok pesantren tidak dapat bersaing
dalam kehidupan yang semakin kompetitif, karena kurang memiliki
ketrampilan (skill) yang justru merupakan tuntutan dan kebutuhan pasar
dewasa ini.
Rencana industrialisasi di Pulau Madura yang mengiringi pembangunan
Jembatan Suramadu yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi akan dapat
melahirkan dampak-dampak yang tidak diinginkan utamanya pada kabupaten
Bangkalan, seperti, kesenjangan sosial di daerah Labang atau daerah
sekitar jembatan, pengangguran masal SDM kabupaten Bangkalan pada
gilirannya dapat memacu timbulnya konflik sosial yang meluas dan
intensif. Ketika konflik ini terjadi, bisa dipastikan masyarakat
kabupaten Bangkalan cenderung menjadi penonton.
Mengantisipasi hal tersebut, maka pengembangan SDM di kabupaten
Bangkalan mutlak menjadi kewajiban, utamanya di daerah yang menjadikan
pesantren sebagai basis masyarakat. Pengembangan pesantren dengan konsep
yang jelas mutlak dilakukan. Pesantren tidak hanya dijadikan sebagai
tempat menimba ilmu saja, tetapi pesantren dapat menjadi lumbung yang
berkualitas. Hal ini bisa terlaksana karena pesantren memiliki kelebihan
dari sekolah umum yang ada di kabupaten Bangkalan antara lain:
a. Penyelengaraan pendidikan pondok pesantren dalam bentuk asrama memungkinkan para santri untuk belajar disiplin, menjalin kebersamaan, tenggang rasa, toleransi, kemandirian, dan kesederhanaan atau yang lebih tepatnya belajar prihatin karena semua fasilitasnya amat terbatas.
b. Dengan belajar di pondok pesantren selain memperoleh pendidikan agama dan budi pekerti, juga memperoleh pendidikan umum, meskipun kadarnya masih sangat rendah jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum.
c. Di pondok pesantren diajarkan beberapa keterampilan sebagai bekal hidup mandiri, meski belum tentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang berubah serta model pembangunan ekonomi yang disebutkan di muka. Dengan demikian, para lulusan pondok pesantren maupun mereka yang drop out lebih mandiri ketika kembali kelingkungan masyarakatnya.
d. Sistem yang dikembangkan pondok pesantren lebih memungkinkan para santri berkompetisi secara realistis, bukan saja dalam prestasi belajar tetapi juga prestasi dalam berusaha dan bekerja. Pengembangan sikap egalitarian dikalangan para santri merupakan ciri dan kelebihan pondok pesantren.
e. Pondok pesantren menciptakan ikatan persaudaraan diantara para santri tanpa paksaan, dengan jangkauan yang luas dan panjang menjadi modal dasar terpenting dalam membangun masyarakat madani.
f. Sistem pondok memungkinkan timbulnya semangat belajar tanpa henti dikalangan para santri, yang belajar dengan sadar bagi perbaikan dirinya. Mereka belajar agar mampu mengatasi persoalan-persoalan hidupnya.
Hanya saja, selama ini berkembang anggapan bahwa pondok pesantren
cenderung tidak dinamis dan tertutup terhadap segala perubahan atau
medernisasi. Anggapan ini pula yang menyebabkan lembaga pendidikan
pondok pesantren (terutama yang tidak memiliki Madrasah) diidentikkan
dengan tradisionalisme, dan tidak sejalan dengan proses modernisasi.
Akibatnya, perhatian pada pengembangan pondok pesantren lebih dilihat
dalam perspektif kesediaannya menjadi lembaga pendidikan agama.
Padahal sebagai mana ditunjukan oleh beberapa pondok pesantren
terkenal seperti Al Amin Prenduan di Madura, Darussalam Gontor Ponorogo,
Al Zaitun Indramayu Jawa Barat, pondok pesantren sesungguhnya sangat
respek terhadap perubahan dan atau modernisasi, dengan syarat tidak
merusak tradisi yang selama ini menjadi kelebihan dan kekuatan lembaga
pondok pesantren.
Berkaca dari prospek cerah pondok pesantren yang mampu memberikan
sumbangsih nyata terhadap pengembangan SDM di kabupaten Bangkalan inilah
karya tulis ini dibuat. Tulisan ini berusaha untuk memberikan masukan
bahwa untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia di kabupaten Bangkalan
bisa dilakukan melalui pondok pesantren melalui pendekatan life skill.
1. 2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dalam karya tulis ini dapat dirumusan hal-hal sebagai berikut :
Berdasarkan uraian di atas, dalam karya tulis ini dapat dirumusan hal-hal sebagai berikut :
a. Apa yang menjadi permasalahan dalam pengembangan sistem pendidikan pondok pesantren di Bangkalan selama ini, sehingga para lulusan dan droup outnya belum mampu bersaing dengan lulusan pendidikan lainnya?
b. Bagaimana mengembangkan sistem pendidikan pondok pesantren yang berorientasikan pada life skill untuk mengantisipasi perubahan sosial dan menyongsong rencana industrialisasi di kabupaten Bangkalan?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi permasalahan dalam pengembangan sistem pendidikan pondok pesantren di Bangkalan selama ini, sehingga dengan teridentifikasinya masalah ini para lulusan dan droup outnya mampu bersaing dengan lulusan pendidikan lainnya.
b. Menemukan model pengembangan sistem pendidikan pondok pesantren yang inovatif yang berorientasikan pada life skill, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pengembangan SDM di kabupaten Bangkalan.
1.4 Manfaat
Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi :
Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi :
a. Akademisi
Karya tulis ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi, menambah pengalaman dan memperluas pengetahuan tentang pengambangan SDM.
b. Pemerintah
Dengan adanya karya tulis ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dengan merumuskan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah Bangkalan dalam mengembangkan Sumber Daya Manusia.
c. Masyarakat
Memberikan masukan dalam rangka meningkatkan kualitas anak didik dan out put pendidikan pesantren di Bangkalan dalam upaya mengembangkan model sistem pendidikan pesantren yang inovatif sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pengembangan Sumber Daya Manusia di kabupaten Bangkalan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Umum Masyarakat Bangkalan
Bangkalan merupakan daerah yang sangat unik. Masyarakat Bangkalan dengan ciri khasnya yang self instructional, self learner (autodidak) mempunyai peta pikir yang berbeda. Antara lain, cara melakukan pemilihan atau pengambilan keputusan “dydac” antara ya atau tidak, dan cara membuat garis besar tentang berbagai gagasan pokok (main ideas) serta cara memenuhi kebutuhan dan keinginan (Prof Dr. Koento Widjoyo, 2001). Karakter penduduk Bangkalan keras, karena ekologi tegalan dan identik dengan ketundukan pada kyai. Dan ini adalah salah satu hal yang dianut luas oleh masyarakat Bangkalan. Dalam keluarga, masyarakat Bangkalan wajib tunduk pada orang tua, sedang guru dan kyai adalah panutan utama di masyarakat. Kyai itu bukan sekedar leader, tapi juga panutan moral secara keseluruhan (Resty, 2008).
Bangkalan merupakan daerah yang sangat unik. Masyarakat Bangkalan dengan ciri khasnya yang self instructional, self learner (autodidak) mempunyai peta pikir yang berbeda. Antara lain, cara melakukan pemilihan atau pengambilan keputusan “dydac” antara ya atau tidak, dan cara membuat garis besar tentang berbagai gagasan pokok (main ideas) serta cara memenuhi kebutuhan dan keinginan (Prof Dr. Koento Widjoyo, 2001). Karakter penduduk Bangkalan keras, karena ekologi tegalan dan identik dengan ketundukan pada kyai. Dan ini adalah salah satu hal yang dianut luas oleh masyarakat Bangkalan. Dalam keluarga, masyarakat Bangkalan wajib tunduk pada orang tua, sedang guru dan kyai adalah panutan utama di masyarakat. Kyai itu bukan sekedar leader, tapi juga panutan moral secara keseluruhan (Resty, 2008).
2.2 Dinamika Pesantren
Pesantren merupakan akar budaya yang dari dulu hingga sekarang sangat mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara sosio demografi, masyarakat kita masih sangat menonjolkan perilaku ketokohan seseorang di dalam lingkungan pesantren (Tjahjo Kumolo, 2007).
Pesantren merupakan akar budaya yang dari dulu hingga sekarang sangat mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara sosio demografi, masyarakat kita masih sangat menonjolkan perilaku ketokohan seseorang di dalam lingkungan pesantren (Tjahjo Kumolo, 2007).
Diakui atau tidak, pesantren dengan berbagai bentuk dan variasi
proses pembelajarannya, merupakan bagian dari peradaban bangsa yang
telah melekat kuat dalam sejarah bangsa. Keunggulan pesantren terletak
pada prinsip “memanusiakan manusia” dalam proses pembelajarannya (MH
Said Abdullah, 2007).
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat berakar
masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup, dari, oleh, dan untuk
masyarakat. Pesantren berusaha mendidik para santri, kemudian dapat
mengajarkannya pada masyarakat. Eksistensi pesantren menjadi istimewa
karena menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) pendidikan yang
dikembangkan oleh kaum kolonial sehigga diharapan dapat menumbuhkan kaum
intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual yang kuat.
Pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam yang
mempunyai visi mencetak manusia unggul. Beberapa pondok pesantren
terkenal seperti Darut Tauhid pimpinan KH. Abdullah Gymnastiar di
Bandung dan Pondok Pesantren Darussalam Gontor, pondok pesantren
sesungguhnya sangat respek terhadap perubahan dan atau modernisasi,
namun dengan syarat tidak merusak tradisi yang selama ini menjadi
kelebihan dan kekuatan lembaga pondok pesantren tersebut (Abdullah
Syukri Zakarsyi, 2002).
Pondok pesantren memegang prinsip dasar dalam menyikapi perubahan
sebagai berikut: “Al-muhaafadzatu alal-qadiimi as-Shaalihi Wal- Akhidzu
bin-Jadidiil Ashlah”, yaitu memegang tradisi lama yang baik dan
mengambil inovasi baru yang lebih baik. Persoalan yang berpautan dengan
civic values akan bisa dibenahi melalui prinsip-prinsip yang dipegang
pesantren selama ini dan tentunya dengan perombakan yang efektif,
berdaya guna, serta mampu memberikan kesejajaran sebagai umat manusia
(al musawah bain-nas) (Abdurrahman Wahid, 1995).
Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu
pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren
tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap
mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti
pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem
pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem
tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).
Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk
menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren.
Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan
baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan.
Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk:
mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas
perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di
pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai
pusat pengembangan masyarakat (Hasbullah, 1999:155).
2.3 Life Skill (Kecakapan Hidup)
Sehubungan dengan itu, untuk meningkatkan peran pengembangan masyarakat, maka perlu dilakukan diversifikasi program dan kegiatan Kecakapan Hidup (life skills) di pesantren (Dodi Nandika, 2005). Peran pondok pesantren yang tadinya hanya mempelajari kitab-kitab islam klasik kiranya direkonstrksi agar dapat diberdayagunakan secara maksimal. Melalui pendekatan ini, Sumber daya atau unsur-unsur pondok pesantren termasuk guru atau kyai, masjid, santri, kitab kitab klasik hingga ilmu pengetahuan yang baru dapat didayagunakan dalam proses pendidikan life skills secara berkelanjutan untuk membangun manusia yang memiliki paham ilmu pengetahuan, potensi kemasyarakatan, dan pembangunan wilayah. Hal ini berujung pada penciptaan Sumber Daya Manusia yang produktif dan berdaya saing sehingga tidak hanya menjadi penempa nilai-nilai spiritual saja, tetapi juga mampu meningkatkan kecerdasan sosial, dan ketrampilan dalam membangun masyarakat di sekitarnya. Ini dimulai dari kemempuan pesantren memberdayakan potensi-potensi yang ada di lingkungannya yang dilakukan oleh Sumber Daya Manusia yang ada di pesantren itu sendiri.
Sehubungan dengan itu, untuk meningkatkan peran pengembangan masyarakat, maka perlu dilakukan diversifikasi program dan kegiatan Kecakapan Hidup (life skills) di pesantren (Dodi Nandika, 2005). Peran pondok pesantren yang tadinya hanya mempelajari kitab-kitab islam klasik kiranya direkonstrksi agar dapat diberdayagunakan secara maksimal. Melalui pendekatan ini, Sumber daya atau unsur-unsur pondok pesantren termasuk guru atau kyai, masjid, santri, kitab kitab klasik hingga ilmu pengetahuan yang baru dapat didayagunakan dalam proses pendidikan life skills secara berkelanjutan untuk membangun manusia yang memiliki paham ilmu pengetahuan, potensi kemasyarakatan, dan pembangunan wilayah. Hal ini berujung pada penciptaan Sumber Daya Manusia yang produktif dan berdaya saing sehingga tidak hanya menjadi penempa nilai-nilai spiritual saja, tetapi juga mampu meningkatkan kecerdasan sosial, dan ketrampilan dalam membangun masyarakat di sekitarnya. Ini dimulai dari kemempuan pesantren memberdayakan potensi-potensi yang ada di lingkungannya yang dilakukan oleh Sumber Daya Manusia yang ada di pesantren itu sendiri.
Kecakapan hidup (Life Skill) adalah kemampuan dan keberanian untuk
menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif,
mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya (Wintoro Sukirman,
2008).
Kecakapan hidup merupakan orientasi pendidikan yang mensinergikan
mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang,
dimanapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya
(Wintoro Sukirman, 2008).
Pengertian kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan vokasional
atau keterampilan untuk bekerja. Orang yang tidak bekerja, misalnya ibu
rumah tangga atau orang yang sudah pensiun, tetap memerlukan kecakapan
hidup. Seperti halnya orang yang bekerja, mereka juga menghadapi
berbagai masalah yang harus dipecahkan. Orang yang sedang menempuh
pendidikan pun memerlukan kecakapan hidup , karena mereka tentu juga
memiliki permasalahannya sendiri (Rahman Mustofa, 2002). Kecakapan hidup
itu bersifat umum, yaitu bersikap dan berlaku produktif (to be a
productive people). Artinya, apapun bidang kejuruan atau pekerjaan yang
dipelajari, bersikap dan berperilaku produktif harus dikembangkan.
Bidang pekerjaan biasanya dibedakan menjadi pekerjaan yang lebih
menekankan pada keterampilan manual dan bidang pekerjaan yang menekankan
pada kecakapan berpikir. Terkait dengan itu, pendidikan kecakapan hidup
yang bersifat spesifik juga dapat dipilah menjadi kecakapan akademik
(academic skill) dan kecakapan vokasional (vocational skill) (Aziz
Masyuri, 2002).
Dengan bekal kecakapan hidup yang baik, diharapkan para lulusan akan
mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau
menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya
(Rahardjo Dawam, 1995).
Sumber Daya Manusia pesantren diberikan kemampuan pendidikan dan
keterampilan yang sesuai dengan tuntutan masyarakatnya, serta tumbuh dan
berkembang secara bottom up, dan bukan ditentukan terlebih dahulu
sebagai ekspektasi formal suatu kurikulum persekolahan. Oleh karena itu,
pembangunan pendidikan di kalangan pesantren memerlukan keterlibatan
elemen-elemen masyarakat sekitar dan pemerintahan daerah. Dalam upaya
mencari model yang tepat agar peran pondok dalam membangun wilayah
berjalan efektif, pemda perlu merangkul perguruantinggi sebagai mitra.
Hal ini dikarenakan memiliki sumbr daya yang memadai dalam pengembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan kegiatan riset (SM Ismail, 2002).
BAB III
METODOLOGI
METODOLOGI
3.1 Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam karya tulis ini adalah metode deskriptif analitis sesuai dengan tujan penelitian, dimana produk dari penelitian ini dijabarkan secara deskriptif, dimana produk dari rancangan sistem pendidikan pondok pesantren yang berdasarkan life skill akan disajikan secara deskriptif.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam karya tulis ini adalah metode deskriptif analitis sesuai dengan tujan penelitian, dimana produk dari penelitian ini dijabarkan secara deskriptif, dimana produk dari rancangan sistem pendidikan pondok pesantren yang berdasarkan life skill akan disajikan secara deskriptif.
Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan dalam meneliti
suatu sistem pemikiran terhadap suatu objek dan peristiwa masa sekarang.
Adapun tujuan dari metode deskriptif ini adalah untuk membuat gambaran
ataupun lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki (Suryabrata,
1991).
Pengembangan Sumber Daya Manusia di kabupaten Bangkalan melalui
sistem pendidikan pesantren di analisis melalui pendekatan
multistakeholders, dengan tetap menggunakan pendekatan yang sistematis.
Proses analisis dilakukan dari serangkaian input-input dari
multistakeholders, melalui metode brainstorming focus discussion group
yang disepakati. Dari diskusi tersebut dirumuskan konsep kebijakan yang
paling efektif dengan kondisi riil di kabupaten Bangkalan dewasa ini,
dan sekaligus merupakan output.
Studi pustaka yang dilakukan yaitu dengan cara mengumpulkan berbagai
macam literatur dan referensi yang berisi tentang seluk beluk pendidikan
pesantren Madura, khususnya Bangkalan, sehingga dapat melengkapi isi
dari karya tulis ini, dan dapat mencapai tujuan karya tulis kami yakni
untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia dalam rangka meningkatkan daya
saing bangsa berbasis lokal.
3.2 Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada pelaksanaan sistem pendidikan pesantren di Bangkalan yang meliputi karakteristik dan dinamika serta budaya pesantren-pesantren, urgensinya dalam pengembangan sistem pendidikan pesantren yang meliputi kurikulum dan manajemennya serta masalah yang sering muncul dalam kurikulum tersebut.
Penelitian ini difokuskan pada pelaksanaan sistem pendidikan pesantren di Bangkalan yang meliputi karakteristik dan dinamika serta budaya pesantren-pesantren, urgensinya dalam pengembangan sistem pendidikan pesantren yang meliputi kurikulum dan manajemennya serta masalah yang sering muncul dalam kurikulum tersebut.
Bertolak dari masalah tersebut, kiranya perlu dilakukan
langkah-langkah agar pendidikan dapat membekali santri dengan kecakapan
hidup, yaitu kemampuan dan keberanian menghadapi problema kehidupan,
kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya.
Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran, mata diklat
dan mata kuliah menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di
manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Dengan
bekal kecakapan hidup yang baik, diharapkan para lulusan akan mampu
memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau
menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Di dalam penyusunan karya tulis ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah gabungan dari dua teknik, yaitu dengan studi literature (library research) sebagai data sekunder dan wawancara dan observasi sebagai data primer. Teknik studi literature adalah pengumpulan data dari buku-buku referensi yang mendukung. Penggunaan metode ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai masalah-masalah yang diajukan. Disamping itu, data sekunder ini diperkuat oleh data primer berupa hasil wawancara pada 35 orang nara sumber yang diambil secara acak dan representatif terhadap keadaan pondok pesantren di kabupaten Bangkalan, yang terdiri dari 10 orang pengelola pondok pesantren, 10 orang santi, 5 orang wali santri, 5 orang alumni, dan 5 orang abdi dalem.
Di dalam penyusunan karya tulis ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah gabungan dari dua teknik, yaitu dengan studi literature (library research) sebagai data sekunder dan wawancara dan observasi sebagai data primer. Teknik studi literature adalah pengumpulan data dari buku-buku referensi yang mendukung. Penggunaan metode ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai masalah-masalah yang diajukan. Disamping itu, data sekunder ini diperkuat oleh data primer berupa hasil wawancara pada 35 orang nara sumber yang diambil secara acak dan representatif terhadap keadaan pondok pesantren di kabupaten Bangkalan, yang terdiri dari 10 orang pengelola pondok pesantren, 10 orang santi, 5 orang wali santri, 5 orang alumni, dan 5 orang abdi dalem.
3.4 Analisis Data
Data yang diperoleh dari studi literature dianalisis secara deskriptif yaitu memberikan gambaran secara sistematis, faktual, dan mengenai bagaimana sistem pendidikan pesantren yang ada di kabupaten Bangkalan selama ini. Teknik analisa data deskriptif ini menggunakan kerangka berfikir sistematis. Adapun menggunakan analisis statistik dimungkinkan sebagai pelengkap atau informasi pendukung bagi analisis kebijakan guna menghasilkan konsep kebijakan yang demokratis.
Data yang diperoleh dari studi literature dianalisis secara deskriptif yaitu memberikan gambaran secara sistematis, faktual, dan mengenai bagaimana sistem pendidikan pesantren yang ada di kabupaten Bangkalan selama ini. Teknik analisa data deskriptif ini menggunakan kerangka berfikir sistematis. Adapun menggunakan analisis statistik dimungkinkan sebagai pelengkap atau informasi pendukung bagi analisis kebijakan guna menghasilkan konsep kebijakan yang demokratis.
3.5 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian meliputi pondok pesantren Asmail Khusnah Telang Kamal, As Shofa Socah, Assalafiyah Labang, Miftahul Ulum Al Islami Modung, Al Hamidiyah Sen-asen Konang, Salafi Al Baihaki Nong-gunong Blega, Miftahul Jannah Pitreh Tanah Merah, Al Ibrohimi Galis dan Syaichona Cholil Bangkalan yang menghasilkan data primer. Data sekunder diperoleh dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bangkalan, Departemen Agama Kabupaten Bangkalan dan perpustakaan daerah.
Lokasi penelitian meliputi pondok pesantren Asmail Khusnah Telang Kamal, As Shofa Socah, Assalafiyah Labang, Miftahul Ulum Al Islami Modung, Al Hamidiyah Sen-asen Konang, Salafi Al Baihaki Nong-gunong Blega, Miftahul Jannah Pitreh Tanah Merah, Al Ibrohimi Galis dan Syaichona Cholil Bangkalan yang menghasilkan data primer. Data sekunder diperoleh dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bangkalan, Departemen Agama Kabupaten Bangkalan dan perpustakaan daerah.
BAB IV
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
A. Rekapitulasi tentang Permasalahan Umum Penyelenggaraan Pendidikan di Pondok Pesantren
Pendidikan pesantren di Bangkalan sebagian besar masih menganut sistem pesantren tradisional yang disebut sebagai pesantren salaf atau takhasus. Meskipun demikian, sudah banyak pondok pesantren yang mulai mengelola madrasah umum dan pendidikan umum bahkan sampai pada pendidikan tinggi, tanpa harus meninggalkan sistem salafnya.
A. Rekapitulasi tentang Permasalahan Umum Penyelenggaraan Pendidikan di Pondok Pesantren
Pendidikan pesantren di Bangkalan sebagian besar masih menganut sistem pesantren tradisional yang disebut sebagai pesantren salaf atau takhasus. Meskipun demikian, sudah banyak pondok pesantren yang mulai mengelola madrasah umum dan pendidikan umum bahkan sampai pada pendidikan tinggi, tanpa harus meninggalkan sistem salafnya.
Dari hasil interview yang telah dilakukan terhadap 35 orang nara
sumber, permasalahan-permasalahan umum yang terdapat dalam pendidikan
pesantren di kabupaten Bangkalan yang menjadi penyebab mengapa para
lulusan dan droup outnya belum mampu bersaing dengan lulusan pendidikan
lainnya adalah sebagai berikut:
a. Aspek Kelembagaan
Masih banyak pondok pesantren yang masih belum berbadan hukum, atau pengelolaannya masih secara individu, sehingga masih terdapat kesulitan dalam melakukan kerjasama dengan pihak luar. Hasil interview ini didukung oleh data yang dimiliki Departemen Agama Kabupaten Bangkalan yang menyebutkan bahwa 329 Pondok Pesantren yang ada di Kabupaten Bangkalan, 13% atau sebanyak 44 pondok pesantren dari total jumlah keseluruhan pondok pesantren ternyata masih belum berbadan hukum dan dikelola secara tradisional
b. Aspek Kurikulum
Kurikulum pendidikan di pondok pesantren masih terfokus pada pendidikan agama dengan sedikit penekanan pada ilmu pengetahuan umum dan teknologi sehingga lulusannya belum mampu berkompetisi dengan lulusan lembaga pendidikan lainnya dalam dunia kerja. Pengajaran ilmu agama seperti fiqih, bahasa arab, nahwu dan sharaf menjadi porsi utama di pesantren, sedang pengajaran ilmu umum menjadi prioritas kedua. Apabila santri berminat untuk menuntut ilmu umum selain ilmu agama, maka santri tersebut harus bersekolah di luar pondok pesantren. Hal ini terjadi karena banyak pondok pesantren masih belum memiliki lembaga pendidikan umum seperti SMP dan SMA atau Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah yang dikelola sendiri oleh pondok pesantren tersebut. Pihak Departemen Agama Kabupaten Bangkalan menyebutkan bahwa dari 329 pondok pesantren yang ada di kabupaten Bangkalan, hanya 115 pondok pesantren atau sebanyak 35% dari dari total seluruh pondok pesantren di kabupaten Bangkalan yang memiliki Sekolah/Madrasah dengan kurikulum umum
c. Aspek Sarana Prasarana
Umumnya pondok pesantren belum memiliki ruang kelas, perpustakaan, laboratorium dan ruang ketrampilan yang cukup memadai untuk sebuah institusi pendidikan yang mengharapkan lulusannya dapat berprestasi. Aspek minimnya pendanaan dan masih belum adanya Sekolah/Madrasah yang dikelola secara mandiri oleh pondok pesantren menyebabkan masalah ini terjadi.
d. Aspek Budaya
Budaya paternalistik, dimana figur pimpinan dijadikan sebagai panutan tunggal tanpa reserve, terbawa dalam pengelolaan pendidikan dimana anak didik akan merasa sungkan, dan bahkan cenderung kurang berani dalam mengemukakan ide-ide dan pendapatnya sehingga dapat menghambat proses kreatifitas mereka. Data ini didukung oleh hasil observasi yang dilakukan peneliti terhadap 6 pondok pesantren yang ada di kabupaten Bangkalan. Dari hasil observasi, jelas terlihat bahwa budaya ini masih melekat erat di pondok pesantren. Ini dibuktikan ketika peneliti melakukan interview terhadap beberapa pimpinan pondok pesantren, para santri yang ketika itu berada di dekat para pimpinan pondok pesantren tersebut bersikap sangat hormat dan khidmat
e. Aspek Manajemen
Banyak pesantren yang masih dikelola secara informal yang didasarkan pada asumsi bahwa pesantren sebagai lembaga tradisional tidaklah memerlukan legalitas formal, disebabkan oleh kebesaran pengaruh seorang kyai sebagai figur sentral yang dikagumi dan dipanuti, sehingga aspek-aspek manajemen modern masih belum sepenuhnya dilaksanakan.
f. Aspek Pendanaan
Faktor dana atau kebutuhan finansial pesantren, sebagian besar masih dipenuhi oleh pimpinan maupun pengelola pondok, sehingga cukup menjadi faktor pembatas dalam pengembangannya kedepan.
Untuk meningkatkan hasil pendidikan pesantren dapat dilakukan melalui usaha-usaha standardisasi, program termina dan spesialisasi, yang selanjutnya dapat dijadikan landasan bagi pengembangan kearah pesantren dasar, pesantren lanjutan dan bahkan pesantren tingkat tinggi.
B. Model-model Pengembangan Pendidikan Pesantren yang berorientasi pada Life Skill
Pengembangan pendidikan pesentren perlu ditekankan pada pengembangan kurikulum baik pengetahuan umum, ketrampilan dan usaha-usaha produktif yang berorientasi pada life skill education, yang selama ini menjadi kelemahan sistem pendidikan di pondok pesantren. Unsur-unsur modernitas yang perlu diakomodasi oleh pesantren antara lain, leadership, organisasi, manajemen, kurikulum dan sistem pembelajaran yang selaras dan seimbang, maka pondok pesantren tidak akan kalah bersaing dengan pendidikan umum yang bukan pondok pesantren. Untuk menciptakan itu semua maka diperlukan pola pengembangan sistem pendidikan khususnya di Bangkalan. Pola itu antara lain:
Pertama, adalah pola integrasi (integrative design) antara sistem
pendidikan pesantren (salaf) dan sistem pendidikan sekolah (kholaf) yang
dipadukan secara total, harmonis dan komprehensif dengan dengan
identitas masing-masing.
Kedua yaitu pola konvergensi (Convergentive Design) yang memadukan
antara sistem pendidikan sekolah tapi tetap mempertahankan identitas
masing-masing (Saifudin Zuhri, 2002).
Model yang akan dikembangkan di atas paling tidak memiliki beberapa komponen bantuan berikut:
a. Pemberian dana atau modal bergulir atau ventura yang dikaitkan dengan pengembangan potensi wilayah. Dalam hal ini bantuan dana bisa berasal dari pemerintah dengan mengajukan proposal, atau dari pihak pondok pesantren itu sendiri, baik dari donatur atau dana yang dianggarkan di ART.
b. Pendampingan tenaga ahli dari perguruan tinggi, meliputi transfer teknologi dari perguruan tinggi ke pesantren, yang mencakup sumber, buku-buku atau media tulis pendukung lainnya. Para santri diajarkan teori-teorinya, kemudian mengadakan studi banding di kampus tersebut, sehingga para santri tidak hanya mendapatkan gambaran teorinya saja, tetapi juga praktek lapangan sehingga mereka lebih faham dan ingat, serta bisa mempraktekkannya lagi bila diperlukan.
c. Penggunaan Information Communication Technologi (ICT) untuk mendukung kegiatan dan akses informasi. Dana atau modal bergulir atau ventura awal digunakan untuk melengkapi sarana prasarana, dan dana-dana berikutnya digunakan untuk pengembangannya, sehingga akses informasi bias dilakukan secara maksimal.
d. Pengadaan dan pengembangan teknologi atau peralatan produksi untuk meningkatkan potensi lokal. Peralatan teknologi mencakup hard ware dan soft ware serta peralatan lain yang mendukung pengembangan teknologi komunikasi dan kewirausahaan (Said Abdullah, 2002).
Apabila cara-cara pengembangan dari pemerintah kurang berhasil, maka dapat dilakukan pemaksimalan potensi pondok pesantren itu sendiri seperti:
a. Mendatangkan guru kesenian untuk melatih kursus kewirausahaan, seperti pembuatan kaligrafi yang bisa di dijual, yang hasilnya sebagian bisa dialokasikan untuk pengembangan pondok pesantren dan sebagian lain untuk santri tersebut.
b. Pengadaan pelatihan keterampilan bahasa Inggris dan kewajiban menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi sehari-hari sehingga secara sadar atau tidak mereka telah memiliki kemampuan berbahasa Inggris. Bahasa Inggris merupakan salah satu faktor terpenting dalam seleksi penerimaan tenaga kerja di perusahaan-perusahaan. Dengan modal bahasa Inggris prosentase penerimaan santri sebagai tenaga kerja menjadi lebih tinggi.
c. Memanfaatkan kesenian daerah yang bernafaskan Islami seperti hadrah untuk digunakan sebagai sarana promosi dan bisnis dengan cara melakukan perekaman dan menjualnya ke khalayak ramai, sehingga kegiatan ini mendapatkan nilai lebih, karena selain berorientasi pada syiar Islam, kegiatan ini juga mendapatkan untung dari segi bisnis.
d. Mengundang pembatik tradisional khas tanjung bumi untuk memberikan pelatihan membatik. Pemateri membatik dapat mendiskusikan motif batik apa yang mungkin bisa dijadikan sebagai corak khas dari pondok pesantren tersebut. Hasil batik dapat digunakan santri sebagai baju seragam pondok dan sebagian dapat dijual atau dititipkan di butik, dan toko busana yang ada di pusat kota Bangkalan. Dengan adanya pelatihan membatik, tidak saja pondok pesantren mendapatkan keuntungan dalam hal finansial, pondok pesantren juga turut berpartisipasi melestarikan budaya lokal batik Tanjung bumi yang menjadi kebanggaan kabupaten Bangkalan
e. Pengadaan pelatihan keterampilan mekanik (montir). Pondok pesantren bisa bekerja sama dengan bengkel terdekat. Sasaran pelatihan adalah para santriwan. Pada awalnya para montir didatangkan ke pondok pesanren untuk menjelaskan teori teori dasar kemekanikan dan pada minggu-minggu terahir para santri dikirim ke bengkel untuk praktek dan belajar lebih lanjut agar mematangkan kecakapan hidupnya.
f. Pelatihan elektronika, pondok pesantren bekerjasama dengan SMK terdekat mengadakan pelatihan reparasi alat elektronik. Pemateri pelatihan berasal dari SMK tersebut. Setelah para santri mendapatkan materi, santri dimagangkan ke tempat servis elektronik untuk mempraktekkan ilmunya. Sehingga diharapkan mereka mampu membuka lapangan kerja sendiri setelah lulus.
g. Pelatihan komputer, pondok pesantren bekerja sama dengan teknisi komputer untuk memberikan pengetahuan tentang komputer. Selain itu pondok pesantren bekerjasama dengan rental komputer ataupun agen pejualan komputer untuk magang di tempat mereka. Sehingga selain memahami ilmu dasar dan penggunaan komputer, santriwan juga mengetahui ilmu perakitan dan servis komputer. Dengan cara itu mereka bisa mengelola rental komputer yang ada di pesantren atau setelah pulang kelak, mereka dapat membuka usaha mandiri.
h. Pelatihan sablon dan percetakan, dengan mendatangkan praktisi sablon atau percetakan ke pondok pesantren dan mengajarkan ilmu mereka langsung kepada para santri. Sambil lalu, santri bisa menyablon spanduk atau mencetak undangan untuk kegiatan pondok, sehingga dana penyablonan atau pencetakan undangan bisa dialokasikan untuk pengembangan peralatan sablon atau percetakan. Santri yang sudah mahir bisa menerima pesanan dari luar sehingga bisa menambah pendapatan.
i. Mengadakan pelatihan memasak. pelatihan ini bisa langsung mendatangkan juru masak pondok pesantren sebagai tenaga pengajar, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya lebih, selain itu praktek bisa langsung dilakukan di area podok pesantren. Hal ini sangat menguntungkan karena selain mempercepat proses penyajian makanan karena banyaknya tenaga, sewaktu-waktu para santri bisa menjadi juru masak pondok pesantren itu sendiri, sehingga tidak perlu mendatangkan juru masak dari luar.
j. Mengadakan kerja sama dengan tailor setempat utuk melatih para santri yang kemudian dimagangkan ke tailor tersebut untuk membantu pemilik tailor bekerja, sehingga para santri mampu untuk membuat bahkan memproduksi baju sendiri, atau baju seragam pondok pesantren yang ganti tiap tahun.
k. Melakukan ikatan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan lokal yang ada di sekitar pondok pesantren dengan tujuan untuk memagangkan para santri di perusahaan tersebut. Dengan adanya magang usaha, diharapkan para santri mendapatkan pengalaman dan semangat baru sebagai wirusahawan.
l. Menjalin kerjasama dengan universitas-universitas yang ada di kabupaten Bangkalan dan menjadikan universitas-universitas tersebut sebagai instansi pembina dari pondok pesantren. Dengan adanya kerjasama yang mutual ini diharapkan akses informasi terkini tentang perkembangan dunia pendidikan, ekonomi, bisnis dan politik menjadi terbuka lebar, sehingga tidak hanya mampu dibidang ukhrawi saja, tetapi diimbangi dengan pemahaman duniawi.
m. Membangun jaringan informasi yang solid antar pondok-pondok pesantren yang ada di Kabupaten Bangkalan sehingga mampu mengadakan pengembangan pendidikan yang serentak dan merata.
C. Maanfaat Praktis Life Skill Untuk Mengatasi Permasalahan Umum Penyelenggaraan Pendidikan di Pondok Pesantren
Apabila model-model pengembangan potensi pondok pesantren yang
berorientasi pada life skill dapat dilakukan secara maksimal, maka
permasalahan umum penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren seperti
yang telah disebutkan di awal bab pembahasan (bab IV A) akan dapat
diatasi. Dari perhitungan matematis terhadap keuntungan finansial yang
dapat dicapai pondok pesantren yang memiliki santri sejumlah 50 orang
ketika menerapkan model life skill di satu pondok pesantren akan
terlihat seperti berikut:
a. Jika seluruh santri yang telah dan sedang diberi pelatihan kaligrafi dalam sebulan produktif menghasilkan 1 karya, maka akan dihasilkan 50 lukisan kaligrafi indah yang telah telah dibingkai dan dibandrol dengan harga Rp. 150.000. Dan jika seluruh kaligrafi tersebut terjual maka pondok pesantren akan mendapatkan uang sebesar Rp. 7.500.000. Dari uang hasil penjualan kaligrafi tersebut kemudian dipotong untuk membeli bahan melukis untuk produksi selanjutnya, dan memberi reward kepada santri yang bersangkutan Rp. 100.000 perlukisan. Maka keuntungan bersih dari pondok pesantren adalah 2.500.000 perbulan. Dan apabila kemungkinan terburuk diambil, hanya separuh santri yang produktif menghasilkan karya, atau hanya separuh lukisan dari karya santri tersebut yang terjual, maka pondok pesantren akan tetap mendapatkan keuntungan Rp.1.250.000
b. Jika seluruh santri yang ikut kursus bahasa Inggris atas koordinasi pengelola pesantren memberikan les private kepada anak-anak yang ada di sekitar pondok, maka akan didapat 50 tutor produktif yang akan dapat menyumbangkan dana demi pembangunan pondok pesantren. Tiap tutor akan diberi honor Rp 10.000/pertemuan. Maka dalam sebulan, seorang santri akan mendapatkan honor Rp.40.000. Total honor yang didapat 50 santri Rp. 2.000.000 Dari honor tersebut, pondok pesantren akan mendapatkan pembagian keuntungan sebesar 20%, maka dari jumlah total penghasilan seluruh santri, Rp 400.000 akan masuk ke dalam kas pesantren, sehingga pada bulan tersebut, pondok pesantren akan mendapatkan dana tambahan sebesar jumlah tersebut. Dan apabila diambil kemungkinan terburuk hanya separuh santri yang aktif untuk memberikan les privat, maka pondok pesantren akan tetap mendapatkan keuntungan sebesar Rp.200.000
c. Jika komunitas hadrah di pesantren mampu memproduksi 1500 keping CD, dan tiap keping CD dibandrol Rp.15.000, dan semua CD tersebut habis terjual, maka pondok pesantren akan mendapatkan uang Rp. 22.500.000. Uang tersebut akan dipotong biaya produksi (rekaman dan penggandaan), honor santri dan promosi sebesar 10.000.000, sehingga akan didapat keuntungan bersih sebesar 12.500.000
d. Jika setelah pelatihan sablon santri pondok pesantren mampu memenuhi order sablon spanduk sebanyak 25 buah, dan tiap buah spanduk sepanjang 5 meter dihargai Rp. 250.000, maka santri pondok pesantren tersebut akan mendapatkan keuntungan kotor sebesar Rp. 6.250.000. Penghasilan ini akan bertambah andaikata para santri sanggup memenuhi permintaan pembuatan kaos beserta sablonnya, pembuatan kalender dan kartu nama. 50% dari keuntungan kotor tersebut akan digunakan untuk membeli bahan dan membayar honor santri, sehingga penghasilan bersih pondok pesantren adalah sebesar Rp 3.125.000
e. Jika seluruh santri mampu menghasilkan 1 lembar batik dalam waktu 1 bulan, dan tiap batik tulis yang dihasilkan santri tersebut dibandrol dengan harga Rp. 100.000/batik, dan jika seluruh batik tersebut laku terjual, maka akan didapat pendapatan kotor sebesar Rp.5.000.000. Dari penghasilan tersebut, 30% akan masuk menjadi kas pesantren yaitu sebesar Rp 1.500.000, sisanya yang 70% akan digunakan untuk membeli bahan-bahan membatik, dan mengganti uang lelah santri. Dan jika diambil kemungkinan terburuk hanya 50% dari jumlah seluruh batik yang laku dipasar, maka pondok pesantren tetap akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 750.000
Dari lima model kegiatan tersebut, pondok pesantren mampu mendapatkan tambahan dana pembangunan sebesar Rp.17.750.000 perbulan. Dana tambahan untuk pembangunan pondok pesantren ini akan bertambah atau berkurang tergantung dari kejelian para pengasuh pondok pesantren untuk melakukan promosi, mencarikan pasar terhadap produk-produk pesantren, dan meyakinkan khalayak ramai bahwa produk pesantren mampu bersaing secara kualitas dengan produk buatan pabrik. Pengaruh kyai yang kuat dalam masyarakat memberikan pengaruh positif terhadap produk pesantren. Masyarakat yang memandang kyai sebagai sosok panutan, pastinya tidak akan lagi meragukan kualitas produk yang di tawarkan kyai tersebut
Penghasilan tambahan yang di dapat dari hasil penerapan lifeskill di pondok pesantren dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan umum penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren seperti:
a. Mengurus proses surat ijin dari instansi terkait sehingga pondok pesantren dapat menjadi lembaga yang berbadan hukum
b. Mengadakan workshop para ustadz dan ustadzah untuk melaksanakan kaji ulang terhadap kurikulum yang telah diterapkan dipondok pesantren
c. Membantu pembangunan fisik pondok pesantren yang lebih mengutamakan pembangunan kelas, dan sarana penunjang seperti perpus dan laboratorium dengan tujuan jangka panjang bahwa kelas dan perpus tersebut nantinya akan digunakan untuk mundirikan sekolah umum yang bersinergi dengan visi dan misi pondok pesantren.
d. Dengan semakin terbukanya pondok pesantren terhadap kemajuan jaman, diharapkan pemilik pondok pesantren yaitu para kyai akan mulai mampu membuka diri terhadap konsep manajerial seperti Steering Committee dan Organizing committee. Dari konsep yang sederhana ini diharapkan akan dapat berkembang menjadi konsep yayasan yang memiliki underbone berupa lembaga pendidikan. Kyai memimpin yayasan, dan yayasan tidak ikut campur tangan terhadap pelaksanaan kegiatan pendidikan formal seperti SMA/Madrasah yang dikelola pesantren. Pelaksanaan kegiatan formal ini berada di bawah koordinasi kepala lembaga pendidikan yang merangkap sebagai kepala sekolah/madrasah. Diharapkan, dengan adanya pemisahan ini, fenomena paternalistik tradisional akan berganti menjadi sistem manajerial modern yang masih tetap mempertahankan kewibawaan seorang kyai atau pemilik pondok pesantren. Penerapan lifeskill juga berpengaruh terhadap sistem manajerial ini. Kyai sebagai ketua yayasan tidak akan bingung lagi untuk memilih calon yang akan dipil menjadi kepala lembaga pendidikan. Santri yang telah dimagangkan, dan telah mengikuti pelatihan-pelatihan pastinya telah memenuhi kualitas sebagai seorang pemimpin yang memimpin sebuah lembaga pendidikan.
e. Keuntungan yang didapat dari pelatihan lifeskill dapat dijadikan sebagai sebuah batu loncatan untuk mulai memikirkan konsep pengembangan sistem ekonomi pondok pesantren. Pondok pesantren tidak boleh hanya bergantung pada keuntungan yang didapat dari pelatihan lifeskill. Pondok pesantren harus mampu mencari jalan lain untuk dapat mendukung pendanaan pondok pesantren. Dengan menggunakan dana keuntungan lifeskill, jalan tersebut dapat berbentuk membuka bidang usaha yang sesuai dengan lifeskill yang diberikan seperti membuka bengkel, membuka tailor dan sablon, membuka lembaga kursus bahasa Inggris, membuka service elektronik, dan membuka supermarket yang dapat menampung semua hasil karya santri. Dengan adanya bidang usaha tambahan ini maka sistem ekonomi pesantren akan membaik karena pesantren akan ditunjang oleh banyak sektor dalam hal pendanaan. Apabila satu sektor rugi, maka kerugian tidak akan berimbas pada sektor yang lain karena tiap sektor dipimpin oleh orang yang berbeda. Keuntungan yang didapat di tiap sektor separuhnya akan digunakan untuk memajukan kualitas lembaga pendidikan formal seperti SMP, SMA/MTs, MA yang dimiliki oleh pondok pesantren tersebut. Dengan kuatnya pendanaan, maka akan meningkat pula kualitas dari penyelenggaraan pendidikan di lembaga pendidikan tersebut.
D. Cara Memulai Program
Untuk memulai program ini diperlukan sebuah sistem yang baku yang mampu mengatur semua kegiatan-kegiatan yang ada dipesantren. Pengelola pesantren harus mampu menciptakan, mensosialisasikan dan menerapkan sistem ini dengan konsisten dan bijak. Sistem ini bisa dimulai dengan membuat jadwal harian umum para santri yang berlaku di pesantren tersebut. Diantara jadwal harian tersebut disisipkan kegiatan yang mengarah pada pengembangan life skill.
Untuk memulai program ini diperlukan sebuah sistem yang baku yang mampu mengatur semua kegiatan-kegiatan yang ada dipesantren. Pengelola pesantren harus mampu menciptakan, mensosialisasikan dan menerapkan sistem ini dengan konsisten dan bijak. Sistem ini bisa dimulai dengan membuat jadwal harian umum para santri yang berlaku di pesantren tersebut. Diantara jadwal harian tersebut disisipkan kegiatan yang mengarah pada pengembangan life skill.
Pada umumnya, kegiatan santri dikelompokkan ke dalam empat bagian, yaitu:
1. kegiatan pribadi, misalnya mandi, mencuci pakaian, membersihkan kamar, makan, membaca, mengobrol dengan teman, dan istirihat;
2. kegiatan belajar, termasuk waktu belajar di kelas, mengaji di musholla dan mengerjakan PR atau belajar sendiri;
3. kegiatan sembahyang; dan
4. kegiatan ekstrakurikuler, misalnya olahraga yang dilakukan dua kali seminggu, pramuka, kesenian atau tugas-tugas sebagai ketua bagian OSPP.
Dengan adanya program ini, maka kegiatan santri akan bertambah menjadi lima jenis, yaitu kegiatan pelatihan/kewirausahaan yang dapat diletakkan di jam senggang para santri.
1. kegiatan pribadi, misalnya mandi, mencuci pakaian, membersihkan kamar, makan, membaca, mengobrol dengan teman, dan istirihat;
2. kegiatan belajar, termasuk waktu belajar di kelas, mengaji di musholla dan mengerjakan PR atau belajar sendiri;
3. kegiatan sembahyang; dan
4. kegiatan ekstrakurikuler, misalnya olahraga yang dilakukan dua kali seminggu, pramuka, kesenian atau tugas-tugas sebagai ketua bagian OSPP.
Dengan adanya program ini, maka kegiatan santri akan bertambah menjadi lima jenis, yaitu kegiatan pelatihan/kewirausahaan yang dapat diletakkan di jam senggang para santri.
BAB V
PENUTUP
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Permasalahan-permasalahan umum yang terdapat dalam pendidikan pesantren dari hasil penelitian penulis adalah:
1. Aspek Kelembagaan, belum berbadan hukum.
2. Aspek Kurikulum, belum seimbangnya kurikulum salaf dan kholaf.
3. Aspek Sarana Prasarana, belum cukup memadai.
4. Aspek Budaya, masih menganut budaya paternalistik.
5. Aspek Manajemen, masih dikelola secara informal.
6. Aspek Pendanaan, masih dipenuhi oleh pimpinan.
Permasalahan-permasalahan umum yang terdapat dalam pendidikan pesantren dari hasil penelitian penulis adalah:
1. Aspek Kelembagaan, belum berbadan hukum.
2. Aspek Kurikulum, belum seimbangnya kurikulum salaf dan kholaf.
3. Aspek Sarana Prasarana, belum cukup memadai.
4. Aspek Budaya, masih menganut budaya paternalistik.
5. Aspek Manajemen, masih dikelola secara informal.
6. Aspek Pendanaan, masih dipenuhi oleh pimpinan.
Kecakapan hidup merupakan orientasi pendidikan yang mensinergikan
mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang,
dimanapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya.
sosial kultural, maka ia harus memiliki ciri-ciri khusus tertentu, yakni
ciri pembaharuan, meskipun demikian ciri-ciri lama yang relevan harus
dipertahankan.
Unsur-unsur modernitas yang perlu diakomodasi oleh pesantren antara
lain, leadership, organisasi, manajemen, kurikulum dan sistem
pembelajaran yang selaras dan seimbang.
Dimensi pengembangan pendidikan pesantren perlu ditekankan pada
pengembangan kurikulum baik pengetahuan umum, ketrampilan dan
usaha-usaha produktif yang berorientasi pada life skill education.
5.2 Saran
Mengingat dari pentingnya life skill, Pendidikan pesantren yang ada di kabupaten Bangkalan ini sebaiknya berorientasi pada life skill (kecakapan hidup) supaya out putnya mampu bersaing dengan pendidikan umum.
Mengingat dari pentingnya life skill, Pendidikan pesantren yang ada di kabupaten Bangkalan ini sebaiknya berorientasi pada life skill (kecakapan hidup) supaya out putnya mampu bersaing dengan pendidikan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Abawhida, Ridwan. 2002. Kurikulum Pendidikan Pesantren dan Tantangan Global. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Abdullah, Said MH, 2002. Pesantren, Jati diri dan Pencerahan Masyarakat. Sumenep: Said Abdullah Institute Publishing.
Dawam, Rahardjo. 1995. Dunia Pesantren Dalam Peta Pembaruan, dalam Pesantren dan Pembaruan. Jakarta: LP3ES.
Ismail, SM, 2002. Pengembangan Pesantren Tradisional, Sebuah
Hipotesis Mengantisipasi Perubahan Sosial. Pestaka Pelajar: Yogyakarta.
Masyuri, Azis. Kontribusi Pesantren Terhadap Perubahan Sosial Budaya
Masyarakat Indonesia, Makalah Seminar Nasional “Implementasi Akhlak
Qur’ani”. Panitia MAN-V, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Bandung, 23
April 2002).
Mas’ud, Abdurrahman. 2002. Sejarah dan Budaya Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Musthofa, Rahman, 2002. Menggugat Menejemen Pendidikan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siraj, Said Agil. Visi Pesantren Masa Depan Dalam Menata Masyarakat
Indonesia, Makalah Seminar Nasional “Implementasi Akhlak Qur’ani”,
Panitia MAN-V, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, (Bandung, 23 April
2002).
Sukirman, Wintoro. Life Skill, Swintoro’s Weblog, http://swintoro.wordpress.com/, April 7, 2008 (online).
Suyoto. 1995.Pondok Pesantren Dalam Alam Pendidikan Nasional, Dalam Pesantren dan Pembaruan. Jakarta: LP3ES.
Wahid, Abdurrahman. 1995. Pesantren Sebagai Subkultural, dalam Pesantren dan Pembaruan. Jakarta: LP3ES.
Zarkasyi, Abdullah Syukri. Peran Agama dan Budaya Islam Dalam
Mendorong Perubahan IPTEK (Sebuah Model dari Pondok Modern Darussalam
Gontor), Makalah Seminar Nasional “Implementasi Akhlak Qur’ani”. Panitia
MAN-V, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, (Bandung, 23 April 2002).
Zuhri, Saifudin. 2002. Refomulasi Kurikulum Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
0 komentar:
Posting Komentar