REPUBLIKA.CO.ID, Jumlah jamaah shalat Jumat minimal 40 orang termasuk masalah khilafiyah.
Setiap Muslim laki-laki diwajibkan menunaikan shalat Jumat secara berjamaah pada waktu Dzuhur. Kewajiban shalat Jumat itu tercantum dalam Alquran dan Hadis.
Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah al-Jumu'ah ayat 9, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, dan itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui." (QS 62: 9).
Rasulullah SAW pun menegaskan kembali kewajiban itu dalam hadisnya. Nabi SAW bersabda, “Hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau kalau tidak, Allah akan menutup hati mereka kemudian mereka akan menjadi orang yang lalai." (HR. Muslim).
Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW bersabda, “Shalat Jumat itu wajib bagi tiap-tiap Muslim, dilaksanakan secara berjamaah terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang yang sakit.” (HR Abu Daud dan Al-Hakim)
Berdasarkan hadis di atas, shalat Jumat harus dilakukan secara berjamaah. Lalu berapa jumlah minimum jamaah yang harus menunaikan shalat Jumat? Terlebih di Indonesia banyak desa yang terpencil yang jumlah penduduk Muslimnya kurang dari 40 orang. Apa hukumnya jika jamaah shalat Jumat kurang dari itu?
Pertanyaan seperti itu kerap dilontarkan umat Muslim di Indonesia. Guna menjawab pertanyaan itu, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan ulama Nahdlatul Ulama (NU) telah menetapkan fatwa terkait hukum shalat Jumat yang jamaahnya kurang dari 40 orang.
Dalam fatwanya, ulama Muhammadiyah menegaskan bahwa jumlah jamaah shalat Jumat minimal 40 orang termasuk masalah khilafiyah (tak ada kesepakatan) di kalangan mazhab, sebagai syarat sahnya shalat Jumat.
“Ulama Hanafiyah mensyaratkan sahnya shalat Jumat adalah tiga orang jamaah, selain iman,” ungkap fatwa Muhammadiyah itu. Menurut Mazhab Hanafiyah, meski yang mendengarkan khutbah Jumat hanya seorang saja dan saat melangsungkan shalat, makmum berjumlah tiga orang adalah sah.
Setiap Muslim laki-laki diwajibkan menunaikan shalat Jumat secara berjamaah pada waktu Dzuhur. Kewajiban shalat Jumat itu tercantum dalam Alquran dan Hadis.
Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah al-Jumu'ah ayat 9, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, dan itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui." (QS 62: 9).
Rasulullah SAW pun menegaskan kembali kewajiban itu dalam hadisnya. Nabi SAW bersabda, “Hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau kalau tidak, Allah akan menutup hati mereka kemudian mereka akan menjadi orang yang lalai." (HR. Muslim).
Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW bersabda, “Shalat Jumat itu wajib bagi tiap-tiap Muslim, dilaksanakan secara berjamaah terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang yang sakit.” (HR Abu Daud dan Al-Hakim)
Berdasarkan hadis di atas, shalat Jumat harus dilakukan secara berjamaah. Lalu berapa jumlah minimum jamaah yang harus menunaikan shalat Jumat? Terlebih di Indonesia banyak desa yang terpencil yang jumlah penduduk Muslimnya kurang dari 40 orang. Apa hukumnya jika jamaah shalat Jumat kurang dari itu?
Pertanyaan seperti itu kerap dilontarkan umat Muslim di Indonesia. Guna menjawab pertanyaan itu, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan ulama Nahdlatul Ulama (NU) telah menetapkan fatwa terkait hukum shalat Jumat yang jamaahnya kurang dari 40 orang.
Dalam fatwanya, ulama Muhammadiyah menegaskan bahwa jumlah jamaah shalat Jumat minimal 40 orang termasuk masalah khilafiyah (tak ada kesepakatan) di kalangan mazhab, sebagai syarat sahnya shalat Jumat.
“Ulama Hanafiyah mensyaratkan sahnya shalat Jumat adalah tiga orang jamaah, selain iman,” ungkap fatwa Muhammadiyah itu. Menurut Mazhab Hanafiyah, meski yang mendengarkan khutbah Jumat hanya seorang saja dan saat melangsungkan shalat, makmum berjumlah tiga orang adalah sah.
Ulama Malikiyah berpendapat jamaah shalat Jumat itu paling sedikit 12 orang, selain imam.
Mazhab ini berpendapat, seluruh anggota jamaah shalat Jumat itu haruslah orang-orang yang berkewajiban melakukannya.
“Tidak sah kalau di antara 12 jamaah itu, salah satunya terdapat wanita atau musafir atau anak kecil,” kata fatwa Muhammadiyah tersebut.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah mensyaratkan shalat Jumat itu harus terdiri dari 40 jamaah, bahkan sebagian ulama Hambaliyah mengharuskan 50 jamaah.
Menurut ulama Muhammadiyah, perbedaan pendapat soal jumlah minimal jamaah Jumat itu didasarkan pada arti kata jamak “cukuplah tiga”, dan ada pula yang mendasarkan pada riwayat Jabir.
Jabir mengungkapkan bahwa berdasarkan sunah yang telah berjalan, kalau terdapat 40 orang atau lebih, dirikanlah shalat Jumat. Namun, Al-Baihaqi menyatakan bahwa riwayat Jabir itu tak bisa dijadikan hujjah.
Ada pula riwayat Ka’ab bin Malik yang menyatakan bahwa shalat Jumat pertama di Baqi dikerjakan oleh 40 orang. Menurut ulama Muhammadiyah, dalam riwayat itu tak ditegaskan jumlah minimal jamaah shalat Jumat, namun hanya menceritakan jumlah orang yang menunaikan Jumat pertama.
“Yang jelas bahwa shalat Jumat itu sebagaimana disepakati ulama harus dilakukan secara berjamaah,” ungkap Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Hal itu didasarkan pada hadis riwayat Abu dawud dari Thariq bin Syihab.
“Mengenai batas minimum tak disebutkan dalam hadis, sehingga melangsungkan shalat Jumat tidak dibatasi jumlah minimal dan maksimalnya, yang penting berjamaah,” demikian fatwa ulama Muhammadiyah untuk menjawab pertanyaan yang kerap bergulir di kalangan umat.
Lalu bagaimana ulama NU menanggapi masalah ini? Masalah ini telah dibahas dalam Muktamar ke-4 NU di Semarang pada 19 September 1929. Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan, jika jumlah jamaah pada sebuah desa kurang dari 40 orang, maka mereka boleh bertaklid kepada Abu Hanifah.
“Dengan ketentuan harus menunaikan rukun dan syarat menurut ketentuan Abu Hanifah. Tetapi lebih utama supaya bertaklid kepada Imam Muzan dari golongan Mazhab Syafi’i,” demikian kesepakatan ulama NU terkait masalah jumlah minimal jamaah shalat Jumat.
Selaian itu, ulama NU juga membolehkan penyelenggaraan shalat Jumat di kantor-kantor. Syaratnya, shalat Jumat itu diikuti oleh orang-orang yang tinggal menetap sampai bilangan yang menjadi syarat sahnya shalat Jumat terpennuhi. Selain itu, tidak terjadi penyelanggaraan Jumat lebih dari satu.
Mazhab ini berpendapat, seluruh anggota jamaah shalat Jumat itu haruslah orang-orang yang berkewajiban melakukannya.
“Tidak sah kalau di antara 12 jamaah itu, salah satunya terdapat wanita atau musafir atau anak kecil,” kata fatwa Muhammadiyah tersebut.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah mensyaratkan shalat Jumat itu harus terdiri dari 40 jamaah, bahkan sebagian ulama Hambaliyah mengharuskan 50 jamaah.
Menurut ulama Muhammadiyah, perbedaan pendapat soal jumlah minimal jamaah Jumat itu didasarkan pada arti kata jamak “cukuplah tiga”, dan ada pula yang mendasarkan pada riwayat Jabir.
Jabir mengungkapkan bahwa berdasarkan sunah yang telah berjalan, kalau terdapat 40 orang atau lebih, dirikanlah shalat Jumat. Namun, Al-Baihaqi menyatakan bahwa riwayat Jabir itu tak bisa dijadikan hujjah.
Ada pula riwayat Ka’ab bin Malik yang menyatakan bahwa shalat Jumat pertama di Baqi dikerjakan oleh 40 orang. Menurut ulama Muhammadiyah, dalam riwayat itu tak ditegaskan jumlah minimal jamaah shalat Jumat, namun hanya menceritakan jumlah orang yang menunaikan Jumat pertama.
“Yang jelas bahwa shalat Jumat itu sebagaimana disepakati ulama harus dilakukan secara berjamaah,” ungkap Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Hal itu didasarkan pada hadis riwayat Abu dawud dari Thariq bin Syihab.
“Mengenai batas minimum tak disebutkan dalam hadis, sehingga melangsungkan shalat Jumat tidak dibatasi jumlah minimal dan maksimalnya, yang penting berjamaah,” demikian fatwa ulama Muhammadiyah untuk menjawab pertanyaan yang kerap bergulir di kalangan umat.
Lalu bagaimana ulama NU menanggapi masalah ini? Masalah ini telah dibahas dalam Muktamar ke-4 NU di Semarang pada 19 September 1929. Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan, jika jumlah jamaah pada sebuah desa kurang dari 40 orang, maka mereka boleh bertaklid kepada Abu Hanifah.
“Dengan ketentuan harus menunaikan rukun dan syarat menurut ketentuan Abu Hanifah. Tetapi lebih utama supaya bertaklid kepada Imam Muzan dari golongan Mazhab Syafi’i,” demikian kesepakatan ulama NU terkait masalah jumlah minimal jamaah shalat Jumat.
Selaian itu, ulama NU juga membolehkan penyelenggaraan shalat Jumat di kantor-kantor. Syaratnya, shalat Jumat itu diikuti oleh orang-orang yang tinggal menetap sampai bilangan yang menjadi syarat sahnya shalat Jumat terpennuhi. Selain itu, tidak terjadi penyelanggaraan Jumat lebih dari satu.
0 komentar:
Posting Komentar