Hadits Online

Hadis (Bahasa Arab: الحدي, transliterasi: Haidits), [ adalah perkataan dan perbuatan serta ketetapan dari Nabi Muhammad. Hadis sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.

Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadis. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadis tersebut dalam bukunya (kitab hadis) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadis bersangkutan adalah
Read More

Jumat, 27 April 2012

Sholat tak harus di awal waktu????

Sholat tak harus di awal waktu
Beliau  tidak  menjawab  dengan “shalat di awal waktu”, karena shalat ada yang sunahnya disegerakan dan ada  pula  yang  diakhirkan.  Shalat Isya,  misalnya,  pelaksanaannya  disunahkan  untuk  diakhirkan  sampai 1/3  malam. Bila  para  wanita  di  rumah  bertanya  mana  yang  lebih  utama, apakah  shalat  Isya  setelah  adzan atau  mengakhirkannya  sampai  1/3 malam?  Jawabnya  lebih  utama mengakhirkannya   sampai   1/3 malam.
*****
Sudah  sewajarnya  seorang muslim ingin mendapat sesuatu   yang   paling   utama, termasuk dalam masalah shalat. Di samping  memenuhi  syarat,  rukun, wajib,  dan  sunah  shalat,  perlu diperhatikan  kapan  waktu  utama untuk  melaksanakan  shalat.

Waktu Shalat yang Utama

Ada  rentang  waktu  tertentu untuk  bisa  melakukan  shalat  tertentu. Di antara waktu tersebut ada waktu  yang  paling  utama  untuk melakukan  shalat.  Bagaimana  menemukan  waktu  shalat  yang  paling utama? Berikut jawaban dari Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, dalam  kumpulan  fatwanya.

“Paling  sempurna  adalah  bila shalat  dikerjakan  sesuai  dengan waktu yang dituntut syariat. Nabi pernah menjawab pertanyaan salah seorang sahabat tentang amal yang paling dicintai Allah, “Shalat  pada  waktunya.”  (Al-Bukhari no. 504 dan Muslim no. 85 dari  Abdullah  bin  Mas‘ud)

Beliau  tidak  menjawab  dengan “shalat di awal waktu”, karena shalat ada yang sunahnya disegerakan dan ada  pula  yang  diakhirkan.  Shalat Isya,  misalnya,  pelaksanaannya  disunahkan  untuk  diakhirkan  sampai 1/3  malam. Bila  para  wanita  di  rumah  bertanya  mana  yang  lebih  utama, apakah  shalat  Isya  setelah  adzan atau  mengakhirkannya  sampai  1/3 malam?  Jawabnya  lebih  utama mengakhirkannya   sampai   1/3 malam.

Nabi pada suatu malam terlambat mendatangi jamaah Isya, para  sahabat  berkata,  “Wahai Rasulullah  anak-anak  dan  para wanita  telah  tidur.”  Rasulullah  kemudian  keluar  rumah  untuk shalat Isya bersama mereka, beliau berkata,
“Sebenarnya  sekaranglah  waktu Isya, seandainya aku tidak khawatir memberatkan  umatku.”  (Riwayat
Muslim no. 638 dari Aisyah)

Jadi, bagi wanita yang shalat di rumahnya lebih utama untuk mengakhirkan shalat Isya. Demikian  pula halnya,  jika  laki-laki  tengah  dalam perjalanan.  Lebih  baik  melaksanakan  shalat  Isya  di  awal  waktu  atau mengakhirkannya?  Lebih  baik mengakhirkan,  kecuali  jika  malah memberatkan.

Untuk  jenis  shalat  selain  Isya’ lebih  utama  menyegerakannya, kecuali  ada  sebab  tertentu.  Udara panas  yang  menyengat,  misalnya. Shalat   Zhuhur   yang   mulanya dilaksanakan  di  awal  siang  pun diakhirkan  menunggu  cuaca  teduh hingga  mungkin  mendekati  waktu Ashr. Sebagaimana sabda Nabi ,
“Jika cuaca panas menyengat, maka shalatlah ketika teduh, karena panas yang menyengat itu merupakan uap neraka  Jahannam.”  (Riwayat  al-Bukhari  no.  510  dan  Muslim  no.615  dari  Abu  Hurairah)

Riwayat  lain  menceritakan  bahwa ketika Nabi  dalam  perjalanan, Bilal bergegas ingin mengumandangkan  adzan  (saat  sudah  masuk Zhuhur).  Nabi (mencegahnya dan)  berkata,  “Tunggu  sampai teduh!”  (Beberapa  saat)  kemudian Bilal berdiri lagi hendak mengumandangkan  adzan.  Nabi   (kembali mencegahnya  seraya)  berkata, “Tunggulah  sampai  teduh.”  (Beberapa saat) kemudian Bilal berdiri lagi hendak  mengumandangkan  adzan, Rasulullah pun mengizinkannya. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu  Hurairah)

Juga  termasuk  alasan  untuk mengakhirkan  shalat  adalah  bila menyegerakannya  justru  shalat secara  berjamaah  tidak  dapat dilaksanakan.  Mengakhirkan  shalat dalam kondisi demikian justru lebih utama.  Misalnya  seseorang  yang memasuki  waktu  shalat  saat dalam  perjalanan.  Bila  dia  mengakhirkan  shalatnya  akan  bisa  ikut berjamaah  saat  tiba  di  tempatnya. Apakah sebaiknya dia shalat sendiri ketika  waktu  shalat  telah  tiba  atau mengakhirkannya  agar  bisa  shalat berjamaah? Tentu lebih utama baginya  untuk  mengakhirkannya  agar bisa shalat berjamaah. Bahkan bisa jadi wajib mengakhirkannya karena (tuntutan syariat) yang menekankan untuk  shalat  berjamaah.”
[Majmu   Fatawa   Wa   Rasail Fadhilah  asy-Syaikh  Muhammad bin Shalih al-Utsaimin XII/212-214]

Shalat  Sebelum  Waktunya

Kasus  lain  kadang,  bahkan sering,  terjadi  orang  mengerjakan shalat  sebelum  waktunya.  Karena menentukan  waktu  adzan  dengan jadwal  yang  disusun  berdasarkan rumus  prediksi  waktu,  sering  orang melakukan  shalat  sebelum  waktunya.  Melakukan  shalat  Zhuhur sebelum  tergelincirnya  (zawal) matahari,  misalnya,  atau  shalat Shubuh  sebelum  fajar  shadiq  tiba.
Bagaimana  status  shalat  yang dilakukan  sebelum  waktunya?  Dari kitab  yang  sama  akan  diperoleh jawabannya.
“Shalat yang dilakukan sebelum masuk waktunya belum bisa menggugurkan  faridhah  (kewajiban). Allah  berfirman, “Sesungguhnya  shalat  itu  adalah kewajiban  yang  ditentukan  waktunya  atas  orang-orang  yang  beriman.”  (An-Nisa:103)
Nabi  pun  telah  menjelaskan waktu-waktu tersebut seperti dalam sabdanya, “Waktu zhuhur jika tergelincir  matahari,…dst.”
Jadi  orang  yang  melaksanakan shalat  sebelum  waktunya  tidak menggugurkan  kewajibannya  melaksanakan faridhah (ibadah wajib). Adapun shalat yang telah dikerjakan (di  luar  waktu  tersebut)  akan  dihitung  sebagai  nafilah  (ibadah tambahan).  Pelakunya  akan  mendapatkan  pahala  karena  telah mengerjakannya,  tetapi  tetap  berkewajiban  mengulangi  shalat  tersebut  setelah  masuk  waktunya.”
[Majmu   Fatawa   Wa   Rasail Fadhilah  asy-Syaikh  Muhammad bin  Shalih  al-Utsaimin  XII/215]

Waktu Shalat saat Belajar

Bagi  yang  pernah  kuliah  tentu pernah merasakannya. Mulai kuliah jam 11.00, satu jam kemudian masuk  waktu  Zhuhur,  padahal  kuliah baru  kelar  jam  14.00.  Tidak  harus kuliah,  yang  sekolah  pun  tentu pernah  mengalami.  Bagaimana menyikapi kondisi demikian? Bolos, protes  ke  dosen,  mengakhirkan shalat,  atau  bagaimana? 
Syaikh Utsaimin    masih    memberikan jawabannya,  berikut.
“Waktu  dua  jam  belum  mengeluarkannya   dari   waktu   shalat Zhuhur,   karena   waktu   shalat Zhuhur  dimulai  saat  tergelincirnya matahari sampai masuk waktu Ashr, ada  lebih  dari  dua  jam.  Sehingga masih  sangat  mungkin  baginya melaksanakan shalat Zhuhur seusai jam  pelajaran.  Hal  ini  jika  tidak memungkinkan  untuk  melakukan shalat pada jam pelajaran tersebut. Jika memungkinkan, maka itu lebih terjaga.  Kalaupun  jam  pelajaran belum  usai  hingga  masuk  waktu Ashr,  sementara  keluar  di  tengah pelajaran  akan  menimbulkan  problem  yang  menyulitkan,  maka boleh  menjamak  shalat  Zhuhur dengan  Ashr,  shalat  Zhuhur  diakhirkan pada waktu Ashr. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ,  “Nabi ketika  di Madinah  menjamak  shalat  Zhuhur dengan  Ashr,  Maghrib  dengan  Isya tanpa ada (sebab) yang dikhawatirkan  maupun  hujan.”  Ketika  Ibnu Abbas  ditanya  mengapa  demikian, beliau  menjawab,  “Nabi  tidak ingin  memberatkan  umatnya.”(Riwayat  Muslim)
Perkataan  Ibnu  Abbas ini menunjukkan  bolehnya  menjamak dua  shalat  pada  salah  satu  waktu jika ada kesulitan atau sesuatu yang memberatkan. Yang  demikian  termasuk  kemudahan  beragama  yang  Allah berikan  kepada  umat  ini,  berdasarkan  firman-Nya, “Allah  menghendaki  kemudahan bagimu  dan  tidak  menghendaki kesukaran bagimu” (Al-Baqarah:185)
dan  firman-Nya, “Allah  tidak  hendak  menyulitkan kamu”  (Al-Maidah:6)
juga  firman-Nya, “Dia  sekali-kali  tidak  menjadikan untuk  kamu  dalam  agama  suatu kesempitan.”  (Al-Hajj:78)
Rasulullah pun menegaskan, “Sesungguhnya agama itu mudah.” (Riwayat  al-Bukhari  no.  39)
Masih  banyak  dalil  lain  yang menunjukkan  kemudahan  syariat ini.  Hanya  saja,  kaidah  agung  ini tidak  boleh  kemudian  (digunakan untuk)  mengikuti  hawa  nafsu  dan kepuasan,  (harus  tetap  dalam  koridor) untuk mengikuti syariat. Tidak semua yang dikira manusia mudah dan  gampang  merupakan  bagian dari  syariat.  Karena  mereka  yang ‘suka  menggampangkan’  dan  tidak peduli  dengan  agamanya  acapkali menganggap  susah  sesuatu  yang mudah. Mereka pun menuntut agar syariat  disesuaikan  atau  dicocokan dengan  hawa  nafsunya  dengan menggunakan  kaidah  tadi.  Hal  ini tentu merupakan pemahaman yang salah.  Agama  itu  mudah  seluruh syariatnya,  bukan  mudah  menurut hawa  nafsunya.  Seandainya  kebenaran mengikuti hawa nafsu niscaya kerusakanlah  yang  akan  terjadi  di langit,  di  bumi,  dan  apa  yang  ada di  antara  keduanya.
[Majmu   Fatawa   Wa   Rasail Fadhilah  asy-Syaikh  Muhammad bin Shalih al-Utsaimin XII/216-217]

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes